Nathan Hayes adalah bintang di dunia kuliner, seorang chef jenius, tampan, kaya, dan penuh pesona. Restorannya di New York selalu penuh, setiap hidangan yang ia ciptakan menjadi mahakarya, dan setiap wanita ingin berada di sisinya. Namun, hidupnya bukan hanya tentang dapur. Ia hidup untuk adrenalin, mengendarai motor di tepi bahaya, menantang batas yang tak berani disentuh orang lain.
Sampai suatu malam, satu lompatan berani mengubah segalanya.
Sebuah kecelakaan brutal menghancurkan dunianya dalam sekejap. Nathan terbangun di rumah sakit, tak lagi bisa berdiri, apalagi berlari mengejar mimpi-mimpinya. Amarah, kepahitan, dan keputusasaan menguasainya. Ia menolak dunia termasuk semua orang yang mencoba membantunya. Lalu datanglah Olivia Carter.
Seorang perawat yang jauh dari bayangan Nathan tentang "malaikat penyelamat." Olivia bukan wanita cantik yang akan jatuh cinta dengan mudah. Mampukah Olivia bertahan menghadapi perlakuan Nathan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Adra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DI ANTARA RAK- RAK KENANGAN
Sementara itu di kamar Nathan.
Dengan hati-hati, dokter melepas perban yang telah membalut tangan Nathan selama beberapa waktu. Saat lapisan terakhir terbuka, tampak bekas luka yang mulai memudar, meskipun masih terlihat jelas. Dokter memeriksa pergelangan dan jari-jari Nathan, menggerakkannya perlahan untuk memastikan bahwa semuanya baik-baik saja.
"Kau sudah bisa mulai menggunakan tanganmu, Nathan," ujar dokter dengan nada profesional. "Tapi ingat, jangan terlalu memaksakannya. Otot-ototmu masih butuh waktu untuk kembali kuat sepenuhnya."
Nathan menatap tangannya, membuka dan menutup jemarinya perlahan. Sensasi yang hampir ia lupakan kini kembali, meski masih terasa sedikit kaku. Ada perasaan lega di dalam dirinya.
Olivia, yang berdiri di sampingnya, ikut memperhatikan dengan cermat. "Jadi... dia bisa mulai beraktivitas normal lagi?" tanyanya.
Dokter mengangguk. "Secara bertahap, ya. Kau masih harus latihan ringan dulu, seperti menggenggam benda kecil, menulis, atau mengangkat sesuatu yang ringan. Jika terasa nyeri atau tidak nyaman, jangan dipaksakan. Aku akan tetap mengawasi perkembangannya."
Nathan menghela napas, lalu menggerakkan bahunya sedikit. "Berarti aku bisa kembali menggunakan tangan kananku?" tanyanya, nada suaranya terdengar ragu-ragu.
Dokter tersenyum tipis. "Itu tergantung seberapa cepat kau beradaptasi. Tapi untuk sekarang, jangan langsung mencoba sesuatu yang terlalu berat. Mulailah dengan sesuatu yang sederhana dulu."
Nathan mengangguk pelan, lalu menatap Olivia.
"Aku akan datang lagi minggu depan untuk mengecek perkembangannya. Tapi sejauh ini, kau sudah menunjukkan kemajuan yang luar biasa, Nathan."
Nathan tidak segera menjawab. Ia hanya menatap tangannya, seolah sedang
menimbang sesuatu di dalam pikirannya.
Charlotte tersenyum penuh haru melihat tangan Nathan yang kini sudah bisa digerakkan, meski belum sepenuhnya pulih. Ia berdiri di sisi ranjang, menatap anak lelakinya dengan tatapan hangat, lalu perlahan duduk di kursi di sebelah tempat tidur.
“Lihat dirimu sekarang,” ucapnya lembut. “Tanganmu sudah membaik… Ini semua berkat kesabaranmu, juga bantuan Olivia.”
