Siapa yang ingin bercerai? Bahkan jika hubungan pelik sekalipun seorang wanita akan berusaha mempertahankan rumah tangganya, terlebih ada bocah kecil lugu, polos dan tampan buah dari pernikahan mereka.
Namun, pada akhirnya dia menyerah, ia berhenti sebab beban berat terus bertumpu pada pundaknya.
Lepas adalah jalan terbaik meski harus mengorbankan sang anak.
Bekerja sebagai sekertaris CEO tampan, Elen tak pernah menyangka jika boss dingin yang lebih mirip kulkas berjalan itu adalah laki-laki yang menyelamatkan putranya.
laki-laki yang dimata Satria lebih pantas dipanggil superhero.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mimah e Gibran, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23 - CEMBURU
"Div, apa yang terjadi sama Mas Bram?" tanya Elen.
"Boleh kita sambil makan di luar?" tanya Divine. Nada bicaranya sudah tak sesemangat tadi.
Elen mengangguk, "boleh."
Keduanya berjalan pelan keluar ruangan.
"Kamu nggak malu kan, kalau aku bawa tongkat?" tanya Divine sekali lagi.
"Astaga, nggak! Kenapa? Lagian apa masalahnya pake tongkat? gak akan mengurangi kharisma kamu." Elen berjalan kaku di samping Divine.
"Kamu sedang memujiku? Atau menggodaku?"
"Maksudku, kharismamu sebagai seorang CEO! Aku mana berani menggoda," cibir Elen.
Jika dulu, Divine bersikap dingin padanya. Lain halnya saat ini, ia malah dibuat kacau dengan sikap Elen yang biasa saja dan cenderung cuek.
"Siang, Pak Divine. Bu Elen, mau makan di luar ya?" sapa Anita.
"Hm, ya!"
"Iya, Anita."
"Kebetulan, restorant di samping perusahaan kita sedang ada promo dan saya punya voucer diskon disana. Ada tiga, barangkali..."
"Saya dan Elen akan makan siang dengan anak kami di rumah!" Ucap Divine menarik tangan Elen dengan tergesa melewati Anita.
"Apa?" Anita membeku di tempat, hingga tepukan tangan Rafael membuyarkannya.
"Astaga!"
"Kenapa, kaget ya?"
"Pak Rafael, mari!" pamit Anita terbirit, sebab takut asisten CEO itu akan memarahinya.
"Tunggu, mana voucermu tadi?" tanya Rafael.
"Ini," ucap Anita menyodorkannya ke arah Rafael dan buru-buru kabur.
"Tunggu, kamu gak ikut?"
"Siapa? Saya?" tanya Anita menghentikan langkahnya.
"Siapa lagi? Makhluk sebelah kamu gak bisa napak kaki, masa mau ku ajak makan siang!"
Anita langsung merinding, dan berjalan cepat menghampiri Rafael.
***
Divine sengaja berbohong pada Anita dengan mengatakan akan makan siang di rumah. Padahal, jelas saat ini ia dan Elen berada di resto rekomendasi Anita tadi. Sambil menunggu pesanan tiba, Divine memilih mengetuk-ngetuk meja dengan jari telunjuknya untuk mengusir kegabutan dan rasa canggung.
"Bisa kita mulai?" tanya Elen.
Divine mengerutkan keningnya, ia tahu maksud Elen adalah pembicaraan masalah Bram. Tapi kenapa, yang terlihat justru seperti obrolan yang sangat kaku.
"Apanya?"
"Ehm, baiklah. Aku terbiasa memakai bahasa formal, maafkan aku!" menghela napas, kadang Elen masih merasa sungkan jika menggunakan bahasa santai saat bicara dengan Divine yang notabenenya adalah CEO tempat ia bekerja.
"Soal Bram, dia tertangkap polisi bersama Noah!" ujar Divine.
Deg.
Elen terdiam. Tahu tabiat mantan suami dari dulu, membuat Elen berfikir hari dimana Bram ditangkap pasti tiba.
"Aku sudah menduga, hari itu pasti akan tiba!" gumam Elen pelan.
Tak ada keterkejutan di raut wajahnya membuat Divine penasaran hal besar apa yang sudah dilewati wanitanya.
"Noah tertangkap karena dia..." Divine menghela napas panjang.
"Hya, dia pengguna dan sudah sering bertransaksi dengan mantan suamimu. Elen, bisakah sembunyikan hal ini dari Satria?"
"Maksudmu? Apa Satria tak boleh tau kondisi ayahnya, bagaimanapun Mas Bram adalah ayahnya Satria dan ia berhak tau."
"Tapi tidak sekarang, Elen. Dia sedang dalam masa pertumbuhan dan pengenalan sifat."
"Hm, baiklah. Hanya sementara! Cepat atau lambat, mungkin akan tahu! Tidak dariku, bisa jadi dari orang lain," ucap Elen menunduk lesu.
