NovelToon NovelToon
Asmara, Dibalik Kokpit

Asmara, Dibalik Kokpit

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Percintaan Konglomerat
Popularitas:4k
Nilai: 5
Nama Author: Fauzi rema

Ini adalah kisah tentang Asmara, seorang pramugari berusia 25 tahun yang meniti karirnya di atas awan, tiga tahun Asmara menjalin hubungan dengan Devanka, staf bandara yang karirnya menjejak bumi. Cinta mereka yang awalnya bagai melodi indah di terminal kedatangan kini hancur oleh perbedaan keyakinan dan restu orang tua Devanka yang tak kunjung datang. dan ketika Devanka lebih memilih dengan keputusan orangtuanya, Asmara harus merelakannya, dua tahun ia berjuang melupakan seorang Devanka, melepaskannya demi kedamaian hatinya, sampai pada akhirnya seseorang muncul sebagai pilot yang baru saja bergabung. Ryan Pratama seorang pilot muda tampan tapi berwajah dingin tak bersahabat.
banyak momen tak sengaja yang membuat Ryan menatap Asmara lebih lama..dan untuk pertama kali dalam hidupnya setelah sembuh dari rasa trauma, Ryan menaruh hati pada Asmara..tapi tak semudah itu untuk Ryan mendapatkan Asmara, akankan pada akhirnya mereka akan jatuh cinta ?

selamat membaca...semoga kalian suka yaa

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fauzi rema, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 22

Roda pesawat menyentuh landasan dengan lembut, hanya ada sedikit getaran terasa ketika burung besi itu meluncur perlahan di atas aspal panjang Bandara Soekarno-Hatta.

“Touchdown Jakarta,” suara Ryan terdengar tenang melalui interkom, disertai nada rendah khasnya yang menenangkan penumpang.

Semua pramugari, termasuk Asmara, berdiri di posisi masing-masing. Ia sempat melirik ke arah kokpit, melihat bayangan Ryan dari celah pintu yang sedikit terbuka, wajah fokusnya, gerak tangannya yang terlatih.

Entah kenapa, pandangan itu membuat dadanya berdebar halus.

Pesawat berhenti sempurna di gate. Lampu tanda sabuk pengaman padam.

Asmara bersama kru lainnya mulai mempersilakan penumpang turun dengan senyum ramah.

Tak ada yang tahu, di balik senyum profesional itu, pikirannya masih melayang pada ucapan Ryan pagi tadi: “Aku beneran nggak pengen kehilangan kamu.”

---

Beberapa menit kemudian, setelah semua penumpang turun, Ryan keluar dari kokpit.

Topi pilotnya ia lepas, lalu ia mengusap pelipis dengan tangan kanan.

Matanya langsung mencari sosok yang sudah dikenalnya.

Asmara sedang membereskan sisa perlengkapan kabin, memastikan semua sesuai prosedur.

Ketika ia menoleh, pandangan mereka beradu, dan keduanya refleks tersenyum tipis.

Tak ada kata, tapi cukup satu tatapan itu saja untuk membuat udara di antara mereka terasa hangat.

Ryan berjalan mendekat. “Kerja bagus, Asmara.”

Asmara menunduk sedikit. “Terima kasih, Kapten.”

Nada formal itu membuat Ryan tersenyum samar.

“Tugas kita sudah selesai, masih panggil aku ‘Kapten’ juga?” bisiknya pelan.

Asmara nyaris tak bisa menahan senyum, tapi ia buru-buru menunduk.

“Sebaiknya kita profesional dulu, Ryan,” katanya lembut.

Ryan menatapnya beberapa detik, lalu mengangguk, dengan senyum yang seolah menyimpan seribu makna.

---

Beberapa kru mulai keluar dari kabin, meninggalkan mereka berdua.

Olivia lewat dengan langkah cepat tanpa menyapa, hanya memberi lirikan tajam ke arah Asmara.

Asmara menarik napas panjang, mencoba tetap tenang.

“Udah, jangan dipikirin,” ucap Ryan tanpa menoleh ke Olivia. “Kamu nggak perlu ngebuktiin apa pun. Aku yang akan urus sisanya.”

Asmara mengangguk, tapi tatapannya lembut. “Aku masih bisa hadapi sendiri, Ryan. Aku udah biasa dengan pandangan orang seperti itu.”

Ryan memandangi wajahnya, kali ini tanpa topeng profesional.

“Ya, tapi aku nggak biasa ngeliat kamu diserang sendirian.”

Ucapan itu membuat Asmara terdiam. Ada kehangatan sekaligus kekhawatiran di balik nada suaranya, sesuatu yang selama ini hanya ia bayangkan dari seorang Ryan.

---

Mereka berjalan keluar menuju mobil penjemput kru.

Langit Jakarta sore itu berwarna jingga keemasan, dengan awan rendah yang menyapu perlahan.