Nathan hanya mengangguk pelan, menatap ke depan tanpa ekspresi jelas.
Charlotte lalu menyentuh punggung tangan Nathan dengan lembut. “Nak, kau tahu... aku senang sekali melihat kemajuanmu. Tapi ada satu hal yang belum kau lakukan.” Ia berhenti sejenak, memastikan Nathan mendengarkannya. “Kapan kamu siap untuk kembali ke rumah sakit? Untuk terapi lanjutan?”
Pertanyaan itu menggantung di udara. Nathan menunduk, kedua tangannya bertaut di pangkuannya. Matanya redup, dan raut wajahnya kembali berubah serius.
“Dulu kamu menolak... Aku tahu alasannya. Karena kecewa. Karena marah. Karena kamu merasa semuanya berakhir sia-sia,” lanjut Charlotte dengan suara yang tetap tenang. “Tapi sekarang keadaan sudah mulai berubah. Kamu pun sudah mulai berubah...”
Nathan masih tidak menjawab. Diamnya bukan karena tidak mendengar tapi karena hatinya belum bisa melawan bayangan luka yang masih tersisa. Dulu, rumah sakit bukan hanya tempat penyembuhan baginya, tapi juga tempat di mana ia merasa paling hancur, tempat ia menyadari bahwa mimpinya, kehidupannya, seolah direnggut dalam satu kecelakaan.
Charlotte menarik napas pelan, lalu berdiri sambil menepuk bahu Nathan pelan. “Pikirkan lagi, ya, Nak. Aku nggak akan memaksamu. Tapi ingat, kamu nggak sendiri.” Ia tersenyum lalu meninggalkan kamar itu dengan tenang.
Nathan tetap duduk di tempatnya. Dalam diamnya, matanya menatap jendela. Hatinya bergejolak. Ia tahu ibunya benar... Tapi keberanian untuk melangkah kembali belum sepenuhnya ia miliki.
Olivia berdiri tak jauh dari sana, membiarkan interaksi hangat itu terjadi tanpa gangguan. Ia bersandar pelan di ambang pintu, hanya mengamati dan mendengarkan. Senyum tipis menghiasi wajahnya saat melihat Charlotte begitu lembut menyentuh luka batin Nathan dengan kata-kata yang penuh kasih.
Baginya, ini adalah momen yang menyentuh. Charlotte bukan hanya seorang ibu, tapi juga sosok yang tak pernah lelah percaya bahwa anaknya akan kembali, tak hanya secara fisik, tapi juga jiwanya.
Dan dari semua yang diucapkan Charlotte... Olivia tahu, semuanya benar adanya. Nathan memang telah berubah. Ia sudah mulai lebih tenang, lebih terbuka, meskipun perlahan. Tapi masih ada luka yang belum selesai, ketakutan yang masih bersembunyi.
Ketika Charlotte keluar dari kamar, Olivia menyambutnya dengan anggukan kecil, memberi isyarat bahwa ia akan melanjutkan peran merawat Nathan.
Perlahan, Olivia melangkah masuk. Ia tidak langsung bicara, hanya mengambil kursi dan duduk di sebelah tempat tidur Nathan. Ia ingin Nathan tahu bahwa ia tidak harus bicara jika belum siap kehadirannya saja cukup untuk saat ini.
Dalam hati, Olivia berkata pada dirinya sendiri, Aku akan membantumu, Nathan... dengan caraku. Pelan-pelan, aku akan ajak kamu keluar dari ketakutan itu. Karena kamu pantas untuk hidup lagi, bukan sekadar bertahan.
Olivia melirik jam dinding di kamar Nathan, lalu menoleh ke luar jendela. Sinar matahari sudah tinggi, dan cahaya yang masuk ke dalam ruangan tampak lebih menyengat dibanding biasanya.
"Apa kamu mau keluar kamar, Nathan?" tanyanya pelan, suaranya lembut dan bersahabat. "Tapi sepertinya udaranya sudah terlalu panas kalau mau jalan-jalan pagi..."
