Desa Tirto Wening adalah sebuah desa yang ada di pelosok sebuah wilayah Kabupaten. Dipimpin oleh seorang pemimpin berdarah biru yang merupakan keturunan bangsawan keraton, desa itu terkenal dengan kemakmuran warganya.
Mahesa Narendra, pria tampan yang di gadang - gadang akan menjadi penerus kepemimpinan sang Ayah di Desa Tirto Wening, di minta untuk menikahi seorang gadis, putri dari sahabat Ayahnya.
Pak Suteja, sahabat sang Ayah, meminta Raden Mas Mahesa untuk menikahi putrinya yang bernama Anaya Tunggadewi. Semua itu Pak Suteja lakukan untuk melindungi putri semata wayangnya dari keluarga yang sedang memperebutkan harta waris.
Bagaimanakah romansa di antara keduanya?
akankah mereka berdua hidup bahagia?
apakah Anaya akan betah tinggal bersama suaminya di desa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GoodHand, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19. Reog Ponorogo
"Baru nongol aja, manten anyar ini." Ledek Raden Madana saat melihat Raden Mas Mahesa dan Anaya yang baru datang.
"Iya dong! Namanya juga manten anyar. Ya nggarap dulu." Jawab Raden Mas Mahesa tanpa dosa.
"Astaghfirullah, Raden Mas! Sembarangan banget ngomongnya!." Omel Anaya sambil mencubit lengan suaminya.
"Kan bener, Dek Ayu. Aku tadi garap kerjaan pabrik dulu sebelum kesini. Pikiranmu aja yang kemana - mana." Sahut Raden Mas Mahesa sambil menyentil dahi Anaya.
"Sudah - sudah. Raden Mas ini kenapa kok bathuk (dahi) Raden Ayu di sentil gitu." Omel Gusti Ayu.
"Biar pikirannya gak kemana - mana, Bu." Jawab Raden Mas Mahesa sambil tertawa lirih melihat istrinya mengusap - usap dahi dengan bibir merengut.
"Duduk sini, Raden Ayu." Gusti Ayu menepuk tempat di sebelahnya, meminta Anaya duduk di sana.
"Njih, Ibu." Jawab Raden Ayu yang kemudian duduk di sebelah ibunya.
"Kamu gak mau duduk sama aku, Dek Ayu?." Tanya Raden Mas Mahesa.
"Duduk sama ibumu saja, Raden Ayu. Mengko ndak bubrah sirahmu di sentili Raden Mas. (Nanti berantakan kepalamu -otak/pikiran- di sentil terus sama Raden Mas.)" Kini Kanjeng Gusti yang berbicara, membuat Raden Mas Mahesa hanya bisa cengar - cengir.
"Loh, Raden Ajeng kemana, Bu?." Tanya Anaya.
"Raden Ajeng lagi ke stasiun untuk menyusul Andini, sepupunya. Katanya mau membantu kita di sini." Jawab Gusti Ayu.
Anaya hanya mengangguk karna dia tak mengenal siapa Andini. Anaya sendiri belum mengenal banyak keluarga Raden Mas Mahesa, terutama dari pihak ibunya. Yang banyak ia kenal adalah keluarga Raden Mas Mahesa dari pihak ayah.
Mereka tampak menikmati pentas seni yang di tampilkan dari bawah tenda. Anaya sendiri sudah jarang melihat pentas seni seperti ini di daerahnya. Di kota, sudah sulit di temui hiburan yang merakyat seperti ini.
"Kamu mau naik Dadak Merak (Salah satu topeng yang di gunakan pada seni reog yang berbentuk kepala singa dengan merak yang mengembangkan ekor di atasnya), Dek Ayu?." Tawar Raden Mas Mahesa.
"Memang bisa? Bukannya itu cuma di gigit? Jangan lah, Raden Mas, kasihan orangnya nanti keberatan." Jawab Anaya yang menolak.
"Raden Mas, Ayo!." Ajak Raden Madana sambil mengode kakaknya.
"Aku tinggal dulu ya, Dek Ayu." Pamit Raden Mas Mahesa yang berbisik pada Anaya di depannya.
Anaya sendiri hanya mengangguk untuk menjawab ucapan Raden Mas Mahesa tanpa menanyakan kemana suaminya itu akan pergi. Anaya tampak fokus menikmati penampilan Reog Ponorogo di depannya.
"Loh pergi kemana Raden Mas dan Raden Madana, kok lama?." Batin Anaya yang celingukan setelah beberapa saat.
"Raden Ayu, lihat lah Bujang Ganong dan Klono Sewandono yang baru masuk itu. Cepat perhatikan." Ujar Gusti Ayu dengan antusias.
"Ada apa memangnya, Ibu?." Tanya Anaya yang turut melihat dengan apa yang dimaksud oleh ibu mertuanya.
Gusti Ayu dan Kanjeng Gusti hanya bisa tersenyum melihat Anaya yang nampak kebingungan karna di minta untuk memperhatikan dua tokoh dalam seni reog itu.
"Klono Sewandono itu adalah sosok raja yang gemar berkelana. Dia adalah pemimpin yang bijak." Ujar Kanjeng Gusti sambil menunjuk sosok yang memakai topeng bermahkota.
