NovelToon NovelToon
Once Mine

Once Mine

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Nikah Kontrak / Percintaan Konglomerat / Obsesi / Romansa / Slice of Life / Dark Romance
Popularitas:2.9k
Nilai: 5
Nama Author: Just_Loa

Sara Elowen, pemilik butik eksklusif di Paris, hidup dalam ketenangan semu setelah meninggalkan suaminya-pria yang hanya ia nikahi karena perjanjian.

Nicko Armano Velmier bukan pria biasa. Ia adalah pewaris dingin dari keluarga penguasa industri, pria yang tak pernah benar-benar hadir... sampai malam itu.

Di apartemen yang seharusnya aman, suara langkah itu kembali.
Dan Sara tahu-masa lalu yang ia kubur perlahan datang mengetuk pintu.

Sebuah pernikahan kontrak, rahasia yang lebih dalam dari sekadar kesepakatan, dan cinta yang mungkin... tak pernah mati.

"Apa ini hanya soal kontrak... atau ada hal lain yang belum kau katakan?"

Dark romance. Obsesif. Rahasia. Dan dua jiwa yang terikat oleh takdir yang tak pernah mereka pilih.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Just_Loa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Framed

Ia tak tahu apakah sedang terjaga… atau masih terperangkap dalam mimpi yang menyesakkan.

Di dalam kamar yang hening, satu-satunya suara hanyalah hembusan AC yang tipis, seakan menyamarkan kesunyian yang menggantung.

Namun bagi Sara, suara itu terasa seperti gema dari dunia yang bukan miliknya.

Perlahan, kesadaran menyelinap kembali.

Sakit kepala samar. Tenggorokannya kering. Perasaannya terasa kosong. Tapi bukan kosong yang tenang melainkan seperti baru selamat dari pusaran air yang menenggelamkannya terlalu dalam.

Beberapa detik kemudian, barulah ia sadar, ia terbaring di ranjang luas dengan seprai berwarna abu lembut.

Bukan kamarnya. Bukan ruangannya.

Di dinding, tergantung lukisan abstrak dengan warna putih. Di meja samping ranjang, secarik kertas kecil tertindih segelas air putih.

Hanya tertulis:

“Jika Anda terbangun, jangan bergerak dulu. Tekan bel. —Sofia”

Tangannya gemetar saat meraih gelas. Tapi sebelum ia bisa mengangkatnya—

Pintu terbuka pelan. Seorang wanita paruh baya masuk dengan langkah hati-hati, seragam krem bersih membalut tubuhnya yang tegak.

“Anda sudah bangun, Nona? Syukurlah.” Suaranya lembut, seolah ditata untuk tidak mengejutkan siapa pun.

Sara hanya menatapnya, mencoba menyusun suaranya sendiri. “Aku… sudah berapa lama?”

“Sudah hampir dua hari Anda tak sadarkan diri, Nona.”jawab Sofia.

“Tapi sekarang suhu Anda stabil. Dan jantung Anda normal. Itu… cukup melegakan.”

Sara mengangguk pelan, lalu menatap jendela.

Sofia memperhatikan sebentar sebelum berkata, “Jika Anda ingin pindah tempat duduk atau keluar sebentar, saya bisa menemani.”

Sara mengernyit pelan. “Keluar?”

Sofia mengangguk pelan. “Ada ruang pribadi di lantai atas, lounge kaca. Biasanya sepi, tidak ada orang. Kalau Anda ingin menjauh sebentar…bisa ke sana.”

Sara terdiam lama. Lalu mengangguk.

“Baiklah.”

Sofia tersenyum kecil, lalu beranjak dengan langkah pelan, membiarkan ruangan itu kembali sunyi.

...----------------...

Beberapa saat yang ia rasakan hanya detak jantungnya sendiri, jelas di tengah ruangan yang sepi.

Cahaya senja masuk lewat celah tirai. Langit di luar berubah jingga keunguan, kota terlihat tenang dari balik kaca. Tapi di dadanya, rasa gelisah tidak juga hilang.

Sara duduk di bangku panjang dengan jaket tipis menutupi tubuhnya. Tangannya mencengkeram lengan kursi, kaku. Ia mencoba menarik napas panjang, tapi selalu terputus di tengah.

Suara Sofia samar di belakangnya. “Saya akan berdiri di luar. Panggil saya kapan saja, Nona.”

Sara mengangguk.

Dan saat pintu kaca tertutup kembali, hanya sunyi yang tersisa.

Lalu, seperti pintu yang dibuka perlahan… ingatan itu masuk tanpa izin.

Tangan di tubuhnya.

Bisikan kasar. Wajah samar di ruang kamar gelap bertahun lalu. Lalu kini pria yang sama. Dengan nama berbeda. Tapi sorot mata itu… tidak pernah berubah.

“Nathaniel…” bisiknya, nyaris tanpa suara.

Ia menutup mata. Dadanya kembali sesak. Lidahnya terasa pahit. Rasanya ingin melarikan diri.

Tapi ke mana?

Ketika ketakutan itu tidak lagi menempel pada tempat… tapi pada seseorang.