Ryan membuka pintu untuk Asmara, dan tanpa banyak bicara, ia berkata,

“Nanti malam istirahat aja. Besok kita masih flight lagi, aku nggak mau kamu kelelahan.”

Asmara menatapnya sebentar. “Kamu juga, Kapten.”

Ryan tersenyum miring. “Ryan saja, nggak usah pakai kapten!”

Asmara menahan tawa kecilnya, lalu duduk di kursi depan.

Ryan ikut duduk di sampingnya. Tak ada obrolan panjang, hanya keheningan yang nyaman, diisi detak jantung yang pelan-pelan berirama sama.

---

Namun di sisi lain bandara, seseorang sedang memperhatikan mereka dari kejauhan.

Devanka menatap mereka dengan wajah tegang, ia baru saja menurunkan teleponnya, dan mendapat kabar dari salah satu rekannya di maskapai, bahwa Ryan dan Asmara kini benar-benar menjalin hubungan.

Ia menghela napas panjang, menatap foto di ponselnya, foto Ryan dan Asmara di pantai Bali yang diam-diam diambil oleh seseorang.

Tangannya mengepal, bukan karena cemburu semata, tapi karena rasa sesal yang mulai menyesakkan dada.

“Istriku marah karena aku nggak fokus,” gumamnya lirih, “tapi jujur aja… yang bener-bener ganggu pikiranku cuma dia, Asmara.”

...◇◇◇...

Langkah Asmara terdengar lembut di lantai koridor bandara yang mulai lengang.

Shift-nya hari ini sudah selesai, dan semua kru sudah berpencar ke arah masing-masing.

Ia menarik kopernya pelan, masih dengan seragam rapi dan rambut yang diikat rapi ke belakang.

Suasana sore terasa agak berat, entah karena tatapan orang-orang yang tadi masih melekat di benaknya, atau karena pikirannya tentang Ryan yang masih belum benar-benar tenang.

Begitu keluar dari pintu ruang kru, ia melangkah menuju area parkiran. Udara luar terasa lembap, khas Jakarta setelah hujan tipis.

Asmara menarik napas dalam-dalam, berharap sedikit udara segar bisa menenangkan pikirannya.

Namun langkahnya terhenti.

Seseorang berdiri tak jauh di depannya, ia mengenakan kemeja abu muda dan celana bahan hitam, wajahnya terlihat tegang, seolah sudah menunggunya cukup lama.

Asmara mengerutkan kening, matanya refleks menajam.

“Devanka…?” suaranya nyaris berbisik.

Devanka melangkah pelan mendekat, ekspresinya sulit dibaca.

“Syukurlah kamu belum sempat pergi,” ucapnya pelan, suaranya agak serak.

Asmara spontan mundur setengah langkah. “Ngapain kamu di sini? Bandara bukan tempat buat—”

“Aku tahu,” potong Devanka cepat. “Tapi aku harus ketemu kamu, As.”

Asmara menelan ludah, menatapnya dengan tatapan tajam namun masih terkontrol.

“Kita nggak ada urusan lagi, Dev. Harusnya kamu sadar itu.”

Devanka menghela napas, menunduk sejenak lalu menatap lagi, matanya memancarkan perasaan yang belum selesai.

“Aku sudah tahu soal kamu dan Ryan…” katanya pelan, tapi ada getir di balik ucapannya.

Asmara terdiam, tapi wajahnya tetap tenang.

“Jadi apa masalahnya?” tanyanya datar. “Aku single, dia juga. Nggak ada yang salah, Dev.”

Devanka menatap dalam ke arah matanya. “Masalahnya… kamu nggak tahu, apa yang aku rasain waktu denger kabar itu.”

Asmara mengerutkan dahi. “Perasaan kamu bukan urusanku lagi.”

Suasana mendadak hening.

Hanya suara roda koper yang pelan menggesek lantai ketika Asmara hendak melangkah pergi, tapi Devanka dengan cepat menahan lengannya.

“Jangan pergi dulu, As…” suaranya pelan tapi terdengar penuh tekanan. “Aku cuma mau tahu satu hal. Kamu beneran suka sama Ryan?”

Asmara menatap tangan yang menahannya, lalu kembali menatap wajah Devanka dengan sorot dingin.

“Tolong lepasin tanganku, Dev. Aku nggak mau ada orang yang salah paham kalau ngeliat kita begini.”

Devanka tak langsung melepaskannya, tapi pandangan Asmara begitu tajam, begitu tegas, hingga akhirnya ia menurunkan tangannya perlahan.

“Dia nggak seperti yang kamu pikir, As. Ryan—”

“—Ryan lebih jujur daripada siapa pun yang pernah aku kenal,” potong Asmara cepat, nadanya kini sedikit bergetar. “Dan dia nggak akan ninggalin aku di saat aku lagi diserang banyak omongan orang.”

Kata-kata itu membuat Devanka terdiam. Ia menunduk, rahangnya menegang.

Asmara menarik kopernya lagi, melangkah menjauh tanpa menoleh.

