NovelToon NovelToon
ISTRI YANG DIPOLIGAMI

ISTRI YANG DIPOLIGAMI

Status: sedang berlangsung
Genre:Dosen / Poligami
Popularitas:4.6k
Nilai: 5
Nama Author: Naim Nurbanah

Cinta sejati terkadang membuat seseorang bodoh karena dibutakan akal sehat nya. Namun sebuah perkawinan yang suci selayaknya diperjuangkan jika suami memang pantas dipertahankan. Terlepas pernah melakukan kesalahan dan mengecewakan seorang istri.

Ikuti kisah novel ini dengan judul
ISTRI YANG DIPOLIGAMI

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naim Nurbanah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 22

Nay memegangi dahinya yang tiba-tiba berdenyut hebat, pandangannya mulai gelap. Tanpa bisa menahan lagi, tubuhnya oleng lalu jatuh terduduk di lantai ruang guru. Sepanjang hari tadi, dia masih sempat mengajar dengan lancar tapi sekarang, kepalanya terasa berat dan berputar-putar.

Laksmi langsung berlari menghampiri, wajahnya penuh cemas.

“Nay, kamu nggak apa-apa? Tahan ya, aku bawa kamu pulang.”

Dengan sigap dia menopang tubuh Nay yang lemas dan membawanya keluar.

Di perjalanan, Nay menekan dadanya, nafasnya pendek.

“Kenapa tiba-tiba aku pingsan begini? Apa aku terlalu capek... atau ada yang salah dengan aku?” pikirnya, hati campur aduk antara sedih dan bingung.

Sesampainya di rumah, Laksmi duduk di samping Nay yang terbaring. Tangannya meremas lembut tangan sahabatnya, memberi kekuatan tanpa kata. Di tengah rasa sakit dan takut, kehadiran Laksmi membawa secercah hangat yang menenangkan jiwa Nay.

Nay menatap wajah Laksmi yang tertidur pulas di sebelahnya, dada sahabatnya naik turun perlahan. Ia mengusap pelan rambut Laksmi seolah ingin mengucapkan terima kasih tanpa kata.

“Aku harus cari tahu kenapa aku bisa pingsan. Biar lain kali bisa jaga kesehatan lebih baik,” gumam Nay dalam hati.

Di tengah keletihan yang masih menggantung, hadirnya Laksmi membuat hatinya terasa hangat. Sahabatnya benar-benar ada di saat susah, tanpa pernah mengeluh.

*****

Di kota yang lain, Umar duduk termenung di ruang tamu Pondok Pesantren Darul Huda. Kedua orang tuanya tampak serius, menatap tajam ke arah Abah dan Ummi Citra yang tengah berbicara pelan, tapi penuh ketegangan. Suara mereka saling menyela, mencoba mencari jalan keluar atas masalah yang membelit anak-anak mereka terutama soal pembatalan perjodohan yang sudah direncanakan lama. Umar menelan ludah, dadanya terasa sesak.

“Gimana ini, Abah...?” pikirnya, tatapannya mengambang antara wajah-wajah tegang itu, berharap ada secercah harapan di balik keputusan yang akan diambil.

Umar terdiam, tatapannya kosong menatap lantai kayu di depannya. Dadanya terasa sesak, seolah ada beban berat yang menekan hati dan pikirannya sekaligus. Perlahan tangannya mengepal, jari-jarinya bergetar samar.

"Apakah aku yang salah?" gumamnya pelan, suara dalam hatinya penuh penyesalan.

Suara mereka yang menegur dan kecewa terus berdenting di telinganya, membuatnya sulit bernapas lega. Ia ingin menepis semua rasa bersalah itu, namun kenyataan berkata lain. Umar menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri dengan meresapi setiap kata yang terlontar. Ia tahu, perjodohan itu bukan sekadar masalah kecil, tapi ujian besar yang harus ia hadapi. Namun satu hal yang terpatri dalam hatinya: ia tidak boleh mengecewakan orang tua dan Citra. Tekad itu membuat dadanya kembali menguat meski hati masih berat.

Abah Anom menghela napas panjang, wajahnya serius saat menyampaikan keputusan itu.

"Dalam agama kita, laki-laki memang boleh beristri lebih dari satu," suaranya mantap, menatap kami satu per satu.

"Aku harap Umar tetap lanjutkan rencana pernikahan yang sudah pernah dibicarakan kedua keluarga." Matanya seakan ingin memastikan kami memahami maksudnya.

"Citra, putri kita, akan tetap menikah dengan Umar, meski nanti dia jadi istri kedua."

