Seorang bocah ikut masuk dalam mobil online yang di pesan Luna tanpa ia sadari karena mengantuk. Setelah tahu bahwa ada bocah di sampingnya, Luna ingin segera memulangkan bocah itu, tapi karena kalimat bocah itu begitu memilukan, Luna memilih merawat bocah itu beberapa hari.
Namun ternyata pilihannya merawat bocah ini sementara, membawa dampak yang hebat. Termasuk membuatnya berurusan dengan polisi bahkan CEO tempatnya bekerja.
Bagaimana kisah Luna membersihkan namanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lady vermouth, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 23
Ian datang dan mendekati kamar Elio. Meski sudah bisa membuat Luna mau untuk membujuk putranya untuk menerima Naura, Ian tidak segera melakukannya. Entah kenapa dia ragu. Banyak keraguan yang tidak jelas membayanginya.
“Papa!” teriak Elio senang lihat papanya datang. Bocah itu berdiri dari duduknya dan berlari ke arah papanya. Ian melebarkan lengan untuk memberi pelukan pada putranya. “Aku pikir papa tidak pulang lebih awal. Ternyata papa pulang,” kata Elio mendongak ke arah papanya seraya menjauhkan tubuhnya. Lalu kembali memeluk dengan erat saat yakin bahwa papanya benar-benar pulang ke rumah.
Bibi pengasuh tersenyum melihat itu.
“Mmm ... Elio sudah makan?” tanya Ian.
“Sudah.” Kepala Elio celingukan.
“Kamu mencari apa, Elio?” tanya Ian heran. Ia juga ikut menoleh ke belakang.
“Papa tidak dengan Tante Naura, kan?” tanya Elio menyelidik. Bibi pengasuh melirik. Ian tersenyum.
“Tidak,” jawab Ian. Bibi pengasuh mundur. Beliau keluar dari kamar. Karena sepertinya majikannya ingin hanya berdua saja dengan putranya.
“Papa harus janji. Jangan menjadikan Tante Naura itu sebagai mama baru ku,” tegas Elio.
“Sini, papa mau bicara.” Ian menangkap tubuh Elio dan memangkunya. Ian tidak menjawab iya atau tidak.
“Apa kamu kangen sama mama?” tanya Ian. Elio mengangguk dengan sendu. Meski sebenarnya istri Ian meninggal saat dia masih berumur 4 tahun, dimana bocah seumur itu masih belum paham arti kematian, tapi Elio sepertinya merasakan bahwa mamanya sudah tidak ada. “Papa juga kangen.” Ian memeluk putranya.
“Aku mau ketemu Tante Luna.” Tiba-tiba saja mulut bocah ini menyebut nama Luna. “Papa juga sudah bilang aku boleh ketemu sama Tante Luna, kan?” tagih Elio.
“Iya, papa tahu.”
...***...
"Lun, Lun! Bangun!" panggil Bi Muti di depan kamar Luna. Perempuan ini masih menggeliat di bawah selimut. Padahal matahari sudah terik sekali. Tangannya mengucek mata. Meskipun masih berkabut, ia mencoba meraih ponselnya untuk melihat sekarang sudah jam berapa.
"Lun!" panggilan Bi Muti masih terdengar. Dia menoleh ke asal suara. Lalu melihat ke arah ponsel lagi.
"Hah?! Jam delapan kurang lima belas menit?!" teriak Luna. Ia beranjak dari tidurnya dan berjalan ke pintu.
"Lu ..." Bi Muti mengentikan kalimatnya saat Luna sudah membuka pintu. "Lun, ada yang ..."
"Maaf, Bi. Aku mau ke kamar mandi." Luna menerobos tubuh Bi Muti untuk bergegas ke kamar mandi.
"Tunggu Luna!"
"Bi. Ini sudah siang. Aku akan terlambat!" teriak Luna panik.
"Ada orang suruhan Pak Ian di depan," kata Bi Muti langsung menghentikan langkah Luna.
"Apa Bi?" tanya Luna mengernyitkan dahinya.
"Ada orang suruhan Pak Ian." Bi Muti mengulang lagi kalimatnya.
"O-orang suruhan Pak Ian? Ngapain?" tanya Luna gagap.
"Ya, Bi Muti mana tahu Lun ... "
"Aku harus cepat mandi."
"Enggak temui orang itu dulu?"
"Setelah mandi aja. Aku malu kalau terlihat masih belek-an ketemu orang. Bi Muti aja yang bilang suruh tunggu!" teriak Luna karena sudah masuk ke dalam kamar mandi.
...***...
Ada apa apa Pak Ian menyuruh orang menemui aku? tanya Luna dalam hati. Pertanyaan semacam itu terus saja berada di otaknya saat ia selesai mandi dan berjalan ke depan. Ke rumah Bi Muti.
Dia pikir itu Danar, tapi kemudian dia berpikir lagi bahwa tidak mungkin. Bi Muti tahu benar wajah pria itu. Beliau tidak menyebut nama Danar. Lalu siapa?
"Nah, Luna sudah selesai mandi." Bi Muti menunjuk Luna yang baru muncul. Pria itu Luna tidak kenal.
"Siapa ya?" tanya Luna merasa tidak kenal.
"Ini nona Luna ya?" tanya pria itu.