Devanka mengepalkan tangannya, bergumam pelan,

“Ryan Pratama… kita lihat seberapa lama kamu bisa jaga dia.”

Asmara mempercepat langkahnya melewati koridor panjang bandara.

Roda kopernya beradu dengan lantai marmer, menimbulkan suara cepat yang selaras dengan detak jantungnya yang kini berpacu tak karuan.

Dari pantulan kaca besar di sisi dinding, ia masih bisa melihat bayangan Devanka yang berjalan menyusul di belakangnya.

Tubuhnya menegang, ia tahu pria itu tidak akan menyerah semudah itu.

“Asmara, tunggu dulu!” suara Devanka menggema, berat dan memaksa.

Asmara menunduk, pura-pura tidak mendengar. Ia menambah langkah, menyusuri arah ke parkiran, berharap ada banyak orang di sana. Tapi sayang, area itu sudah mulai sepi karena jam penerbangan sore hampir usai.

Hatinya mencelos.

Ia menggigit bibirnya, menahan gugup.

“Asmara! Aku cuma mau bicara sebentar, aku minta kamu dengarkan aku!”

Langkah Devanka terdengar semakin cepat di belakangnya.

Asmara menoleh sedikit, matanya memantul ketakutan.

“Pergi, Devanka! Jangan ikuti aku lagi!” katanya lantang, tapi suaranya bergetar.

“Dengar dulu penjelasan aku—”

“Tidak ada yang perlu dijelasin!” seru Asmara, kini benar-benar berlari kecil.

Koper yang ia tarik hampir oleng, tapi ia tak peduli. Ia hanya ingin cepat sampai ke parkiran basement tempat Ryan menunggunya.

Suara langkah Devanka terus membuntutinya.

Asmara meraih ponselnya dari saku blazer, jari-jarinya gemetar ketika hendak menekan kontak Ryan. Tapi belum sempat ia menekan tombol panggil—

Braaakkk!

Sebuah mobil meluncur dari tikungan basement dengan kecepatan tinggi. Asmara menjerit panik, tubuhnya terpental setelah terserempet di sisi kanan. Ia sempat terseret beberapa meter, lalu jatuh terguling keras di lantai beton.

“Aaakh!” teriaknya lirih, perih menjalar di seluruh tubuhnya.

Koper dan tasnya terlempar jauh.

Mobil itu berhenti sesaat, lampu remnya menyala, lalu melaju kencang keluar, menghilang tanpa jejak.

Devanka yang baru sampai di pintu masuk basement terpaku di tempat, shock melihat kejadian itu. Tapi belum sempat ia melangkah mendekat, suara pintu mobil lain terbuka dengan keras.

“Asmara!”

Ryan keluar dengan ekspresi panik, berlari menuju Asmara tanpa ragu.

Devanka spontan mundur, menyembunyikan wajahnya di balik tiang beton, tak ingin terlihat oleh Ryan.

Ryan berlutut di samping tubuh Asmara, tangannya cepat menahan bahu gadis itu.

“Hey—lihat aku, As. Kamu denger aku, kan?”

Asmara mengerjap pelan, wajahnya pucat, rambutnya berantakan.

“Mobil itu…nabrak aku, Ryan…”

“Shh… jangan ngomong dulu.” Ryan menatap luka di kakinya, darah mulai menetes. Tatapannya berubah muram, tepat di balik amarah yang mulai menyalak di dadanya.

Ia melepas jaketnya, menutup tubuh Asmara dengan lembut.

“Asmara, bertahanlah, kita ke rumah sakit sekarang.”

Asmara mencoba bangun, tapi tubuhnya terlalu lemah.

Ryan menatap sekitar, memastikan situasi aman, lalu tanpa berpikir dua kali mengangkat tubuh Asmara ke dalam pelukannya. Ia memasukan Asmara ke dalam mobilnya dengan hati-hati, kemudian ia kembali berbalik, mengambil koper, tas dan ponsel Asmara yang sempat terlempar, langkah Ryan cepat namun pasti, meski dadanya berdegub kencang, merasakan kekhawatiran yang mendalam melihat kondisi Asmara.

Devanka yang bersembunyi di balik tiang hanya bisa menatap dengan rahang mengeras, tangannya mengepal kuat.

Namun di sisi lain, rasa bersalah dan cemburu bersatu menjadi sesuatu yang tak bisa ia kendalikan.

Mobil Ryan melaju keluar dari basement, meninggalkan udara dingin dan sunyi, sementara Devanka berdiri membisu, menatap arah kepergian mereka dengan mata gelap penuh emosi.

...✈️...

...✈️...

...✈️...

^^^Bersambung...^^^

1
Siti Naimah
menyimak dulu...kelihatannya bakal seru nih
Marini Suhendar
❤❤❤...lanjut thor
Nursina
semangat lanjutkan👍
Nursina
karya yg menarik semangat
Mericy Setyaningrum
wah Dubai Im in love
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!