Dan orang itu kini adalah suaminya.

Sara ingin menangis, ingin berontak, bahkan pergi sejauh mungkin. Tapi tubuhnya terasa berat, seolah semua jalan sudah tertutup.

Ia tahu, pada akhirnya, ia tidak bisa melakukan apa-apa.

****

Langkah kaki terdengar di luar pintu, bersamaan dengan suara Sofia membereskan peralatan makan.

Sara baru selesai mandi. Tubuhnya masih lelah, pikirannya sedikit lebih tenang, meski rasa sepi belum hilang.

Tok. Tok.

Pintu terbuka perlahan.

Seseorang masuk, dan belum pernah ia lihat sebelumnya.

Seorang pria berdiri di sana. Tubuhnya tinggi dengan postur tegap, mengenakan setelan hitam rapi. Rambut cokelat gelapnya disisir ke belakang, wajahnya tegas dengan tatapan yang dingin tapi tetap sopan. Tidak seperti Matheus yang menyembunyikan ancaman di balik sikap tenang.

“Selamat siang, Nona Elowen,” ucapnya pelan, suara baritonnya berat namun berintonasi halus.

“Saya Rafael Dornier. Mulai hari ini, saya ditugaskan untuk memastikan keamanan Anda.”

Sara menegang. Bukan karena takut, tapi karena tubuhnya belum sepenuhnya terbiasa pada kehadiran orang asing.

“Saya bukan pengganggu,” lanjutnya cepat, seakan bisa membaca kecanggungan Sara.

“Tugas saya hanya memastikan Anda baik-baik saja. Tidak lebih.”

“Nicko yang menyuruhmu?” bisik Sara pelan.

“Ada instruksi langsung dari Tuan Velmier, ya,” jawab Rafael tenang. “Namun, saya di sini bukan untuk mengatur Anda. Hanya... berjaga.”

Sara menatapnya beberapa detik menganalisis setiap sorot matanya, intonasinya, bahkan cara berdirinya. Tidak ada sikap intimidatif. Tidak ada jarak yang melanggar. Tapi jelas, pria ini tidak akan membiarkannya keluar begitu saja tanpa diketahui.

“Kalau begitu, silakan... jaga saja dari luar,” katanya pelan.

Rafael mengangguk hormat. “Baik, Nona.”

Ia mundur pelan, cukup hati-hati agar tidak menimbulkan suara. Setelah pintu tertutup, Sara kembali duduk di tepi ranjang. Napasnya masih berat.

Ada satu orang baru lagi. Satu pasang mata lagi.

Tapi untuk pertama kalinya, ia merasa mungkin tidak benar-benar sendirian.

...----------------...

Pintu lift terbuka dengan suara pelan.

Bagi Sara, bunyi itu terasa asing.

Penthouse di Manhattan tampak tenang dan rapi. Tidak ada tanda kekacauan, tidak ada bekas kerusakan. Udara pun wangi, seolah tempat itu tidak berubah sejak ia pergi.

Sofia melangkah lebih dulu sambil membawa tas kecil milik Sara yang baru dikembalikan.

“Selamat datang kembali, Nona. Makan siang akan segera disiapkan.”

Sara tidak menjawab. Ia hanya berdiri sejenak di ambang ruang tamu, matanya menyapu ruangan yang terlalu luas, terlalu mahal... dan terlalu asing.

Segalanya tampak seperti tempat untuk orang lain, wanita yang berbeda. Wanita yang memilih kemewahan ini.

Bukan dirinya.

Setelah Sofia pergi, Sara duduk perlahan. Ponselnya masih hangat di tangannya, baru kali ini benar-benar ia sentuh sejak hari itu.

Ada beberapa pesan menunggu. Dari Mama, Ayah, juga Adrian kakaknya. Tidak ada yang terdengar cemas. Tidak ada yang menanyakan alasan ia menghilang.

Semua isi pesan hanya soal butik, soal Manhattan, dan soal Nicko.

Itu saja sudah cukup membuat napasnya terasa sesak. Semuanya terlihat terlalu wajar. Seolah memang sudah diatur sejak awal, tanpa celah.

Sara menutup ponsel. Rasanya hidupnya berjalan di jalur yang tidak ia pilih, tapi ia tetap harus mengikutinya. Jari-jarinya mencengkeram sisi ponsel yang dingin. Dunia di sekitarnya bergerak terlalu cepat.

Ia baru membuka ponselnya hari ini, setelah dua hari tidak sadarkan diri. Setelah dibawa begitu saja oleh Nicko, dari Paris ke Manhattan, tanpa penjelasan dan tanpa pilihan. Ia pikir keluarganya akan mencarinya, akan panik.

Ternyata tidak.

Tidak ada satu pun dari mereka yang khawatir. Tidak ada satu pun yang bertanya, “Kau di mana?”

Karena bagi mereka…

Sara baik-baik saja.

Sara sedang sibuk menyiapkan cabang kedua butik Soléa-nya.

Sara… istri dari Nicko Armano Velmier.

Dan seakan belum cukup, notifikasi baru muncul.

Dari Nicko.