Nona? Luna terkekeh di dalam hati.
"Saya sopir rumah Pak Ian. Saya di suruh untuk menjemput nona sekarang."
"Jemput? Jemput kemana?" tanya Luna bingung. "Saya ini mau kerja, Pak. Jadi saya enggak bisa kemana-mana. Ini juga pasti sudah telat." Luna memandang jam dinding dengan wajah pucat pasi. Karena dia akan di marahi lagi oleh HRd. Juga dia belum yakin bahwa orang ini adalah suruhan Pak ian. “Aduuhh ... Maaf ya, Pak. Saya enggak bisa. Saya harus berangkat ke kantor. Demi kelangsungan hidup saya, saya harus segera berangkat sekarang.”
Tanpa peduli lagi dengan Bapak yang sepertinya seumuran dengan Bu Muti, Luna keluar dan memacu motornya dengan cepat ke perusahaan.
Sungguh sebuah mukjizat saat Luna muncul di depan ruang HRD, wajah perempuan yang jadi Kabag HRD itu tersenyum. Keringat Luna sudah mengucur di balik pakaian kerjanya. Namun dia harus tegak berdiri menghadap.
“Luna?” tanya Mbak Mera terkejut.
“Maaf.” Kepala Luna menunduk lebih dalam dari saat pertama kali ia terlambat. Karena apa? Ini kedua kalinya ia terlambat. Jadi dia harus meminta maaf sebesar-besarnya agar tidak mendapat penilaian buruk lebih banyak lagi.
“Lho, kok kamu kesini Lun?” tanya Mera. Luna tidak berani mendongakkan kepala.
“Saya terlambat, jadi saya menghadap.” Luna sedikit merasa aneh dengan pertanyaan seniornya ini.
“Aku tahu kamu terlambat, tapi kan karena sedang di suruh oleh Pak Ian?” Mendengar pertanyaan ini, Luna mendongak dengan cepat.
“A-pa maksudnya?” tanya Luna tidak mengerti.
“Pak Ian telepon aku tadi pagi, beliau bilang ... Hari ini kamu akan terlambat datang karena Pak Ian menyuruhmu ke rumahnya. Membahas soal ulang tahun perusahaan itu mungkin. Jadi dia tidak ngantor sekarang.” Mbak Mera menjelaskan dengan baik.
Bola mata Luna berkedip-kedip. Dia belum paham maksud Mera.
“Memangnya kamu enggak di hubungi sama Pak Ian?” tanya Mera merasa Luna tidak ke rumah atasannya itu sama sekali.
“Aku enggak punya nomornya Pak Ian. Sementara Pak Ian juga sama,” jelas Luna polos.
“Eh, benarkah? Terus hubungi kamu untuk kasih tahu kalau kamu harus ke rumahnya, gimana?”
“Aduh. Pasti pak itu tadi.” Luna ingat dengan orang yang mengatakan dari rumah Pak Ian tadi.
“Pak siapa?” Mera ingin tahu.
“Sopir rumah Pak Ian. Aduh, Mbak ... Aku pikir enggak mungkin Pak Ian menyuruhku ke rumahnya tanpa pemberitahuan.”
“Kan Pak Ian enggak tahu nomor kamu, Lun.”
“Iya, tapi kemarin kan ...” Luna hampir saja mengungkap sendiri kalau dia berada di cafe semalam dengan Pak Ian. “Kalau begitu, saya harus ke rumah Pak Ian nih Mbak?”
“Sepertinya begitu.”
“Aku minta tolong sama ...”
Kringg ... Pesawat telepon di meja berbunyi. Mera menghentikan kalimat Luna dan menerima telepon itu.
“Mera di sini. Ya, Pak. Iya.” Luna mengerjapkan mata saat bola mata Mbak Mera menatapnya. “Luna ada di sini. Di ruangan saya. Dia baru datang. Iya, baik.” Mera meletakkan pesawat telepon pada tempatnya. Ini membuat Luna penasaran.
“Pak Ian?” tanya Luna.
“Ya. Kamu di minta ke rumahnya sekarang.”
“Aku belum tahu rumahnya Pak Ian, Mbak.”
“Ada orang suruhan Pak Ian yang datang menjemput,” kata Mbak Mera. Dan benar. Ternyata itu adalah orang yang tadi datang ke rumahnya.
“Halo Mbak Luna.”
“H-halo, Pak. Maaf ya, tadi saya enggak percaya kalau Bapak suruhan Pak Ian. Soalnya kan Pak Ian belum memberi tahu kalau ada yang mau jemput saya.” Luna meminta maaf atas kekeliruannya tadi. Mengira bahwa bapak ini berbohong.
Selain itu, Luna juga merasa aneh kalau Pak Ian menyuruhnya datang pagi-pagi ke rumahnya. Jadi ia tidak percaya.
“Enggak apa-apa, Mbak.” Bapak itu maklum.
Akhirnya Luna ikut dengan orang suruhan Pak Ian. Ia tinggalkan motornya di pelataran parkir perusahaan. Ia naik mobil dengan bapak ini. Dalam hati Luna terus saja bertanya. Ada apa Pak Ian menyuruhnya datang pagi-pagi? Jam setengah sembilan termasuk pagi untuknya jika itu ke rumah Pak Ian yang belum pernah di datanginya.
...______...