Sosok Klono Sewandono tampak menari dengan gagah dan berwibawa. Ia menari sambil memegang cemeti (cambuk/pecut) di tangannya.
"Sedangkan yang lincah itu, bernama Bujang Ganong atau Patih Bujangga Anom. Dia adalah sosok patih muda yang lincah, cekatan, jenaka namun terkenal cerdik dan sakti." Kanjeng Gusti melanjutkan penjelasannya sambil menunjuk ke arah pria yang memakai topeng berwarna merah dengan hidung besar dan bulu lebat yang menutupi pelipis.
Bujang Ganong itu tampak menari dengan lincah kesana dan kemari. Menghibur warga terutama anak - anak dengan tingkah kocaknya yang membuat Anaya tertawa.
Anaya tampak memperhatikan sosok Klono Sewandono. Ia seperti mengenali tubuh bagian atas yang terbuka dari sosom tersebut. Namun ia segera menepis pikirannya itu.
"Mana mungkin! Aneh - aneh saja pikiranmu Anaya!." Batin Anaya yang membuatnya geleng - geleng sendiri.
Tak Lama kemudian, sosok Klono Sewandono yang ia perhatikan, mulai berjalan mendekat dengan membawa Singo Barong (Dadak Merak) bersamanya. Ia kemudian meminta Anaya untuk naik ke atas Singo Barong yang sudah bersiap.
"Naiklah, Raden Ayu. Kamu harus merasakan rasanya naik Dadak Merak." Ujar Gusti Ayu sambil mengusap punggung menantunya.
"Tapi, aku kan berat, Ibu. Kasihan penarinya nanti keberatan." Tolak Anaya.
"Mereka sudah terlatih, Raden Ayu. Naik saja, lagi pula beratmu itu tidak seberapa. Mereka juga kuat mengangkat yang lebih berat darimu." Kanjeng Gusti ikut menimpali.
Beberapa warga pun tampak menyoraki, meminta Raden Ayu mereka untuk naik Singo Barong yang sudah menunggu. Sosok Klono Sewandono pun mengulurkan tangan mengajak Anaya untuk naik.
Akhirnya Anaya pun berdiri. Ia melihat ke arah Romo dan Ibu yang menggangguk bersamaan untuk meyakinkan Anaya. Anaya meraih tangan Klono Sewandono yang kemudian membawanya mendekat pada Singo Barong.
"Apa lagi ini? Ada saja gebrakanmu, Raden Mas!. Itu juga Raden Madana kan yang ada di balik topeng Bujang Ganong." Bisik Anaya pada sosok yang sedang menggandengnya.
"Kamu tau, Dek Ayu?." Jawab Raden Mas Mahesa sambil tertawa. Ya, orang di balik topeng Klono Sewandono ini adalah Raden Mas Mahesa.
"Gak mungkin aku gak ngenali suamiku. Awalnya memang sempat ragu, tapi setelah mencium aroma parfummu aku tau kalau ini kamu, Raden Mas." Jawab Anaya.
"Maaf ya, Mas!." Seru Anaya pada orang di balik sosok Singo Barong atau yang kerap di sebut Pembarong.
"Nikmatilah kesempatanmu, Dek Ayu." Ujar Raden Mas Mahesa setelah membantu istrinya duduk di atas Singo Barong.
"Wuaa - Wuuaaa...!" Seru Anaya yang bergangan erat ketika Singo Barong berdiri.
Jantungnya berdegub kencang ketika merasakan sensasi 'digendong' Singo Barong yang dengan santainya tetap menari seolah tak merasa keberatan.
Raden Mas Mahesa yang berada di balik sosok Klono Sewandono pun tetap menari sambil berjaga di sekitar Singo Barong yang membawa Anaya. Begitu pula dengan Raden Madana yang ternyata berada di balik salah satu sosok Bujang Ganong.
Tak lama, Anaya meminta untuk di turunkan. Sudah cukup baginya menikmati sensasi berada di atas Singa Barong. Ia juga merasa tak tega jika harus berlama - lama menambah beban berat si pembarong.
"Tunggu saja bersama Ibu dan Romo ya, Dek Ayu. Aku masih mau melanjutkan tarian ini." Ujar Raden Mas Mahesa saat mengantar Anaya kembali ke bawah tenda.
"Njih, Sayang." Jawab Anaya yang membuat Raden Mas Mahesa tersenyum di balik topengnya.
"Duh, jadi pingin cium!." Ujar Raden Mas Mahesa yang membuat Anaya terkekeh.
"Sudah, nikmati saja kegiatanmu, Raden Mas. Aku menunggu di sini bersama Ibu dan Romo." Ujar Anaya dengam senyuman manisnya.
Raden Mas Mahesa dan Raden Madana sendiri tampak menikmati kegiatan mereka. Mereka memang sangat mencintai seni juga budaya jawa yang sudah di tanamkan oleh Kanjeng Gusti dan Gusti Ayu sejak kecil.
Sudah sejak kecil juga mereka kerap kali mengikuti pentas seni khas budaya jawa, salah satunya adalah kesenian Reog Ponorogo ini.