Luna harus memilih antara karir atau kehidupan rumah tangganya. Pencapaiannya sebagai seorang koki profesional harus dipertaruhkan karena keegoisan sang suami, bernama David. Pria yang sudah 10 tahun menjadi suaminya itu merasa tertekan dan tidak bisa menerima kesuksesan istrinya sendiri. Pernikahan yang telah dikaruniai oleh 2 orang putri cantik itu tidak menjamin kebahagiaan keduanya. Luna berpikir jika semua masalah bisa terselesaikan jika keluarganya tercukupi dalam hal materi, sedangkan David lebih mengutamakan waktu dan kasih sayang bagi keluarga.
Hingga sebuah keputusan yang berakhir dengan kesalahan cukup fatal, mengubah jalan hidup keduanya di kemudian hari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SAFIRANH, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Suasana siang hari ini terasa begitu lenggang, namun tenang. Matahari telah persis tepat di atas kepalanya, namun hal itu sama sekali tak menyurutkan semangat Kumala untuk keluar di tengah panas terik matahari.
Kumala tampak mengendarai sepeda motornya melewati jalan yang setiap harinya ia lewati, menuju ke arah warung untuk membeli makan siang.
Guru muda itu melewati jalan yang sama, tapi dengan perasaan yang berbeda.
Semua itu karena seseorang, yaitu David. Berulang kali ia menoleh ke arah kaca spion hanya untuk memastikan apakah rambutnya masih terlihat rapi.
Tak lama kemudian, Kumala telah sampai. Ia memarkirkan motornya di bawah pohon besar yang tumbuh di halaman warung tersebut.
Namun, hatinya berdebar. Membuat Kumala menghentikan langkah barang sejenak. Hingga dari arah dalam muncul seseorang yang sangat ingin ditemuinya, yaitu David.
Pria itu melihat kedatangan Kumala, dan memutuskan untuk memeriksa sampai ke arah depan. Saat baru melihatnya saja, David langsung menyambut Kumala dengan senyuman hangatnya.
“Dia tersenyum padaku?” Pikir Kumala tak menyangka akan disambut oleh pria itu.
“Bu Kumala?” panggil David.
Kumala tersadar, lalu mulai menjawab. “Eh, iya.”
“Anda datang untuk membeli makan siang di sini?”
Kumala mengangguk, “Iya, Pak. Apakah warungnya sudah buka?”
“Sudah, Bu. Ayo, silahkan masuk,” ucapnya menyambut dengan sopan.
Kumala melangkah masuk ke dalam warung yang tampak sederhana. Di dalamnya banyak kursi yang masih kosong, belum ada pembeli satupun. Atau mungkin karena baru hari ini warungnya buka.
Kumala mengambil duduk di sebuah meja yang tidak begitu jauh dari tempat pembayaran, atau lebih tepatnya ia memang sengaja mengambil tempat itu karena bisa melihat lebih dekat ke arah David.
“Bu Kumala ingin memesan apa?” tanya David saat memberikan papan sebesar buku tulis, dengan tulisan beberapa macam menu yang mereka sediakan.
Kebanyakan adalah masakan rumah biasa. Kumala menatap ke arah papan menu di tangannya, tapi sesekali mencuri pandang ke arah David yang berdiri di sampingnya.
“Kalau yang ini pedas tidak, ya?” Kumala menyodorkan papan menu itu ke arah David.
Membuat pria yang memiliki tubuh tinggi tegap itu harus menunduk untuk melihat menu yang dimaksud oleh Kumala. Hal itu membuat mereka tanpa sengaja berada dalam jarak yang lumayan dekat, bahkan Kumala bisa mencium aroma pria itu dengan sangat jelas.
Meski merasa sangat gugup, Kumala tetap berusaha tenang. Terkadang ia juga sadar saat melihat cincin pernikahan yang melingkar di jari manis pria itu.
Namun, debaran dalam hatinya tak bisa diredam begitu saja. Kumala tak bisa berbohong, jika ia merasakan hal yang tidak wajar saat berada dalam jarak yang dekat dengan David.
“Bagaimana, Bu?” suara David terdengar tiba-tiba.
Wajah Kumala mendadak bingung. Ia sama sekali tidak mendengarkan apa yang telah dikatakan oleh David. Pikirannya terlalu sibuk berkelana entah kemana.
“Maaf, Pak. Bisa Anda ulangi lagi?” pinta Kumala dengan senyuman. Merasa tidak enak, seolah ia baru saja mengacuhkannya.
David tidak menjawab. Anehnya pria itu justru pergi begitu saja, dan menghilang di area dapur. Hal itu seketika membuat Kumala panik, apakah sikapnya itu telah membuat David marah dan tersinggung.
