Jena memutuskan untuk mengakhiri hidupnya, karena stress punya suami manipulatif dan licik. Selingkuh dengan tujuh wanita sekaligus, bahkan dengan pelayan di rumah pun suami Jena bernama Jino itu selingkuh.
Keluarga, sahabat dan mertua tak ada yang percaya kalau Jino selingkuh sebab pria itu sangat baik pada Jena.
Awalnya Jena juga tak percaya kalau belum melihat dengan mata kepala sendiri. Dia menggugat cerai Jino, malah mendapat tamparan dari ayahnya yang mengira Jena telah durhaka pada suaminya.
"Tuhan, sengaja membuat ku bereinkernasi agar bisa membongkar kebusukan mu, Jino. Aku tidak akan menggugat cerai mu, tapi aku akan membuat orang tua ku memaksa mu untuk menceraikan ku. Enak saja kamu selingkuh dengan tujuh wanita, sedangkan setiap malam kamu masih minta jatah sama aku. Cih, kamu kira setelah tahu perselingkuhan mu, aku masih mau melayani tubuh kotor mu itu," gerutu Jena setelah bangkit dari tidur panjangnya.
Wanita itu akan balas dendam pada suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kisss, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kehidupan Pertama Jena : Di Tengah-tengah Hujan
Sejujurnya Jeno merasa gugup, untuk pertama kalinya dia memboncengi seorang gadis. Meski di kampus sangat banyak gadis yang mengejarnya, Jeno tidak mau, karena dia sadar. Banyak dari mereka tidak tulus, menyukainya karena tampan dan pintar.
Di depan memang seperti suka. Tetapi, di belakang mereka mencela Jeno, karena miskin.
Sedangkan, di belakang. Jena tersenyum-senyum sendiri, baru pertama kali naik sepeda dibonceng pria. Entah mengapa dia merasa sangat tertarik dengan Jeno. Sorot mata pria itu tidak sama seperti pria lain.
Banyak pria memandangnya penuh damba. Tetapi, Jeno tidak. Seolah pria itu tak tertarik pada kecantikannya.
"Kamu kuliah jurusan apa?" tanya Jeno membunuh keheningan antara mereka berdua.
"Ilmu kedokteran ahli bedah di kampus Malikussaleh!" jawab Jena diselingi senyuman manis terpasang di wajahnya.
"Wah, hebat. Berarti kita satu kampus, dong. Aku juga Malikussaleh. Bedanya aku jurusan hukum."
Jeno membalasnya dengan suara santai. Membuat Jena nyaman. Saat sedang mengobrol, rintikan hujan mulai mengenai tubuh mereka.
"Kamu suka hujan?" tanya Jeno tiba-tiba membuat Jena terdiam beberapa saat.
"Suka, memangnya kenapa?" Jena bertanya balik.
"Kalau kamu tidak suka hujan, aku uda mencari tempat untuk berteduh. Tapi, kalau kamu suka, kita pulang sambil mandi hujan. Gimana?" tanya Jeno dengan suara keras, karena hujan semakin deras.
Jena tersenyum lebar. Kapan lagi dia akan menghabiskan waktu dengan pria penyelamat nya. Apalagi seumur hidup Jena tidak diizinkan mandi hujan oleh orang tuanya.
"Terlambat untuk mencari tempat berteduh. Kita berdua sudah terlanjur basah!" teriak Jena membuat Jeno tertawa.
"Aku anggap kamu setuju." Jeno tertawa lepas.
Kedua insan yang kelelahan, karena terlalu banyak tugas kuliah itu tertawa bersama. Menikmati indah dan dinginnya air hujan di tengah malam.
Momen bersejarah bagi keduanya yang takkan terlupakan. Keduanya tidak pernah berdekatan dengan lawan jenis. Namun, malam ini seolah takdir merestui pertemuan pertama mereka.
"Boleh aku tanya sesuatu?" tanya Jena dengan suara keras.
"Tanyakan saja."
"Kenapa kakak suka hujan?" Jena bertanya lagi membuat Jeno tersenyum tipis.
"Karena orang-orang tidak akan tahu kalau aku menangis di tengah hujan!" jawab Jeno lantang disertai senyuman manis terpasang di wajahnya.
Mendengar jawaban Jeno membuat hati Jena terasa sedih. Tetapi, yang pasti sekarang Jena tahu kelebihan hujan. Yaitu bisa membuat seseorang nyaman menangis bersamanya.
"Kenapa harus dengan hujan?" Jena kembali bertanya karena terlalu penasaran.
"Maksudnya?"
"Maksudku, kenapa harus menangis di tengah hujan? Kenapa tidak menangis di depan manusia? Keluarga? Sahabat? Atau kekasih?" tanya Jena bertubi-tubi membuat Jeno tersenyum miris.
"Karena hujan tidak pernah menceritakan pada siapapun, kalau aku menangis bersamanya. Berbeda dengan manusia yang tidak bisa menjaga rahasia. Di depan ku mereka terlihat iba, tapi, di belakangku mereka menertawakan air mataku! Manusia itu palsu … aku tidak percaya pada manusia!" teriak Jeno di tengah-tengah hujan.
Ucapan pemuda bersepeda unta itu penuh makna. Ada banyak luka yang tersirat dalam perkataannya.