Nathan menoleh sekilas, ekspresinya datar, tapi ada sedikit keraguan di matanya. Olivia pikir dia akan menolak seperti biasanya, tapi ternyata tidak.
"Aku mau keluar," ucap Nathan akhirnya. "Tapi... bukan ke taman. Kita ke perpustakaan saja."
Olivia sedikit terkejut mendengar permintaan itu. Sejak pertama kali ia merawat Nathan, belum sekalipun pria itu menyebut soal ruang baca pribadi yang kabarnya cukup lengkap itu. Tapi Olivia tahu, ini tanda baik, Nathan mulai membuka pintu-pintu yang selama ini tertutup.
"Baik," jawabnya sambil tersenyum, senang dalam diam. "Aku bantu kamu bersiap, ya."
Nathan mengangguk. Kali ini, tidak ada penolakan, tidak ada komentar tajam. Hanya sebuah keputusan tenang untuk melangkah ke ruang yang mungkin menyimpan banyak kenangan. Olivia tahu, ini akan menjadi langkah kecil menuju sesuatu yang lebih besar. Dan ia siap mendampinginya.
Begitu sampai di depan pintu kayu besar dengan ukiran klasik yang elegan, Olivia membantu Nathan membukanya. Saat daun pintu bergeser, aroma khas buku-buku lama dan kayu menguar pelan, menyambut mereka masuk ke dalam ruangan yang tenang dan teduh.
Olivia terpaku sesaat.
Ruangan itu luas, dinding-dindingnya dipenuhi rak tinggi yang dipadati oleh ribuan buku dengan berbagai ukuran dan warna. Sebagian besar tersusun rapi, sebagian lagi terlihat seperti baru saja dibaca dan diletakkan di meja baca atau sofa kulit yang menghadap ke jendela besar. Di sudut ruangan, ada sebuah tangga kecil untuk mengambil buku-buku yang berada di rak tertinggi.
“Wow...” gumam Olivia tanpa sadar. “Aku nggak pernah nyangka kamu punya tempat seindah ini.”
Nathan hanya duduk diam di kursinya, memandangi ruangan itu sejenak, lalu menggerakkan pandangannya ke arah rak-rak buku favoritnya.
“Kamu suka membaca?” Olivia bertanya sambil melangkah pelan, jari-jarinya menyusuri punggung buku-buku yang berbaris rapi.
Nathan menjawab tanpa menoleh, “Dulu. Sekarang... sudah lama nggak buka satu pun.”
Olivia berbalik memandangnya, matanya melembut. “Tapi kamu masih menyimpannya semua.”
Nathan mengangguk pelan. “Mereka bagian dari hidupku yang lain. Yang lama. Yang sebelum semuanya berubah.”
Olivia diam sejenak. Ia tahu, maksud Nathan adalah masa sebelum kecelakaan, sebelum kemuraman itu mengambil alih dirinya. Tapi ia juga tahu, jika hari ini Nathan mau kembali ke ruangan ini, berarti masih ada harapan.
“Kalau begitu,” ucap Olivia sambil mengambil satu buku dari rak, “mungkin kita bisa mulai dari satu halaman dulu. Siapa tahu, ‘hidup yang lama’ itu masih bisa diajak berteman.”
Nathan menatap Olivia lama, dalam, tapi tak berkata apa-apa. Hanya ada seulas senyum samar di ujung bibirnya. Senyum yang sangat langka.
Nathan kayaknya ingin menggungkapkan perasaannya pd olivia tp keadaan nathan yg lumpuh nathan tidak mau jd beban....
lanju thor...
semangat selalu...
sehat selalu.....
Tenang aja nathan olivia jg ada rasa padamu,,tp olivia sadar tidak pantas untukmu hanya sekedar perawat aja.....
lanjut thor.....
ditunggu updatenya......