NovelToon NovelToon
If I Life Again

If I Life Again

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Romantis / Mafia / CEO / Time Travel / Fantasi Wanita
Popularitas:720
Nilai: 5
Nama Author: Ws. Glo

Apakah kamu pernah mengalami hal terburuk hingga membuatmu ingin sekali memutar-balik waktu? Jika kamu diberikan kesempatan kedua untuk hidup kembali di masa lalu setelah sempat di sapa oleh maut, apa yang akan kamu lakukan terlebih dahulu?

Wislay Antika sangat mengidolakan Gustro anggota boy band terkenal di negaranya, bernama BLUE. Moment dimana ia akhirnya bisa datang ke konser idolanya tersebut setelah mati-matian menabung, ternyata menjadi hari yang paling membuatnya hancur.

Wislay mendapat kabar bahwa ibunya yang berada di kampung halaman, tiba-tiba meninggal dunia. Sementara di hari yang sama, konser BLUE mendadak dibatalkan karena Gustro mengalami kecelakaan tragis di perjalanan saat menuju tempat konser dilaksanakan, hingga ia pun meregang nyawanya!

Wislay yang dihantam bertubi-tubi oleh kabar mencengangkan itu pun, memilih untuk mengakhiri hidup dengan melompat dari gedung. Namun yang terjadi justru diluar dugaannya!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ws. Glo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

IILA 20

Hari-hari berlalu begitu cepat. Seolah waktu sengaja berlari, meninggalkan jejak kenangan di setiap sudutnya.

Sudah dua minggu semenjak tragedi di malam ketika Wislay memeluk Gustro yang hampir tak sadarkan diri di pelukannya. Sejak hari itu, mereka tak lagi bertemu secara langsung. Tetapi hubungan keduanya justru terasa semakin dekat, di balik layar ponsel mereka masing-masing.

Setiap hari, Gustro selalu mengirim pesan entah sekadar "sudah makan?" atau laporan bahwa ia sedang berlatih vokal. Kadang disertai foto selfie dengan rambut acak-acakan dan caption:

"Hari ini aku nyanyi kayak ayam kecekik, tapi bayangan wajahmu bikin aku tetap semangat."

Wislay hanya bisa membalas dengan tawa pelan dan emoji tangis-tawa, seraya terus sibuk dengan formulir pendaftaran kuliah yang terhampar di meja kecil kamar kost-nya.

Sore itu, tubuh Wislay sudah lunglai.

Di kamar kostnya yang sempit, tangannya menggenggam lembar formulir pendaftaran kuliah, yang barusan ia isi lengkap.

Matanya sembap mengantuk dengan rambut kusut, karena semalaman begadang menyelesaikan aksesori manik-manik.

"Akhirnya…"

Ia menghela napas panjang, lalu merebahkan tubuhnya ke atas kasur tipis yang menampung segala lelahnya.

Kepalanya menengadah menatap langit-langit, sambil meraba perut yang mulai menipis. Tubuhnya terasa makin ringan, bukan karena bahagia—tapi jam makannya tak menentu, dan jumlah tidur yang bisa dihitung jari dalam seminggu.

Tabungan di dompetnya nyaris habis.

Beberapa hari lalu, ia mengirimkan uang ke kampung halaman untuk membantu keluarganya yang tengah kesulitan. Ia tidak menyesal. Tidak akan pernah.

Karena baginya, keluarga adalah alasan terbesar dia menolak mengulangi hidup lamanya.

"Di kehidupan dulu… orangtuaku harus meminjam uang demi aku bisa kuliah…"

"Tapi kali ini, aku ingin berjalan dengan kaki sendiri."

Ia menutup matanya sebentar, lalu membuka mata perlahan.

Keputusannya sudah bulat.

Ia memilih kelas karyawan malam, meski tahu tidak akan bertemu teman-teman lamanya, bahkan mungkin tidak punya waktu untuk bersosialisasi.

Tapi bagi Wislay, semua itu bukan pengorbanan, melainkan penebusan.

