Menikah Demi Papa

"Pak, pak Alexander kenapa pak?" Tanya seorang staf pengajar bimbel tempat Alexander mengajar.

Dia berusaha menopang tubuh jangkung milik Alexander agar tidak tersungkur ke lantai. Akibat suara gaduh yang terdengar dari dalam ruangan beberapa pengajar berhamburan mendekati sumber suara.

"Astaga, Pak Alex kenapa?" Tanya Imelda pemilik bimbel sekaligus bundanya Rossa.

Jadi semenjak Aluna dan Rossa bersahabat, Rossa merekomendasikan Alexander untuk mengajar di lembaga bimbel milik orang tuanya karena melihat Alexander memiliki kemampuan dan juga kriteria yang pas akhirnya Imelda setuju mempekerjakan Alexander sampai sekarang. Hampir lima tahun lebih Alexander mengajar disana, mengabdikan diri dan mendedikasikan diri untuk lembaga bimbel tersebut.

"Saya tidak tahu bu, tiba-tiba saja Pak Alex begini. Tadi kami masih mengobrol terus tidak lama dia merasakan dad*nya sakit."

"Sudah, lekas panggil ambulance." Imelda berteriak.

Setelah menunggu beberapa menit akhirnya ambulance datang, seorang perawat mengeluarkan brankar dari dalam mobil ambulance diikuti teman seprofesinya. Mereka berlari menyusuri lorong gedung menuju ruangan tempat Alexander diamankan.

"Permisi, tolong minggir sebentar." Teriak perawat.

Akhirnya mereka membawa tubuh Alexander menggunakan brankar dan masuk ke dalam mobil ambulance. Sirene berbunyi menandakan ada pasien gawat darurat di dalam. Selama kurang lebih tiga puluh menit, mobil ambulance tiba.

Alexander kini terbaring lemah di atas brankar, telapak tangan kanannya masih menyentuh bagian dad*, rasa nyeri menjalar dari dad* ke bahu dan lengan. Sungguh membuat Alexander tersiksa. Dia benar-benar meringis kesakitan.

Dalam benaknya, mungkin Tuhan akan segera mencabut nyawanya. Bayangan wajah Aluna menari-nari di pelupuk mata Alexander. Dia benar-benar takut jika harus menginggalkan Aluna saat ini.

"Tuhan, tolong jangan dulu Kau cabut nyawaku. Izinkan aku menikahkan dulu putriku setelah itu, Kau boleh mengambil kembali jiwa dan roh ini kesisi Mu."

Alexander kemudian dibawa ke ruang IGD untuk segera ditangani. Imelda dan dua orang pegawai bimbel mengikuti. Kedua pegawai itu sibuk mengurus administrasi Alexander, sementara Imelda sibuk menelpon Aluna.

"Aduh, kenapa Aluna tidak mengangkat telponku?"

"Aku coba telpon Ocha saja kalau begitu."

tut tut tut

Telpon yang anda tuju tidak menjawab, cobalah beberapa saat lagi.

"Aduh, Aluna dan Ocha pada kemana sih? Ditelpon dari tadi tidak diangkat, apa mereka sedang kuliah jadi tidak bisa angkat telpon."

Seorang dokter keluar dari ruang IGD dan mencari keluarga pasien.

"Dengan keluarga pasien." Ucap dokter.

"Saya dok." Ucap Imelda bangkit dari kursi dan mendekat ke arah dokter.

"Apa anda istrinya?"

"Bukan dok, saya atasannya. Bagaimana kondisi pasien?"

"Apakah pasien sering mengalami serangan jantung seperti ini?"

"Kalau dia ambruk di tempat kerja baru kali ini dok tapi tidak tahu diluar." Ucap Imelda ragu. Dia tidak yakin dengan jawabannya.

"Ya sudah, pasien akan saya pindahkan ke ruang perawatan."

"Baik dokter, terima kasih."

Di kampus

"Loh, kok bunda telpon sampai berkali-kali. Ada apa?" Rossa memeriksa ponselnya dan disitu tertera ada sepuluh panggilan tak terjawab dari Imelda. Dia segera menelpon balik.

tut tut tut

"Halo Ocha, kamu sedang bersama Aluna?" Tanya Imelda dari seberang sambungan.

"Iya bun, aku sedang bersama Aluna. Tadi kami sedang presentasi jadi tidak bisa angkat telpon. Ada apa bunda?"

"Om Alexander masuk rumah sakit. Saat ini dia dirawat di Rumah Sakit Melati. Tolong sampaikan Aluna untuk segera ke rumah sakit."

