Menutupi jati diri dari sang suami, Dilara Agnesia menjalani kehidupan pernikahan toxic demi masa depan adik-adiknya. Pernikahan tanpa cinta dengan seorang pria dingin tak berperasaan.
Mampukan Dilara meluruhkan sikap dingan Alan, suaminya dengan cintanya. Ataukan Dilara harus menerima terus dicampakan, hingga ia lelah dan memilih pergi?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adzana Raisha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Satu Hari Bersamamu
Mentari pagi masih mengintip malu-malu, tertutupi awan tebal kehitaman yang menghiasi langit Ibu kota. Aroma segar sabun dan shampo, menguar indra penciuman saat sepasang insan baru saja keluar dari pintu kamar mandi yang terbuka.
Dilara dan Alan, pengantin lama rasa baru itu baru saja mandi bersama. Tentu mandi bersama pertama kali setelah beberapa bulan menikah. Wajah Alan terlihat segar, namun tak sesegar Dilara meski ia pun sama-sama mandi.
Lelah juga masih tersisa kantuk. Perempuan 18 tahun itu menjatuhkan tubuh di atas ranjang, meski belum berganti pakaian dan tubuhnya hanya ditutupi piyama handuk.
Alan yang melihat, menegur.
"Lara, rambutmu masih basah." Pria itu geleng kepala. Menarik sebuah kursi ke hadapan jendela kaca kemudian menarik tubuh sang istri untuk duduk di sana. "Biar aku keringkan rambutmu."
Dilara ingin merespon tetapi tak berdaya. Ia tak menolak. Meski terkejut saat Alan mengambil sebuah sisir beserta hair drayer untuk mengeringkan rambutnya.
Perempuan berkulit putih itu mengerjap. Merasakan sentuhan tangan sang suami di kepala dan setiap helai rambut miliknya juga menatap dalam pada wajah nyaris sempurna yang terpampang di hadapan.
Dalam diam, tangan Alan terus bergerak, masih juga hanya mengenakan piyama handuk, Alan duduk di depan Dilara dan bekerja untuk bisa mengeringkan rambut istrinya.
Hening, keduanya tak ada yang bersuara. Alan tentu tak menyesali sikap spontannya sedangkan Dilara, perempuan itu juga tampak menikmati.
"Bagaimana kalau kita sarapan di kamar?" Pertanyaan Alan membuat Dilara yang semula menunduk, mengangkat kepala.
"Hah?."
"Ya, kita sarapan di kamar. Bukankah kau juga lapar?. Semalam kita bahkan tak sempat makan." Alan menatap Dilara seraya tersenyum tipis, sedangkan yang ditatap buru-buru menundukkan pandangan.
Yang terjadi semalam pada awalnya hanya sebatas nafsu menggebu, tapi setelahnya Alan dan Lara tampak begitu menikmati. Mereka bahkan melewatkan makan malam, dan tak keluar kamar sampai pagi ini. Lalu sarapan, apa mereka juga masih akan melakukannya di dalam kamar?.
Pipi Dilara bersemu merah saat mengingatnya. Kini Alan mulai banyak berubah. Terlihat hangat dan tak seacuh diawal pernikahan dulu.
"Sebentar." Alan menjauhkan sisir dan pengering rambut dari kepala sang istri. Lagi pula rambut panjang itu kini sudah kering. Pria nertubuh tegap itu memegang telepon rumah mungkin untuk menghubungi para pelayan.
"Antar sarapan kami kekamar." Setelah berucap, Alan menutup panggilan. Ia pun kembali ke tempat duduknya semula. Duduk di hadapan Dilara yang sedang menikmati suasana pagi dari jendela kaca.
"Kau tak ingin berganti pakaian?."
Dilara yang ditanya tiba-tiba gelagapan. Ya, benar saja. Dirinya masih belum berganti pakaian.
"I-iya, a-aku akan berganti pakaian." Dilara lekas menjauh dari pandangan Alan, menuju ruang ganti. Sementara Alan, pria itu menyungging senyum tipis. Bangkit dan mengekori langkah sang istri menuju ruang ganti.
💗💗💗💗💗
"Kenapa memakai baju itu?."
Dilara terkesiap saat tiba-tiba Alan sudah berdiri di belakangnya, terlebih pria itu sampai mengomentari baju yang akan ia pakai.
"H-honey, ke-kenapa kau masuk kesini?." Suara Dilara sedikit menjerit akibat terkejut. Ia menutup lagi piyama yang sudah sempat terbuka.
”Hah, memang kenapa?. Ini juga kamarku jadi tidak ada larangan."
Dilara membenarkan, perempuan itu hanya terkejut namun juga urung manakala ingin memakai pakaian yang sempat dipilih.
Alan meringsek, menggeser tubuh Dilara untuk mengambil pakaian lain milik sang istri yang tergantung. Sepasang mata Dilara membola, saat Alan memberikan satu stel pakaian seksi untuknya.
"Honey, ke-kenapa baju yang ini?." Dilara risih sendiri.
