Nirmala, gadis 14 tahun, tiba-tiba harus tinggal satu atap dengan Dimas, pemuda yang berusia delapan tahun lebih tua darinya. Sejak pertama kehadiran Dimas di rumahnya, Nirmala langsung naksir, ditambah dia mendapat tantangan dari sahabatnya untuk mendapatkan hati Dimas, membuatnya benar-benar mencintai dan menginginkan untuk bersama selamanya dengan pemuda yang sudah dianggap seperti anak sendiri oleh orang tua Nirmala. Jadi, Nirmala berniat untuk menjadi istri dari kakak angkatnya itu, terlebih karena dia merasa mendapat balasan cinta darinya. Membuat Nirmala semakin yakin untuk menjadi istri Dimas. Meskipun Nirmala tidak pernah mengatakan pada kedua orang tuanya, tentang perasaannya itu.
Namun ternyata, diam-diam kakak angkatnya menikah dengan perempuan lain. Nirmala mendapat kabar dari kedua orang tuanya yang tiba-tiba pergi ke luar kota untuk menghadiri pernikahan Dimas. Tapi anehnya, meskipun tahu kebenarannya, Nirmala tetap menutup mata. Dia tetap mencintai, dan terus
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon KidOO, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Nirmala jadi ragu untuk melanjutkan pendidikan di pondok. Bagaimana tidak, sehari saja tidak dapat kabar dari Dimas sudah membuatnya panik kelimpungan tidak karuan, apalagi harus berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan?
"Apa kalau di pondok bener-bener nggak boleh bawa HP, Bu?" Nirmala masih belum yakin dengan apa yang dikatakan oleh ibunya.
"Ya nggak tau, kemungkinan nggak boleh. Soalnya HP kan ganggu belajar. Nanti malah dipakai buat hal yang buruk." Sukma menjawab sekenanya, dia juga tidak berpengalaman tentang perpondokan. Kalaupun dulu dia mondok, pada jamannya memang belum ada HP, jadi tidak akan jadi masalah. Beda dengan jaman sekarang, anak-anak sudah seperti ketergantungan HP.
"Yah, kok gitu ya, Bu. Trus kalau mau ngabarin orang rumah gimana? Mau minta uang saku misalnya?" Nirmala mencari alasan yang tidak akan membuat ibunya curiga.
"Ya, paling pakai HP-nya pengurus di sana. Ibu juga nggak tau sih, coba besok tanya aja, kalau emang kamu mantep mau daftar di sana." Sukma memilih tidak menjawab lagi, daripada salah.
"Haduh, gimana dong, Bu. Anak jaman sekarang kalau nggak pakai HP ya hampa, Bu. Tiap hari juga temannya HP. Kalau tiba-tiba harus lepas dari HP ya pusing! Jam sekolah nggak pakai HP aja rasanya udah galau banget!" Wajah bersemangat Nirmala tadi, seketika berganti jadi keraguan.
"Ya nggak papa, nanti lama-lama juga biasa. Kan di pondok temannya banyak, kegiatannya juga padat, nggak akan ada itu istilahnya bingung nggak ada kerjaan. Trus pengen santai mainan HP. Kalau lagi senggang, pakai aja buat ngobrol sama teman-teman di sana, buat baca buku atau yang semacamnya. Ibu yakin, kamu pasti bisa. Katanya pengen belajar dengan baik? Ya itu, Ibu dukung kalau kamu mau ke pondok." Sukma meyakinkan Nirmala, bahwa pilihannya sudah tepat.
"Tapi, biayanya gimana ya, Bu? Ayah mau nggak biayai? Kan otomatis bayar buat makan, tempat tinggal, listrik dan lain sebagainya. Kalau sekolah di dekat rumah kan paling cuma bayar biaya sekolah sama uang saku setiap hari aja?" Nirmala mencari-cari alasan, supaya ibunya berpikir ulang.
"Udah, kamu nggak usah khawatir masalah biaya. Ayahmu, kalau masalah pendidikan, nggak pelit kok. Kamu tenang aja! Sekarang, bulatkan niatmu dulu aja! Jadi besok, kita tinggal daftar ke pondok yang kamu mau itu."
"Iya deh, Bu. Aku pikirin lagi." Nirmala tidak bisa memutuskan langsung sekarang.
"Yaudah, sana istirahat! Ibu juga mau istirahat."
"Oke, Bu. Aku ke kamar duluan!"
Nirmala berjalan gontai ke kamarnya. Dia tidak bersemangat menaiki anak tangga menuju kamarnya. Sesampainya di kamar, Nirmala berinisiatif untuk melakukan panggilan video dengan Dimas saja. Dia harus secepatnya mengatakan hal ini pada Dimas.
"Halo, La!" Dimas menyapa dari seberang sana. Dia tersenyum manis.
"Halo, Kak. Lagi sibuk nggak?" Nirmala ikut tersenyum, kemudian bertanya sekedar basa-basi.
"Enggak, nih. Ada apa?"
"Aku udah bilang sama Ibu, buat mondok ke tempat yang Kak Dimas rekomendasikan waktu itu."
"Trus? Gimana katanya? Boleh?"