Keesokan harinya, mentari siang menembus jendela kaca toko buku tempat Wislay bekerja. Angin dari pendingin ruangan bergerak malas, seolah ikut lesu mengikuti jam makan siang yang segera tiba. Di dalam toko yang sepi itu, Wislay membuka laci dan mengeluarkan kotak bekalnya—kotak makan berwarna biru langit dengan gambar kelinci yang sudah agak pudar warnanya. Ia tersenyum tipis melihat isi bekalnya yang sederhana: nasi, telur dadar, dan tumis sayur sisa semalam.

"Lumayanlah," gumamnya pelan, memegang sendok dan siap menyuap.

Tetapi baru saja ia hendak duduk, lonceng pintu toko berbunyi.

Ting-tung.

"Permisi…" suara berat namun akrab itu membuat langkah Wislay terhenti.

Ia menoleh, dan sebelum sempat mencerna lebih lanjut, sesuatu yang dingin tiba-tiba menempel di pipinya.

“Red Velvet dingin, spesial untuk kelinci yang bermata sipit,” ujar suara itu lagi.

Wislay tersentak, memegang pipinya, dan nyaris menjatuhkan sendok.

"G–Gustro?!"

Gustro berdiri di hadapannya, lengkap dengan hoodie gelap dan topi yang sedikit miring. Tapi bukan itu yang membuat jantung Wislay berdetak lebih cepat. Melainkan senyumnya yang tak biasa ia lihat dari pemuda itu.

"Sudah lama tidak berjumpa…kelinciku."

DUG DUG DUG.

"Astaga... Kenapa semakin hari dia kian mempesona?" Jantung Wislay berdentum, seperti ada marching band yang tiba-tiba konser dalam dadanya. Pipinya merah padam, dan kata "kelinciku" itu terus bergema di kepalanya seperti alarm yang rusak.

"Tapi sejak kapan… aku jadi kelinci dia…?" batinnya bergemuruh.

Namun di balik keheranannya, ada seulas senyuman yang perlahan merekah.

“Minuman ini… untukku?” tanyanya sambil menatap cup berwarna pink dengan whipped cream menggunung.

Gustro mengangguk pelan, kemudian duduk di salah satu kursi kosong di dekat meja kasir. "Tentu saja. Bukankah kelinci harus diberi minuman yang manis supaya tetap semangat meloncat?"

Wislay mengerucutkan bibirnya, berpura-pura kesal. "Huh, aku ini manusia, tahu."

"Tapi tampangmu seperti kelinci,” celetuk Gustro sambil terkekeh.

Wislay menahan tawa, kemudian duduk berhadapan. "Eh… kebetulan aku mau makan siang. Mau enggak?"

Seperti anak kecil yang ditawari permen, mata Gustro membesar penuh kebahagiaan. "Serius? Tentu! Aku juga lapar banget!" katanya sambil merapatkan kursinya mendekat.

Tiada lama, mereka menikmati rehat di tengah dunia yang ramai. Tapi di balik tawa-tawa kecil itu, ada degupan-degupan yang saling mencari arti.

"Maaf ya, makanannya sederhana," ujar Wislay sambil menyuapi Gustro.

Gustro menatapnya serius. "Bisa makan bersamamu, itu sudah mewah."

Wislay terdiam. Kalimat itu membuatnya tertegun. Ia memandang lekat ke pemuda yang dulu dikenalnya dingin dan misterius, kini berubah menjadi hangat, penuh perhatian, bahkan lucu.

Di antara tawa kecil dan candaan hangat mereka, Gustro tiba-tiba terdiam. Tatapannya menyapu seluruh wajah Wislay, menelusuri garis pipinya yang kini tampak lebih tirus, hingga ke bawah matanya yang sedikit menggelap karena kurang tidur.

"Kau… kelihatan lebih kurus dari sebelumnya," gumam Gustro pelan, tapi jelas.