Di tengah rasa bingungnya, Kumala bangkit dari kursi, hendak menjelaskan pada David. Tapi, pria itu rupanya kembali muncul. Bukan dengan tangan kosong, melainkan membawa satu cangkir teh yang masih hangat.
“Sepertinya Anda kurang fokus. Minumlah ini terlebih dahulu, mumpung masih hangat,” ucapnya setelah meletakkan cangkir ke atas meja.
“Te–terima kasih,” jawab Kumala gugup.
“Anda bisa memesan setelah Anda siap. Pelan-pelan saja, karena saya akan menunggu.”
Kumala kembali terdiam membeku. Ucapan David terdengar sangat lembut dan penuh perhatian sebagai seorang pria. Baru kali ini ia mendengar suara seorang pria yang sangat lembut. Bukan hanya lembut tapi juga terasa menenangkan, sama seperti teh yang baru disajikan.
Terasa manis dan hangat.
Pada menit berikutnya, Kumala telah siap untuk memesan. Tentunya ia masih ingat jika tidak bisa terlalu lama berada di tempat ini. Akhirnya Kumala memesan lontong sayur, dan es jeruk sebagai minumannya.
Dari arah meja itu, Kumala bisa melihat punggung David yang sibuk menyiapkan pesanan. Pundak yang lebar itu, sepertinya akan sangat nyaman jika bisa menjadi sandaran tubuhnya saat merasa lelah.
Kumala kembali tercekat. Sebenarnya apa yang ada dalam pikirannya, kenapa perasaan ini semakin hari semakin besar saja. Seperti sebuah peringatan, jika Kumala memang harus memiliki pria sempurna seperti David.
Tak berapa lama kemudian, David telah kembali sambil membawa beberapa makanan pesanan Kumala. Tangannya begitu cekatan saat memasukkan makanan itu ke dalam plastik besar warna hitam.
Kumala bangkit, lalu melangkah mendekat. “Sudah siap, Pak?” tanyanya.
“Sudah, Bu. Silahkan,” David memberikan dua kantong plastik besar itu kepada Kumala.
Tapi David menangkap jika Kumala sangat kesulitan membawa semua itu menggunakan tangannya yang kecil.
Akhirnya David berinisiatif untuk membantunya. David membawa dua kantong itu menuju sepeda motor milik Kumala. Sedangkan Kumala sendiri telah mulai mengikutinya dari arah belakang.
“Terima kasih, Pak David,” ucap Kumala. Wanita itu tersenyum, tangannya terangkat untuk menyisipkan helaian rambut ke belakang telinga karena terkena angin.
“Sama-sama, Bu. Besok jika ingin memesan bisa lewat ponsel saja, nanti akan saya antarkan sampai sekolahan.”
“Bagaimana saya bisa memesan, jika nomor ponsel Anda saja saya tidak punya,” Kumala mulai beralasan.
“Oh ya, tunggu sebentar,” David mengambil kertas catatan dan pulpen dari saku Apron yang dipakainya.
David tampak menuliskan sesuatu pada sebuah kertas, lalu memberikannya kepada Kumala. Dan itu adalah sebuah nomor ponsel yang sepertinya milik David.
"Ini nomer ponsel saya," ucapnya.
“Terima kasih banyak, Pak David,” balas Kumala membungkuk mengucapkan terimakasih.
“Sama-sama, Bu Kumala. Saya juga terima kasih karena sudah mau membeli makanan di tempat saya.”
Kumala tersenyum. Wanita yang hanya memiliki tinggi badan setara dengan dada David itu, mulai naik kembali ke atas sepeda motornya dengan sangat hati-hati.
Seolah ingin memperlihatkan sosok wanita cantik dan berhati lemah lembut.
Hingga ketika sebuah motor lain melaju dengan cukup kencang menuju ke arah warung makan. Lajunya sangat kencang saat hendak membelah jalan, tapi akhirnya berhenti mendadak di depan warung milik David.
Kumala yang melihatnya sempat membelalak kaget. Pria yang mengendarai motor secara ugal-ugalan itu rupanya adalah kakak kandung David, yaitu Doni.
“David, ayo ikut?” ucap pria itu singkat.
“Ada apa, Mas?” David bertanya karena memang bingung.
“Ku dengar di rumah ada masalah. Ayo cepat! Mending kamu pulang dulu.”
Memangnya ada masalah apa, sehingga mengharuskan David dan Doni pulang sekarang juga ke rumah. Tapi jika melihat wajah Doni sekarang, sepertinya itu memanglah masalah yang penting.
BERSAMBUNG