"Boleh, Kak. Tapi...."
"Tapi kenapa?"
"Tapi, aku nggak yakin kuat dengan aturan di pondok, Kak. Katanya di pondok tidak boleh bawa HP, jadi aku harus gimana dong? Tiap hari nggak kabar-kabaran sama Kak Dimas aja rasanya udah mau pingsan. Kalau berhari-hari nggak kabar-kabaran gimana dong? Gimana nasibku?" Nirmala terlihat gelisah.
"Ya nggak papa, kan bisa ketemu langsung kalau pas boleh dikunjungi. Kalau lagi waktunya belajar, ya dipakai buat belajar aja. Mungkin sebulan sekali kan, boleh dikunjungi?" Dimas mencoba menenangkan Nirmala.
"Trus, kalau aku mau minta dikunjungi, gimana dong? Gimana caranya aku hubungi Kakak?"
"Pakai HP pengurusnya. Aku yakin, pasti diperbolehkan kalau cuma mau kasih kabar jadwal kunjungan. Soalnya yang dipondok kan nggak cuma kamu? Yang lainnya juga butuh dikunjungi keluarganya, mereka juga harus mengabari keluarganya. Jadi, kamu nggak perlu khawatir, La!" Dimas kembali menenangkan Nirmala.
"Iya juga sih, ya." Nirmala manggut-manggut paham.
"Nah iya, pokoknya kamu tenang aja! Nggak usah terlalu khawatir! Mungkin awalnya akan berat, tapi lama-lama pasti akan terbiasa. Kamu juga akan sibuk dengan kegiatan pondok, jadi nggak sempat itu, mikir HP."
"Iya juga sih, Kak. Yaudah, aku jadi deh mondoknya. Katanya Ibu mau pasrah sama Kak Dimas, biar Kak Dimas yang sering ngunjungi aku. Soalnya Ayah sama Ibu kan mungkin susah kalau harus kunjungan rutin."
"Yaudah nggak papa. Besok kabari aja! Kamu harus mencatat nomer-nomer penting yang bakalan kamu hubungi suatu saat. Nomer Bapak, Ibu, juga nomerku. Dicatat ditempat yang tidak mungkin hilang. Misalnya di bagian dalam tas atau di mana saja yang mudah ditemukan tapi tidak mudah hilang. Jangan di buku, kalau bukunya hilang, hilang sudah semuanya. Paling aman ya dicatat di beberapa tempat. Kalau satu hilang, masih punya cadangan lainnya." Dimas berpesan pada Nirmala. Pesan yang masuk akal.
"Oke, Kak. Besok aku siapin semuanya deh."
Nirmala tersenyum. Sekarang, dia sudah mantap dengan pilihannya. Dia akan mendaftar ke pondok yang dekat dengan kantor Dimas. Jadi dia ia berharap nantinya akan lebih sering bertemu dengan Dimas.
***
Nirmala jadi untuk melanjutkan sekolah di pondok pesantren yang memiliki sekolah juga di dalamnya. Ia berangkat ke pondok di temani oleh ayah ibunya, juga Claudia. Sedangkan Dimas, menunggu kedatangan keluarga angkatnya itu di pondok.
Sebelum menyerahkan Nirmala ke pondok, mereka terlebih dulu makan bersama di sebuah rumah makan yang tak jauh dari pondok itu. Nirmala mengambil beberapa foto untuk kenang-kenangan. Tak lupa mengunggahnya di berbagai macam sosial media miliknya. Jadi, suatu waktu ada kesempatan untuk bermain internet, mungkin saja dia bisa membuka sosial media dan melihat lagi foto orang-orang terkasihnya itu.
"Udah selesai makannya?" Ayah Nirmala bertanya pada semuanya.
"Udah!" Semuanya menjawab kompak.
"Yaudah, ayo kita kembali ke pondok. Kita serahkan Lala pada pengurus pondok." Ayah Nirmala beranjak dari duduknya, diikuti oleh semua anggota keluarganya.
Mereka segera kembali ke pondok dan melakukan serah terima dengan pengurus pondok.
"Bu, kalau di pondok boleh bawa HP atau tidak?" Nirmala memberanikan diri untuk bertanya.
"Boleh, tapi harus dikumpulkan. Baru boleh diambil kalau sedang jadwal libur atau jadwal kunjungan." Jawaban dari pengurus pondok itu terasa menyejukkan bagi Nirmala. Dia pasti akan menunggu-nunggu hari libur itu datang.
Setelah semuanya beres, ayah dan ibunya Nirmala berpamitan. Meninggalkan Nirmala yang ditemani Dimas. Dia akan pulang belakangan.
Nirmala melambaikan tangan pada ayah dan ibunya. Tak terasa ia meneteskan air matanya. Baru kali ini, dia akan jauh dari orang tuanya untuk waktu yang lama.
"Udah, La." Dimas menepuk-nepuk pundak Nirmala. Membuat jantung Nirmala berdegup lebih cepat lagi. Saat ini perasaannya terasa campur aduk.
alurnya bagus
jadi sayang kalo GK mampir baca cerita ini:)
up terus yaaaa...