Noah Wisesa, pewaris konglomerat properti, terjebak dalam perjodohan demi bisnis keluarga. Saat dari rumah usai bertengkar dengan sang ibu, dia justru menabrak Ivy Liora—mantan rekan kerja yang kini berubah menjadi perempuan penuh tuntutan dan ancaman. Untuk menyelamatkan reputasi, Noah menawarkan pernikahan kontrak selama satu tahun.
Ivy menerima, asal bayarannya sepadan. Rumah tangga pura-pura mereka pun dimulai: penuh sandiwara, pertengkaran, dan batasan. Namun perlahan, di balik segala kepalsuan, tumbuh perasaan yang tak bisa dibendung. Ketika cinta mulai mengetuk, masa lalu datang membawa badai yang menguji: apakah mereka masih bertahan saat kontrak berubah jadi rasa yang tak bisa dituliskan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika Ssi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17. Rencana Jahat Mereka
Empat puluh hari berlalu sejak kepergian sang ibu. Ivy dan Noah kembali ke Surabaya, membawa serta kenangan dan luka yang masih belum mengering. Ivy lebih banyak diam. Hari-harinya diisi dengan tidur, duduk memeluk album foto, dan menatap jendela kamar seperti menanti sesuatu yang tak mungkin kembali.
Noah melihat semua itu dengan hati miris. Dia sudah mencoba berbicara, memeluk, mengajak makan bersama, tetapi Ivy tetap menutup diri. Bahkan, beberapa kali dia mendapati Ivy menangis diam-diam di kamar mandi.
Suatu malam, Noah memberanikan diri mengetuk pintu kamar Ivy. Kamar yang selama ini tak dia masuki lagi karena Ivy memintanya untuk menjaga jarak sementara waktu.
“Vy, boleh aku masuk?” tanya Noah pelan.
Tak ada jawaban. Akan tetapi, setelah beberapa detik, terdengar bunyi klik dari dalam. Noah membuka pintu pelan-pelan.
Ruangan itu remang. Ivy duduk di pinggir ranjang, mengenakan sweater abu-abu tua, rambutnya acak-acakan, dan wajah perempuan tersebut terlihat lelah.
“Aku ... aku tahu kamu masih sedih.” Noah memulai, duduk di sisi ranjang dengan hati-hati.
“Tapi aku nggak bisa lihat kamu terus seperti ini.” Suara Noah sedikit serak dan bergetar.
“Aku nggak punya siapa-siapa lagi, No. Ibuku satu-satunya alasan aku bertahan di kota ini.” Ivy menunduk, suara lirihnya nyaris tenggelam oleh detak jam dinding.
“Kamu masih punya aku,” ucap Noah mantap.
Ivy hanya menatapnya, tak berkata apa-apa. Noah merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan sebuah kotak kayu mungil. Dia membuka isinya, memperlihatkan sebuah liontin berbentuk hati dengan foto Ivy dan sang ibu di dalamnya.
“Aku menemukan ini ketika memindahkan barangmu dari rumah lama ke rumah baru di Malang."
Ivy menatap liontin itu dengan mata membelalak. Jemarinya gemetar saat menerima benda kecil itu. Ketika membukanya dan melihat potret ibunya, tangis yang selama ini ditahan pun tumpah.
Noah menarik tubuh Ivy ke pelukannya. Kali ini Ivy tak menolak. Dia menangis di dada suaminya, menggigil, menjerit tanpa suara.
“Vy ... kita bangkit sama-sama ya. Aku tahu ini nggak gampang. Tapi kamu nggak sendiri, ada aku yang nggak akan pernah meninggalkanmu,” bisik Noah.
Ivy hanya mengangguk dalam pelukan Noah. Untuk pertama kalinya setelah berminggu-minggu, dia merasa hangat.
Keesokan harinya, Ivy bangun lebih pagi dari biasanya. Dia membuka jendela kamar dan menghirup udara pagi yang dingin, tetapi menyegarkan. Tatapannya masih sembab.
Namun, kali ini ada sedikit sinar di sana. Di ruang makan, Noah yang sedang menyiapkan sarapan terkejut melihat Ivy keluar kamar mengenakan pakaian rapi.
“Kamu mau ke mana?” tanya Noah sambil meletakkan piring berisi roti panggang di meja.
“Aku mau ke kantor. Sudah terlalu lama aku mengurung diri.”
Noah menatapnya tak percaya. “Kamu yakin?”
Ivy mengangguk. “Ibu nggak suka lihat aku lemah. Aku tahu itu. Dan aku janji sama diriku sendiri untuk hidup dengan cara yang bisa buat Ibu bangga.”
Noah tersenyum. Ada sesuatu di dada yang menghangat, seperti mentari pagi yang mengusir kabut malam.