Tak bisa membayangkan jika sang putra tahu apa yang menimpa ayahnya.
"Aku akan ke rumah orang tuamu, aku akan mengalihkan perhatian Satria sementara waktu dengan hubungan kita. Sore nanti, ikutlah ke rumah sakit menjenguk kakekku!"
"Harus ikut?" tanya Elen.
"Hya harus, karena..." Divine terdiam lagi, ia tak mungkin bilang pada Elen kalau kakek Djaja kurang suka dengannya. Bagi Divine, yang terpenting adalah restu dari Morena dan Wijaya.
"Ayo makan dulu," ujar Divine saat pelayan selesai meletakkan makanan di meja mereka. Dua porsi beef steak menjadi pilihan Divine makan siang bersama bersama Elen.
"Hm, ya!"
"Biar aku potong! Kamu makanlah punyaku lebih dulu." Divine menyodorkan steak miliknya yang sudah dipotong kecil-kecil ke hadapan Elen.
"Makasih, Div! Aku memang tak bisa memotong dengan baik,"ujar Elen.
"Tapi kamu bisa menjadi yang terbaik," gumam Divine tanpa memandang Elen karena takut wanita itu mengabaikan gombalannya.
"Hm."
Benar saja, bahkan ibu satu anak itu hanya menjawabnya dengan deheman.
Di kursi yang tak jauh dari mereka berada, tepatnya di sudut resto. Rafael makan siang bersama Anita.
"Bapak kalau lagi gak marah sebenarnya ganteng lho," puji Anita.
"Kamu sedang muji atau nyuruh aku biar gak marah-marah?" Rafael menautkan alisnya, menatap Anita.
"Em, dua-duanya, Pak! Oh, ya tadi Pak Divine bilang makan di rumah sama anak, memangnya Pak Divine sudah menikah ya?" tanya Anita. Mumpung ia bersama Assisten CEO, tak masalah jika mengorek sedikit masalah pribadi bossnya.
"Sudah. Memang kamu gak tau?" tanya balik Rafael.
"Nggak, Pak!"
"Anaknya udah gede malah, beruntung banget Elen jadi kekasihnya Pak Divine. Meskipun duda, tapi dapat sekertaris cantik!"
"Hah?" Anita terbengong-bengong, merasa be go karena sama sekali tak mengetahui berita apapun tentang Divine yang menduda, bahkan punya anak.
"Lihatlah, bukankah mereka serasi?" tunjuk Rafael tersenyum hambar, menunjuk Divine dan Elen yang berada tak jauh dari mereka makan dimana Rafael dan Anita melihat langsung bagaimana Divine memperlakukan Elen mulai dari menukar piring bahkan mengusap sudut bibir sang sekertaris yang kotor.
Rafael meletakkan pisau dan garpunya diatas meja, "aku kenyang. Makanan ini, bayar kamu!" tegasnya langsung bangkit berdiri dan berlalu membuat Anita hanya mampu menghela napas panjang.
Nasibnya benar-benar sial karena Anita pikir akan mendapat traktiran dari Asisten CEO, ternyata ia hanya bisa berangan-angan sambil meratap isi dompet.
***
Sore hari, sesuai janji jika Wijaya, Divine dan Elen akan berkunjung ke rumah sakit dimana Djaja dirawat.
"Ayah." Wijaya masuk, bersamaan dengan Divine dan Elen yang berjalan pelan di belakangnya.
"Hm."
Morena menghela napas, Ayah dari suaminya memang sedikit menyebalkan sikapnya. Selain pilih kasih, ia juga tak bisa menghargai orang lain dan selalu menggunakan kasta tertinggi sebagai tolak ukur menilai seseorang.
"Ayah, kenalkan ini Elen. Calon istrinya Divine."
"Salam kakek, saya Elena." Elen membungkuk dan mengulurkan tangannya akan tetapi Djaja sama sekali tak berniat merespon.
Menghela napas, Elen sadar diri siapa dirinya. Merasa tak disambut ia memilih menghampiri Morena dan mengobrol di sofa.
Hati Divine merasa diremas melihat Elen diperlakukan seperti itu. Emosinya siap meledak di tempat kalau tak Wijaya mengkodenya agar memakhlumi sikap sang kakek.
"Aku pulang saja,Yah. Kasian Elen, lagi pula kehadiranku bukan hal yang penting disini," geram Divine.
"Div, tinggalah sebentar. Kondisi kakekmu butuh diperhatikan!" pinta Wijaya.
"Ck! Bukankah ada Noah, cucu kebanggaan sekaligus kesayangan? Aku akan disini kalau sedikit saja kakek bisa menghargai keberadaan Elen, bagaimanapun dia pilihanku! Dan pilihan itu tak sedikitpun kakek Djaja merestuinya!"
RAHIM ELEN JUGA SUBUR....