"Loh, kenapa?. Aku hanya membantu memilihkan, lagi pula bukankah setiap hari kau selalu memakai pakaian seperti ini?."
Dilara menelan ludah. Benar juga, tapi sekarang kenapa dirinya malu sendiri jika harus memakainya?.
"Kenapa ragu, pakailah. Udara diluar juga panas, dan kau memang cocok jika memakai pakaian seperti ini." Alan tiba-tiba mendekat lantas berbisik, "Seksi." Alan masih sempat mengecup pipi Lara sebelum beranjak. Meninggalkan sang istri yang masih terpaku di tempat.
❤️❤️❤️❤️❤️
"Honey, kau tidak bekerja." Saat masih menikmati sarapan, Dilara bertanya.
"Tidak, hari ini tidak ada jadwal operasi," jawab Alan seraya mengunyah potongan roti isi. Mereka benar-benar sarapan di kamar. Duduk di dekat jendela kaca yang memperlihatkan panorama sekitar.
Dilara hanya mengannguki, meski sejatinya itu hanyalah alasan Alan. Bukan tidak ada jadwal operasi tetapi Alan sudah melimpahkan tugasnya pada rekan Dokter lain termasuk Leo. Hari ini Alan sengaja ingin menghabiskan waktunya bersama Dilara. Makan, duduk, bercerita, atau bahkan tidur berdua. Itulah keinginannya sekarang.
"Lara," panggil Alan.
"Ya, Honey," jawab Dilara yang sukses membuat bibir sang pria tersenyum tipis.
Honey.
Panggilan itu dulu teramat Alan benci, tapi semakin kesini kenapa dirinya makin menyukai?.
Alan lebih dulu menghabiskan sarapan. Kini pria muda itu menatap sang istri yang sedang menikmati sarapan itu lekat-lekat.
"Sampai sekarang aku masih belum mengetahui tentang dirimu. Asal usul, dan siapa orang tuamu.” Ucapan Alan sontak membuat Dilara yang sedang makan berhenti mengunyah. Tak sangka jika detik ini sesuatu yang sengaja ingin ia tutupi justru dipertanyakan.
"Karna kau tak pernah berbicara tentang keluargamu, maka saat itu aku putuskan mencari taunya dari orang lain sampai pada akhirnya aku bertemu dengan adik-adikmu.” Dilara kehilangan selera makan. Pertanyaan Alan tentang keluarganya justru membawa Lara pada kecemasan.
”A-ayahku sudah tiada, begitu pun dengan Ibuku. Aku hanya hidup bersama adik-adik.”
Alan terlihat menganggukkan kepala.
”Aku lihat adikmu pun hidup dengan nyaman. Disebuah rumah besar dengan fasilitas yang cukup lengkap.” Pria berkata dengan punggung bersandar di kepala kursi dan tangan bersedekah. Tatapannya pun tak beralih pada Dilara.
Inilah yang Dilara takutkan. Perempuan itu memilih jemari yang berada di atas pangkuan. Jika ditanya seperti ini, ia hanya takut salah menjawab dan berakhir dengan kesalahpahaman.
”Kau rupanya punya banyak uang untuk bisa menghidupi adik-adikmu juga memberinya tempat tinggal yang layak.”
Dilara harus menjawab apa?. Mana mungkin ia menjawab jika rumah yang adiknya tempati beserta fasilitasnya adalah pemberian Hary sebagai kompensasi karna mau dinikahi Alan. Tidak mungkin, Dilara tidak ingin membuka nya sekarang. Terkecuali jika Hary sendiri yang memberitahukannya pada sang cucu.
”Honey, apa kau lelah?." Dilara coba mengalihkan pembicaraan.
”Hah, Lelah?.”
”Iya.” Dilara bergerak cepat, tiba-tiba sudah berada di pangkuan Alan ”Jika kau lelah, aku bisa memijatmu.” Tangan Dilara meraba lengan Alan. Memberi pijatan ringan sampai ke leher. Alan mana mungkin mau menolak.
”Lehermu bahkan tegang, Honey.” Rayuan Lara mulai membuai Alan. Dua tangannya mulai memijat bahu sampai leher. Sepasang mata Alan bahkan sampai terpejam karna nyaman.
”Jangan di sini, ayo kita lakukan di sana.” Alan mengendong Lara layaknya koala. Membawanya keranjang untuk adegan pijat selanjutnya.
TBC.
diperalat tok khannnn..kapok..
sekalian jengkol pas top markotop
kakek 👍👍👍👍
ditunggu kejutannya ya kek 🤗🤗
padahal aku udah nungguin upnya lohh
kelakuan kake ama alan
mengocok perutq thor🤣🤣🤣🤣🤣
astga naga
eitsss diego
mau mencelakai siapa??
apkh Dahlia
atw alan
tp q rasa tak mungkin
psti yg di incar yg Laemah
ya kan thor😁
diego diego
kasihannya u
obsesi mpe gangguan jiwa
ya ampun ferguso
"Melambai lambai"
boleh ga q tangkappp
wkwkwkkkk