“Kalau gitu, kita nanti berangkat sama-sama setelah selesai sarapan,” ujar Noah sambil menarik kursi untuk Ivy.
Ivy mengangguk pelan. Mereka pun berjalan ke mobil bersama, tak banyak bicara, tetapi kehangatan di antara mereka mulai terasa kembali.
Sejak hari itu Ivy mulai menata hidupnya kembali. Dia mulai aktif di kantor, kembali memimpin tim marketingnya dengan cara yang dulu membuat banyak orang kagum. Di rumah, dia mulai tersenyum meski jarang. Akan tetapi, cukup untuk membuat Noah merasa lega.
Suatu malam, Ivy memanggil Noah ke ruang tengah. Lelaki itu datang dengan santai, masih mengenakan kaus rumahan dan celana training.
“Ada apa, Vy?” tanya Noah.
Ivy berdiri di depan rak buku, memegang sebuah bingkai foto lama. Di dalamnya foto pernikahan mereka saat awal kontrak, senyum Ivy saat itu jelas sekali dipaksakan.
“Aku mau kita ulang foto ini,” kata Ivy pelan.
Noah mengernyit. “Maksudnya?”
“Aku mau kita ambil ulang. Tapi kali ini ... dengan senyum yang benar-benar tulus.”
Noah menatap Ivy dengan mata berkaca-kaca. “Vy, kamu yakin?”
Ivy mengangguk. Dia menatap Noah dengan tatapan yang lembut. Tatapan yang dulu nyaris menghilang.
“Aku tahu semuanya berawal dari kesepakatan. Tapi sekarang ... aku ingin menjalani semuanya karena cinta.”
Noah berjalan mendekat, menangkup wajah Ivy dengan kedua tangan. “Aku akan ulang semua dari awal kalau itu membuat kamu bahagia.”
Malam itu, untuk pertama kalinya, Ivy dan Noah berpelukan bukan karena duka, bukan karena keterpaksaan, tetapi karena rasa yang perlahan tumbuh di antara puing-puing luka. Untuk pertama kalinya sejak lama, Ivy merasa bahwa dia berhak bahagia.
***
"Tante, sudah tahu kabar ini?" tanya Gendis sambil menyodorkan ponsel kepada Mentari yang sedang duduk di balkon kamarnya sambil menyesap kopi.
Mentari mengambil alih benda pipih itu. Perempuan tersebut mulai memasang kacamatanya dan mengamati serta membaca artikel yang ada di sebuah sosial media akun bisnis. Di sana terlihat foto Noah dan Ivy yang berdiri berdampingan sambil memperlihatkan cincin yang melingkar pada jari manis masing-masing.
"Ah, mereka mulai berani terang-terangan kepada media? Untuk apa? Menatik simpati?" Mentari tersenyum miring kemudian mengembalikan ponsel kepada Gendis.
"Aku harus bagaimana, Tante? Aku nggak rela Mas Noah terlalu lama bersama perempuan lintah itu." Gendis mengerucutkan bibir dan bahunya mulai merosot.
"Kamu lebih pantas untuk Noah daripada Ivy. Asal usulnya bahkan tidak jelas." Mentari menggenggam kedua lengan atas Gendis berusaha meyakinkan gadis tersebut.
Gendis mengangguk pelan. Rahangnya yang kaku terpaksa mengeluarkan senyum karena terpaksa. Tak lama kemudian, Mentari mendekatkan bibirnya pada telinga Gendis.
Gendis terdiam dengan alos yang saling bertautan. Dia menatap Mentari ketika perempuan tersebut mulai menjauh dari telinganya. Gendis menggeleng seketika.
"Loh, kenapa?"
"Apa Tante lupa? Mas Noah benar-benar sulit didekati! Ivy juga terlihat sangat kuat! Dia berani memperlakukan aku dengan buruk terakhir kali. Kalau harus aku turun tangan sendiri mendekati keduanya, seperti nggak sanggup, Tan." Bahu Gendis kembali merosot dengan bobor yang mengerucut.
"Ayolah, coba sekali lagi. Kali ini tante bakal bantuin kamu! Tante yang atur, supaya kamu terus ada di sisinya!" ujar Mentari penuh keyakinan.
Gendis terdiam dan terlihat berpikir begitu lama. Sampai akhirnya sebuah anggukan kecil dia berikan sebagai tanda setuju. Mentari tersenyum lebar, lalu memeluk tubuh mungil Gendis.
"Aku bisa pastikan kali ini mereka akan renggang dan hancur karema sudah berani menyakiti dan mempermalukanmu, Gendis! Aku bosa pastikan itu!" ujar Mentari dengan mata berkilat.