Satu pesan dengan lampiran.

“Project Plan – SOLEA Manhattan Grand Opening.”

Tenggorokan Sara tercekat.

Tangannya bergetar saat membuka file itu.

Foto denah. Interior. Desain tiga lantai. Semua sudah rapi.

Ada ruang kerja di lantai tiga.

Sebuah balkon yang menghadap langit kota.

Terlalu familiar.

Lalu kenangan itu muncul, seperti hantaman pelan tapi tak bisa dihindari.

Swiss, 1 bulan lalu

Mereka duduk di balkon rumah orang tua Sara.

“Kadang aku berpikir,” ujar Sara pelan, masih menatap ke arah kota, “akan menyenangkan jika suatu hari aku memiliki balkon seperti ini juga. Di atas butikku sendiri, di kota besar, lantai tiga, dengan jendela kaca besar. Jadi setiap malam aku bisa duduk seperti ini, melihat keluar, lalu menyimpannya dalam ingatan.”

Sebuah senyum tipis muncul di wajahnya. Tidak sepenuhnya bahagia, tetapi cukup untuk menenangkan pikirannya.

“Semacam ruang untuk bernapas.”

Pria di sampingnya tetap diam. Pandangannya terarah ke langit yang kosong dari bintang, seakan menyimpan sesuatu yang tidak ia tunjukkan. Hingga akhirnya ia berbicara, tenang dan datar.

“Jika itu yang kau inginkan… kau akan memilikinya.”

Tidak ada penekanan, tidak ada nada manis. Hanya ketenangan yang terasa terlalu tajam untuk disebut lembut.

Dan ketika ia mengulang,

“Jendela kaca besar. Lantai tiga. Langit Manhattan…”

ucapan itu terdengar bukan sebagai janji, melainkan kepastian.

Bukan janji seorang suami.

Melainkan ikatan dari seseorang yang tidak pernah berniat melepaskan.

Dan kini, balkon itu ada.

Persis.

Balkon kaca di lantai tiga.

Di atas dua lantai butik Soléa Manhattan.

Langit di atasnya bukan lagi langit Swiss… tapi langit Manhattan.

Pemandangannya tak kalah megah.

Dan semuanya… adalah kenyataan yang dibangun dari obsesinya.

Obsesi pria itu padanya.

Obsesinya yang mengikat, yang lembut di luar tapi mencekik di dalam.

Sara menyentuh layar ponselnya. Wajahnya tak menampakkan apa-apa. Tapi dadanya sesak.

Ia ingin tertawa. Ingin menangis.

Dan akhirnya, ia hanya tersenyum miris.

Dia benar-benar mewujudkannya…

Sebuah candaan di balkon rumahnya… telah disulap menjadi kandang emas.

Nicko tak memberinya pilihan.

Nicko tak memintanya tinggal.

Ia ditarik masuk ke dalam impiannya sendiri, dengan paksa.

Dan kini, semua orang percaya, dia adalah milik pria itu.

Istri yang sempurna.

Pengusaha sukses.

Wanita yang bahagia menjalani mimpinya sendiri.

Padahal yang sebenarnya…

Ia bahkan tak tahu siapa dirinya sekarang.

Yang ia tahu… pria itu bukan Nathaniel yang dulu.

Pria itu adalah Nicko Armano Velmier, seseorang yang hidup dalam diam, mengatur segala hal dalam bayangan, dan mencintainya dalam bentuk yang tak bisa dijelaskan.

Cinta? Bukan.

Obsesi.

Dan Sara… adalah pusatnya.

Tangannya gemetar. Ia memandang ke luar jendela.

Manhattan masih sama, megah, indah, dan tak terjangkau. Tapi bagi Sara, dunianya kini berlapis kaca. Ia melihat semuanya, namun tak bisa menyentuh apa pun yang sebenarnya miliknya.

Ia hanya bagian dari lukisan besar yang sudah lama digores oleh pria itu.

Dan setiap kali ia mencoba keluar dari bingkai, seseorang selalu... menariknya kembali.

1
Mar Lina
akankah sara menerima cinta, Nathaniel
es batu ...
lama" juga mencair...
lanjut thor ceritanya
di tunggu updatenya
Just_Loa: siap kak trmakasih sdh mmpir 🧡
total 1 replies
Mar Lina
aku mampir
thor
Synyster Baztiar Gates
Next kak
Synyster Baztiar Gates
lanjutt thor
Synyster Baztiar Gates
Next..
Synyster Baztiar Gates
Bagus thor
iqbal nasution
oke
Carrick Cleverly Lim
Hahahaha aku baca dari tadi sampe malam, mana next chapter nya thor?!
Just_Loa: Hahaha makasih udah baca sampai malam! 🤍 Next chapter lagi direbus pelan-pelan biar makin nendang, yaaa 😏🔥 Stay tuned!
total 1 replies
Kuro Kagami
Keren, thor udah sukses buat cerita yang bikin deg-degan!
Just_Loa: Makasih banyak! 🥺 Senang banget ceritanya bisa bikin deg-degan. Ditunggu bab-bab selanjutnya yaa~ 💙
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!