Benar sekali, apa yang Jeno katakan. Begitu banyak manusia yang dulunya berlagak seperti pahlawan saat kita butuh bantuan. Lalu, di kemudian hari mereka menjadi antagonis yang berkisah tajam mengungkit segala kebaikan mereka.
Tidak hanya itu, manusia tidak segan membongkar rahasia demi mendapatkan kepuasan semata.
Hari ini teman, besok menjadi lawan. Begitulah manusia, meski punya akal untuk berpikir. Ada kalanya, mereka menjadi binatang buas yang tak bisa untuk berpikir.
Manusia bisa mulia mengalahkan malaikat. Bisa jahat melampaui iblis, bisa hina lebih dari binatang.
"Rasa sakit seperti apa yang mereka berikan, sampai kakak tidak ingin percaya lagi pada manusia?" tanya Jena lagi yang punya rasa penasaran tingkat tinggi.
Jeno tersenyum getir. Matanya kembali memerah, setiap hujan turun, Jeno merasa damai. Topeng pura-pura baik telah ia lepas. Tak segan menangis meluapkan segala perih di dalam dada.
"Terlalu banyak. Sampai aku tidak tahu harus mulai dari mana!" balas Jeno dengan suara tinggi bercampur serak.
Jena paham kalau pria di depannya ini sedang menahan tangis. Tangannya terulur untuk memeluk pinggang Jeno. Dia menyandarkan kepalanya pada punggung kekar Jeno.
Tiba-tiba sang gadis berteriak kencang di tengah hujan membuat Jeno terkejut.
"Kenapa?" tanya Jeno kaget nyaris berhenti mengayuh sepedanya.
"Tidak apa-apa. Aku hanya ingin teriak saja. Bila kakak suka menangis di tengah hujan, aku suka berteriak di tempat sepi untuk meluapkan kemarahan ku!" Jena bercerita membuat Jeno terkekeh kecil.
Ternyata manusia memiliki berbagai cara untuk melepaskan amarah dalam dirinya. Salah satunya menangis di tengah hujan, satunya lagi berteriak di tempat sepi.
"Kakak mau mencobanya?"
"Apa?"
"Berteriak seperti yang aku lakukan. Pasti rasanya lebih lega!" tawar Jena membuat Jeno tersenyum.
"Benarkah?"
"Benar."
Jeno yang mendengarnya tersenyum cerah. Lalu menarik nafasnya dalam-dalam, kemudian berteriak.
"Tuhan?! Kenapa aku miskin? Jadi, orang miskin itu melelahkan, Tuhan. Shampo habis, terpaksa harus pakai rinso buat keramas. Untung rambutku tidak botak, Tuhan?!" teriak Jeno sembarang membuat Jena yang di belakang tertawa lepas.
Begitupun Jeno. Dia ikut tertawa, karena secuil rasa lelah dalam hatinya telah ia luapkan dengan teriakannya.
"Tuhan?! Katakan pada orang miskin, kalau jadi orang kaya itu juga capek?! Tidak ada yang tulus berteman dengan orang kaya?! Terlalu banyak penjilat, sampai orang kaya tidak tahu yang menjilat kakinya anjing atau manusia?!" teriak Jena meluapkan kekesalannya membuat Jeno tertawa kencang.
Keduanya sama-sama tertawa. Ternyata orang miskin dan orang kaya memiliki ujian masing-masing.
Cobaan untuk orang kaya tidak cocok untuk orang miskin. Begitupun sebaliknya.
"Hey, Jena?! Jadi, orang kaya itu enak. Apa kamu tidak mendengar quote: Lebih baik menangis di dalam mobil BMW, daripada tertawa di atas sepeda unta," celetuk Jeno membuat Jena terkikik geli.
"Aku pernah mendengarnya! Tapi, aku lebih suka tertawa daripada menangis. Tidak peduli tertawa di dalam mobil BMW atau tertawa di atas sepeda unta. Keduanya sama … sama-sama tertawa!" balas Jena santai memberikan pendapatnya.
"Baiklah, pegangan yang kuat. Aku akan ngebut sekarang!" titah Jeno membuat Jena memeluk erat pinggang Jena.
"Oke. Pastikan tidak ada polisi di depan, biar kita tidak di tilang, karena kakak ngebut!" balas Jena kembali membuat Jeno tertawa.
"Ha ha … anggap saja sepeda untaku berubah menjadi motor CBR 250R!" Jeno mengayuh sepedanya dengan kencang membuat Jena tertawa bahagia di belakang.
Dia benar-benar senang bertemu dengan Jeno. Pemuda yang unik dan berkarakter kuat. Juga misterius, meski di lihat sekilas Jeno seperti orang yang mudah terbuka.
Satu jam setengah mengayuh sepeda, akhirnya mereka tiba di depan gerbang tinggi rumah Jena.
"Waw … rumahmu seperti istana!" puji Jeno membuat Jena tersenyum kecil.
"Tapi, istana ini belum punya pangerannya," balas Jena penuh arti, Jeno langsung menoleh ke arahnya.
*
*
Bersambung.
Jangan lupa like coment vote dan beri rating 5 yah kakak 🥰😘
Salem Aneuk Nanggroe Aceh ❤️🥰
Maaf kalau terlambat up, karena author sakit. Ini aja nulisnya lama banget, karena keadaan sedang tak baik.