"Apa? Om Alex kenapa bun?"

Aluna yang mendengar suara Rossa langsung keluar kelas. Dia langsung panik, wajahnya pucat setelah mendengar Rossa berteriak memanggil nama Alexander.

"Papaku kenapa Ocha?"

"Aku tutup dulu bun."

Rossa segera mematikan sambungan telpon dan mencari cara menyampaikan kabar buruk ini ke Aluna.

"Aluna, kamu yang sabar ya. Saat ini papamu sedang dirawat di Rumah Sakit Melati. Kata dokter, beliau mengalami serangan jantung."

"Ayo Ocha, segera kita ke rumah sakit. Aku tidak mau terjadi apa-apa dengan papa."

"Kamu ke parkiran duluan, aku akan memintakan izin dulu ke Roni agar menyampaikan ke dosen."

Aluna mengangguk. Dia berlari menuju parkiran, Rossa masuk ke dalam kelas menemui Roni.

Di dalam mobil, Aluna menanggis. Sesekali Rossa melirik ke arah Aluna sambil fokus mengendarai mobil. Rossa tidak tega melihat kesedihan sahabatnya.

"Sudah lah Aluna, kamu jangan menangis lagi. Kamu berdo'a saja semoga papamu tidak kenapa-napa." Ucap Rossa.

"Aku takut Ocha, papa akan pergi meninggalkanku. Aku seperti punya firasat buruk. Oh tidak, Tuhan tolong jangan pisahkan aku dengan papa." Ucap Aluna di sela-sela tangis.

"Hush, yakin lah. Papamu akan baik-baik saja."

Rumah Sakit Melati

"Suster, pasien atas nama Alexander dirawat di bangsal apa?" Tanya Aluna ke bagian resepsionis.

"Di bangsal xx."

Aluna segera berlari diikuti Rossa. Di dalam ruangan sudah ada Imelda yang sedang menemani Alexander. Aluna segera menghampiri Alexander yang sedang terbaring lemah. Jarum suntik menancap dipunggung tangan kanan, selang oksigen terpasang di hidung dan beberapa kabel EKG terpasang dikedua pergelangan tangan dan kaki. Seorang perawat sedang melakukan perekaman listrik jantung atau EKG untuk mengukur dan merekam aktivitas listrik jantung.

"Apakah anda keluarga pasien?" Tanya dokter jaga setelah membaca hasil print out EKG milik Alexander."

"Benar dokter, saya anaknya."

"Mbak, sebaiknya pasien segera melakukan operasi bypass jantung (CABG) bertujuan untuk mengatasi penyempitan atau penyumbatan pembuluh darah jantung pada penderita penyakit jantung koroner."

"Lakukan saja apa yang terbaik untuk papa saya dokter. Apapun itu tolong selamatkan papa." Ucap Aluna dengan berurai air mata.

"Tapi perlu saya informasikan terlebih dahulu, pada umumnya setiap operasi memiliki resiko termasuk operasi bypass yang akan dilakukan pasien. Bisa terjadi komplikasi bahkan bisa menyebabkan kematian. Jika operasi ini berhasil maka harapan hidup pasien semakin besar."

Aluna membola, tidak tahu harus berbuat apa. Dia tidak bisa berpikir jernih dengan situasi rumit sekarang.

"Bagaimana mbak, apa mbak setuju melakukan tindakan operasi untuk pasien?"

"Iya dok, lakukan saja apa yang menurut dokter baik untuk papa saya."

"Baik, akan segera saya persiapkan."

"Mbak, silahkan ikut saya ke bagian administrasi untuk mengisi formulir persetujuan operasi."

"Baik sus."

Aluna menuju meja administrasi, mengisi formulir persetujuan operasi dan menanda tanganinya. Setelah semua urusan selesai, dia kembali ke bangsal.

"Aluna." Ucap Alexander setelah melihat putri kesayangannya masuk.

"Papa."

"Jangan menangis sayang, papa baik-baik saja."

"Aluna, apakah papa boleh minta tolong?"

"Apa pa?"

"Tolong kamu hubungi Om Reymond dan minta dia segera kesini."

"Untuk apa pa?"

"Sudah, turuti saja apa kata papa dan jangan banyak bertanya."

"Baik, aku akan segera menghubungi Bryan."

Alexander terkejut mendengar Aluna menyebut nama Bryan.

"Sepertinya ini memang waktu yang tepat menikahkan mereka segera." Ucap Alexander dalam hati.

to be continued