Aku menelan ludah, merasakan beban yang makin berat di dada. Ummī mengangguk pelan, wajahnya terlihat pasrah, seolah mencoba menguatkan kata-kata Abah Anom. Dalam hati, aku tahu menduakan istri diperbolehkan agama, tapi makin hari hatiku makin rapuh.

Sementara itu, Umar duduk termenung, jarinya menari-nari gugup di meja kayu.

"Apakah ini benar-benar yang terbaik untuk Nay?" gumamnya lirih, bayangan kesedihan Nay yang bisa terluka membuat dadanya sesak. Ia tahu, bukan sekadar urusan agama, tapi juga hati yang sulit dibohongi.

Umar menunduk, matanya berkaca-kaca saat pikirannya berputar tanpa henti.

“Apa aku benar-benar nggak akan mengecewakan keluarga besar?” gumamnya lirih, dada berdebar tak menentu.

Tatapannya kemudian tertuju ke arah Pak Rahmat dan Bu Rokaya yang duduk berseberangan, saling bertukar pandang penuh kekhawatiran. Dia bisa merasakan beban yang sama menghimpit dada mereka, seperti benang-benang keraguan yang membelit erat. Apakah mereka juga takut pada masa depan kami? Umar menghela napas berat, bayangan Nay yang sudah berjuang begitu keras terbayang jelas di benaknya.

“Kalau sampai hati Nay terluka, aku nggak tahu harus bagaimana…” ujarnya dalam hati, sendu menyesak. Dia rindu membuat semua orang bahagia, tapi sekarang hati dan tanggung jawab seolah tarik-menarik dalam dirinya.

Tubuhku bergetar saat Abah menatap dengan harap, tapi suaraku tercekat saat aku ingin menolak. Tangisan Citra pecah pelan di sudut ruangan, isaknya seperti rantai berat yang mengunci dadaku. Jantungku berdetak keras, lidahku kelu, seakan tak bisa melawan gelombang emosi yang membanjiri pikiranku. Aku menunduk, tak berani menatap mata Abah, takut melihat bayang kecewa yang mungkin tersembunyi di sana. Rasanya seperti terperangkap dalam ruang sempit yang tak ada celahnya, antara keinginan menolak dan rasa takut melukai mereka yang aku sayangi. Namun tiba-tiba, suara Citra memecah sunyi.

“Mas Umar, percayalah padaku. Aku rela jadi istri kedua, menikah denganmu adalah keinginan terbesarku,” katanya dengan suara mantap, memotong niatku untuk menolak. Keyakinannya itu menghantam hatiku, membungkam keraguan yang selama ini kurasakan.

Citra duduk termenung di sudut kamar, tangannya gemetar saat memeluk lutut. Hatinya bergejolak, antara ragu dan harap yang saling bertarung. Sebagai perempuan, menerima kenyataan menjadi istri kedua terasa seperti luka yang sulit sembuh. Namun, setiap kali namanya terucap oleh Umar di pikirannya, ada getar cinta yang membuatnya tetap bertahan.

“Apakah aku benar-benar salah?” bisik Citra pelan, suaranya hampir tenggelam oleh sepi.

Matanya menatap kosong ke jendela, membayangkan masa depan yang penuh ketidakpastian. Rasa gelisah menggerogoti setiap inci keberaniannya, tapi cinta itu lebih keras kepala, mengikatnya pada sebuah janji yang penuh rintangan.

Dalam hati dia memohon pada Tuhan, memohon kekuatan dan petunjuk agar bisa melewati semuanya. Apapun yang terjadi nanti, setidaknya Citra yakin satu hal: dia berani mengejar cinta yang tak biasa, meski harus berkorban lebih dari yang ia bayangkan.

Ummi menatap Umar dengan mata berbinar, suara bangganya bergetar saat mengungkapkan,

"Umar, aku tahu kau pria beruntung. Dua istri hebat yang kau miliki, masing-masing dengan pesona yang tak kalah memikat. Dan jangan lupa putriku, sekarang sudah dokter spesialis kulit dan kecantikan." Umar menghela napas panjang, menatap kosong ke luar jendela. Hatinya pun bergejolak dalam diam.

"Aku nggak pernah menyangka hidupku bakal berujung begini," gumamnya pelan, seolah mencari jawaban di tengah kekalutan.

