Wulan masih tidak percaya bahwa dia telah reinkarnasi ke dalam tubuh seorang perempuan yang cantik namun tidak bahagia. Dia adalah istri dari kapten yang tampan dan berkuasa, namun dingin dan tidak peduli dengan istrinya.
Wulan mempunyai janji dengan jiwa aslinya, yaitu mengubah takdir hidup sang kapten agar jatuh cinta dengan tubuh istrinya yang bermana Livia. Tapi bagaimana caranya? Kapten tersebut sangat dingin dan tidak peduli dengan istri.
.
Namun, semakin Wulan mencoba untuk mendekati sang kapten, semakin dia menyadari bahwa kapten tersebut memiliki luka yang dalam dan tidak mudah untuk diobati.
Wulan harus mencari cara untuk menyembuhkan luka tersebut agar sang kapten dapat membuka hatinya dan jatuh cinta dengan Livia.
Bagaimana kelanjutan cerita Wulan? Apakah dia berhasil mengubah takdir hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aira azahra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 23
Demi melancarkan rencananya, Livia mendatangi kediaman Verick untuk bertemu dengan ibu mertuanya.
Tidak lupa, Livia membawa kue kesukaan beliau sebagai alasan agar kehadirannya terasa wajar.
Saat pintu terbuka dan sosok beliau muncul, raut wajahnya memancarkan kegembiraan yang tidak bisa disembunyikan. "Mimpi apa Mama semalam, sampai kamu datang ke sini. Senang sekali rasanya," katanya sambil memelukku erat.
Livia tersenyum, mencoba menutupi kegundahan yang tengah bersarang di hatinya. "Aku dengar Mama kurang sehat belakangan ini, jadi aku ingin menjenguk. Bagaimana keadaan Mama sekarang?" tanyanya sambil sesekali mengalihkan pandangan ke sekeliling ruangan, mencoba menghindari tatapan matanya yang penuh harapan.
"Keadaan Mama jadi lebih baik, apalagi melihat kamu datang ke sini," jawab Nadia dengan tulus. Namun, suaranya segera berubah menjadi nada lembut yang penuh kekhawatiran. "Alex ... bagaimana hubungan kalian? Mama sangat berharap semuanya baik-baik saja."
Livia menghela napas panjang, mencoba merangkai kata-kata yang tepat di dalam benaknya. Namun, hanya keluar bisikan lirih yang nyaris patah, "Aku ... aku merasa Alex berubah akhir-akhir ini, Ma. Dia ... dia tidak lagi seperti Alex yang dulu. Rasanya seperti ada tembok besar yang memisahkan kami."
Nadia menatap menantunya dengan tatapan lembut, mencoba menenangkan. "Mungkin itu karena dia takut kehilanganmu, Nak," ujarnya, menyiratkan harapan dalam setiap katanya.
Livia hanya tersenyum tipis, meski hatinya sendiri terus bergejolak, dipenuhi keraguan dan pertanyaan yang tidak mampu ditemukan jawabannya. "Aku berharap dia berubah sedingin tembok es yang kokoh," gumamnya dalam hati.
"Tidak salahnya kamu memberikan kesempatan kepada suamimu, Livia. Mama jadi senang mendengarnya," ucap Nadia sambil menggenggam jemari menantunya erat. Sentuhan hangatnya seolah mencoba menyalurkan kekuatan yang selama ini terasa hilang darinya.
"Namun, benarkah semudah itu memberinya kesempatan?" Belum sempat Livia menjawab, Lila mendekat.
Wajah Lila tenang, seperti selalu tahu harus berkata apa untuk menenangkan suasana. "Tidak biasanya Alex bersamamu dan bahkan bermalam juga. Mungkin dia memang berniat memperbaiki pernikahan kalian," katanya penuh keyakinan.
Livia hanya mengangguk pelan. Kata-kata mereka seakan membuat hatinya harus berharap, tapi benaknya justru dipenuhi keraguan yang menyesakkan. "Tapi ... aku tidak yakin. Entah pernikahan ini bisa berlanjut atau tidak. Kemarin ..." Suaranya bergetar, ada kepahitan yang sulit disembunyikan. "Kemarin dia berbohong padaku. Katanya mau ke tempat Mama, tapi nyatanya bersama wanita lain. Aku ... aku melihat mereka begitu dekat."
Livia menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang mulai terasa menggenang. "Bagaimana jika dia hanya menguji kesabaranku? Kalau nanti dia kembali seperti dulu ... bagaimana aku bisa menghadapi itu lagi?"
Lila menggelengkan kepala, ekspresi wajahnya penuh kesungguhan. "Jangan berpikiran seperti itu, Livia. Bisa saja wanita itu hanya teman kerja, seseorang dari kapal pesiar yang biasa berlayar bersamanya. Kamukan tahu pekerjaan suamimu?" Nada suaranya mencoba memberi penghiburan, tetapi Livia merasa logika tetap tidak bisa sepenuhnya menerima kemungkinan itu.
Nadia menatap Livia, tatapannya seperti mengiba agar menantunya mempertimbangkan hal ini dengan kepala dingin. "Benar sekali, Livia. Jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan. Beri dia waktu. Kalau kamu ragu, tanyakan Alex baik-baik, ya?" Suaranya lembut, seakan takut melukai hati Livia lebih dalam.