Wislay terhenti mengunyah. Senyum di bibirnya masih ada, namun tatapan matanya mengarah ke meja. Ia diam sesaat, seperti memilih kata-kata yang tepat, sebelum akhirnya menjawab lembut:

"Akhir-akhir ini aku… kurang tidur, dan jam makanku juga nggak teratur."

Gustro mengernyit khawatir. "Kau sakit?"

Wislay menggeleng. "Tidak, hanya… kelelahan."

"Terus?" Gustro menaikkan alis, seolah mengintimidasi.

Wislay menatap Gustro dengan senyumnya yang menguat. Ada cahaya keyakinan dalam sorot matanya, meski wajahnya terlihat letih. "Aku sedang mengumpulkan uang untuk pendaftaran kuliah, dan sebagian kukirim ke kampung. Keluargaku sedang butuh uang. Jadi aku bekerja lebih keras… diantaranya menulis novel, dagang aksesoris, dan shift toko begini. Ya begitulah.”

Gustro terdiam.

Dadanya terasa sesak mendengar pengakuan itu. Ia tahu Wislay kuat, tapi dirinya tidak menyangka bahwa sebanyak itu beban yang dipikul gadis mungil di hadapannya. Dan yang paling menyentuh adalah… tak ada keluhan dalam suaranya ataupun penyesalan. Yang ada hanyalah keteguhan hati.

Wislay pun menambahkan, dengan senyum tulus yang membuat hati siapa pun bisa remuk: "Tapi aku nggak boleh menyerah. Aku harus terus maju. Toh yang kulakukan ini demi keluargaku… dan juga untuk diriku sendiri."

Gustro tak bisa berkata apa-apa. Air matanya hampir tumpah, namun ditahannya dengan sekuat tenaga.

Bagaimana bisa seorang seperti Wislay… yang tampak rapuh dari luar… menyimpan kekuatan sebesar ini di dalam hatinya?

Di saat orang lain mencari alasan untuk mundur, Wislay justru berjuang diam-diam tanpa berharap orang lain mengerti. Dia berjalan sendiri di tengah malam dingin, tidak menggunakan lentera, hanya berbekal harapan dan keteguhan hati.

Gustro merasa malu.

Malu karena selama ini ia dikelilingi kemewahan, namun sering mengeluh dan selalu merasa dunia tidak adil kepadanya, padahal…ada gadis di hadapannya yang justru menampar egonya dengan cara paling halus.

"Kelinciku…" bisiknya dalam hati. "Kau lebih hebat dari siapa pun yang pernah kukenal."

Ia masih terdiam, menyoroti Wislay yang kembali menikmati makan siangnya dengan lahap, meski lauknya hanya tumis sayur dan telur dadar. Seakan itu adalah makanan terenak di dunia.

Wislay menyadari pandangan itu. Ia menoleh dengan sendok berisi nasi di tangan.

"Hei," ujarnya sambil mengangkat alis. "Kau kenapa? Tatapanmu seperti orang yang mikir keras."

Gustro tersentak.

"Ah!" Ia gelagapan sebentar. "Nggak, nggak ada apa-apa! Aku cuma… merasa makan siang ini… enak banget."

Wislay tertawa. "Kalau enak, tambah lagi."

Gustro terkekeh, "Jangan. Nanti kau tambah kurus lagi. Lagipula…" Ia melirik Wislay yang kembali menyuap makanannya, "Melihatmu makan dengan semangat, rasanya… ikut kenyang."

~

1
Anonymous
ceritanya keren ih .....bagus/Bye-Bye/
Y A D O N G 🐳: Makasih lohh🥰
total 1 replies
😘cha cchy 💞
kak visual x dong juga. ..👉👈😩
😘cha cchy 💞
ini tentang lizkook kan...??
😘cha cchy 💞
kak kalo bisa ada fotonya kak biar gampang ber imajinasi...😁
😘cha cchy 💞: minta foto visual x juga nanti kak..😁🙏🙏
harus lizkook ya KK..😅😃
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!