Perasaan yang bercampur aduk menghantui dadanya. Antara rasa syukur yang tulus, dan keraguan yang menggigit tulang. Bisakah ia menjaga dua wanita yang dicintainya dengan sepenuh hati? Atau malah kehadirannya menjadi beban, menambah luka yang tersembunyi di balik senyum mereka? Pikiran-pikiran itu berputar, menggulung seperti ombak tanpa henti di laut hatinya.

Umar menatap tajam wajah Abah Anom yang serius.

“Kami akan bantu kamu kalau ada kesulitan soal uang,” katanya pelan, tapi tegas. Suara Abah Anom berat dan penuh perhitungan.

“Lima puluh persen saham Anom Grup bakal jadi milikmu. Tapi ada satu syarat: kamu harus menikahi putriku. Setuju?”

Umar menelan ludah. Matanya sempat melirik ke arah Pak Rahmat dan Bu Rokaya, yang langsung menatapnya penuh harap. Hatinya bergejolak, campur aduk antara ragu dan tekanan. Rasanya ingin menolak, tapi bayang-bayang kerasnya Abah Anom sudah memenuhi pikirannya. Perlahan ia menunduk, bibirnya hampir gemetar, mencoba merangkai jawaban yang paling pas di antara semua itu. Jalan ini memang berat, tapi Umar tahu, dia harus melangkah dan menjalani semuanya. Bagaimanapun, mereka adalah bagian dari hidupnya—dan dia ingin membuktikan bahwa kebahagiaan bisa diraih, walau lewat cara yang tak biasa.

Umar menatap kosong ke jendela, hatinya bergelora. "Ini bukan keputusan yang mudah," gumamnya dalam hati. Di satu sisi, kesempatan ini bagaikan peluang emas yang tak boleh disia-siakan. Namun, bayangan tatapan sinis orang-orang menghantui pikirannya.

“Kalau mereka tahu aku menikahi Citra cuma demi saham, apa yang akan mereka katakan?”

Sebuah beban yang membuat dadanya sesak. Tangannya mengepal, ia berusaha menenangkan diri. Seandainya saja waktu berpihak padanya, memberi ruang lebih untuk memilih jalan yang tak menodai nama keluarga. Tapi kenyataannya, langkah ini harus diambil demi masa depan semua yang ia cintai.

Di tengah renungannya, bisikan lembut dari Bu Rokaya menyela, matanya penuh harap memandang Citra yang erat memeluk Umar tanpa melepaskan.

"Bagaimana, Umar?" suaranya lirih. Umar membalas tatap itu dengan senyum getir,

“Ini memang berat, Bu. Berat untuk kami berdamai dengan Abah dan Ummi...”

Umar mengerutkan kening, suaranya bergetar saat bertanya,

"Tapi Bu, bagaimana kalau Nay tahu soal aku dan Citra? Gimana reaksinya nanti?" Matanya menyiratkan kecemasan yang dalam, seolah beban itu menyesakkan dadanya.

Bu Rokaya menghela napas pelan, tangan kirinya meremas tisu dengan lembut. Suaranya rendah dan tenang, mencoba menenangkan Umar yang gelisah,

"Untuk sekarang, rahasiakan dulu pernikahanmu dengan Citra. Fokuslah pada persiapan dengan Nay. Setelah semua selesai, baru kita pikirkan lagi."

Umar menunduk, pikirannya berputar keras. Di antara rindu yang semakin dalam kepada Citra dan harapan besar yang ia simpan untuk kebahagiaan Nay, hatinya terombang-ambing. Namun ia tahu, rahasia ini tak bisa ia bawa selamanya.

"Baik, Bu," jawabnya perlahan, suaranya berat penuh kepedihan.

"Saya akan ikuti kehendak Abah dan Ummi dulu. Tapi saya berharap, nantinya kita bisa temukan jalan yang terbaik, tanpa ada yang terluka." Matanya menyiratkan doa dalam keheningan, berharap kedamaian akan datang di antara mereka.

1
Shaffrani Wildan
bagus
Dhani Tiwi
kasuhan nay... tinggal aja lah si umar nay..cari yang setia.
tina napitupulu
greget bacanya thorr...gak didunia maya gak didunia nyata banyak kejadian serupa../Grievance/
Usman Dana
bagus, lanjutkan
Tini Hoed
sukses selalu, Thor
Ika Syarif
menarik
Sihna Tur
teruslah berkarya Thor
Guna Yasa
Semangat Thor.
NAIM NURBANAH: oke, terimakasih
total 1 replies
Irma Kirana
Semangat Mak 😍
NAIM NURBANAH: Terimakasih banyak, Irma Kirana. semoga nular sukses nya seperti Irma menjadi penulis.
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!