Livia menunduk. Pertanyaan mereka menggantung di pikiran, berulang-ulang tanpa jeda. "Tanyakan? Apa gunanya bertanya bila aku takut jawaban itu menghancurkanku sekali lagi? Tetapi, apa aku salah jika terus meragukannya?"batinnya. Di satu sisi, hatinya ingin percaya, tetapi di sisi lain, luka lama terus saja mendikte pikiran. "Tuhan, apa aku terlalu lemah, atau justru aku hanya menipu diriku sendiri?"
Setelah berbincang cukup lama dengan ibu mertuanya, Livia pamit untuk pergi ke kamar Alex. Tangan ini sudah siap dengan kunci cadangan di genggaman. Ia membukanya perlahan, kemudian melangkah masuk dengan hati-hati. Tujuannya jelas, ia harus menemukan buku nikah mereka.
"Tapi di mana dia menyembunyikannya?" Tangan Livia bergerak cepat, memeriksa setiap sudut ruangan. Ia mengobrak-abrik lemari, laci, bahkan tumpukan dokumen yang tak disentuh sebelumnya. Namun hasilnya nihil. Buku itu seperti lenyap ditelan bumi.
"Sialan!" geram Livia seraya menggigit bibir, berusaha menahan frustrasi. Pikirannya berputar-putar, berusaha mencerna kemungkinan terburuk. "Jangan-jangan... Alex membawanya ke kapal pesiar itu? Ugh, kenapa dia selalu membuatku merasa seperti ini? Sulit dipahami dan menyebalkan."
Livia menggaruk kepala—bukan karena gatal, tapi karena bingung setengah mati. "Kemana lagi aku harus mencarinya? Tapi aku tidak boleh menyerah."
Semangat membara Livia berkata bahwa harus tetap mencoba. Dengan napas tertahan, ia akhirnya berbelok ke ruang kerja keluarga Verick. Pintu ini terasa seperti portal ke dalam misteri yang tersembunyi.
Namun, langkah Livia terhenti ketika matanya menangkap sesuatu di sudut ruangan—sebuah CCTV. "Astaga, mereka bahkan memasang CCTV di sini?" gumamnya dengan nada jengkel, merutuki kekurang telitiannya.
Livia tahu ini berbahaya. Meski tujuannya bukan untuk mencuri, tindakan ini masih saja salah di mata siapa pun yang melihatnya. Dengan berat hati, ia menarik langkah mundur sebelum situasi makin runyam. Napas berat keluar dari mulut ketika ia turun ke bawah.
Tepat di tangga, bertemu Yuli—wanita itu, dengan senyum tipis yang entah mengandung ejekan atau hanya basa-basi belaka.
"Rupanya ada Livia di kediaman Verick, ya? Kamu sudah lama tidak ke sini," ucapnya dengan nada ramah, yang malah membuat Livia semakin gelisah.
"Ya," jawab Livia singkat, menyembunyikan kegelisahan yang membuncah. Di balik senyumnya, ada tumpukan rasa tidak nyaman yang siap meledak kapan saja. Di kepala hanya ada satu pertanyaan, "Sejauh mana rahasia yang Alex sembunyikan dariku?" batinnya.
"Aku ke sini mau melihat ibu mertuaku sakit katanya, Yuli. Bagaimana dengan kabarmu?" tanya Livia tersenyum manis, mengetahui Yuli memang tidak akur dengan pemilik tubuh asli ini.
"Kabarku baik, seperti biasanya dan selalu baik. Tapi kenapa kamu tidak ada di pesta kemarin? Apa benar kamu berubah?" Yuli menyipitkan bola matanya. "Sama sekali, aku tidak percaya soal itu."
"Kamu ingin bukti? Kamu bisa memberitahuku di mana letak buku nikah aku dan Alex. Aku ingin diam-diam melakukan gugatan cerai," ucap Livia terlintas mau memanfaatkan sepupu suaminya.
"Hmmmm ... aku pernah lihat dulu, di mana buk nikah kalian. Setahuku keluarga besar menyimpannya di ruangan rahasia, tapi tidak tahu letaknya di mana. Mungkin di ruang kerja itu?" Yuli menunjukan jarinya ke depan itu. Matanya masih melirik Livia, ada rasa di benaknya masih tidak percaya.
Livia menggeleng kepalanya. "Di dalam sana ada cctv, Yuli. Tidak mudah masuk ke sana," bisiknya pelan.
"Tentu ada cctv di ruang kerja itu, bukan hanya satu dan pasti banyak. Lagian untuk apa berpisah dengan Alex, takutnya kamu menyesal dikemudian hari. Coba kamu pikir-pikir dulu," kata Yuli melenggang menuruni anak tangga.
Livia mengikuti Yuli menuruni anak tangganya. "Aku tahu, kamu dekat dengan Carlos ketua klub motor CM. Benarkan?"
Yuli menghentikan langkahnya. "Hahahha .... awalnya memang benar, bahkan aku tahu kamu masuk klub motor murahan itu. Apa kamu tidak tahu apa-apa tentang mereka? Jangan sampai mereka memanfaatkan kebaikanmu itu."
"Tenanglah, aku bukan wanita yang polos seperti yang kamu pikirkan. Ada sesuatu yang aku selesaikan dengan mereka," kata Livia meninggalkan Yuli seorang diri dan mematung di tempatnya.
"Ma-maksudnya apa?"