"semua orang memiliki hak untuk memiliki cita-cita,semua orang berhak memiliki mimpi, dan semua orang berhak untuk berusaha menggapainnya."
Arina, memiliki cita-cita dan mimpi tapi tidak untuk usaha menggapainya.
Tidak ada dukungan,tidak ada kepedulian,terlebih tidak ada kepercayaan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tulisan_nic, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30 Awww Jangan Arina!
Seperti biasa matahari pagi menyambut Arina dengan seragam sekolahnya.Langkahnya pelan di sisi jalan,sesekali ia menoleh ke belakang."Biasanya Evan sudah jemput,hari ini kok enggak ya.Apa dia nggak masuk kelas?."Arina menaikkan bahunya sekilas,lalu menunduk sebentar."Tapi kemarin dia baik-baik saja" ia sibuk bertanya-tanya dalam hati.
Dari arah belakang,sebuah mobil hitam mengkilap berjalan pelan.Lalu berhenti tepat di samping Arina,pintu mobilnya langsung terbuka.
"Cepat naik!"
Arina menoleh,matanya tertumbuk pada sosok tinggi,dengan wajah tidak ada senyum sama sekali.Dan kalimat yang keluar dari sosok itu,membuat Arina mengerutkan dahinya,bibirnya mengerucut,matanya sedikit menyipit."Orang ini,meski dia baik tapi selalu saja bersikap semaunya.Huh...aku nggak suka sama sikap Arkan yang sok banget itu".Hatinya berbicara jujur.
"Bengong mulu,apa susahnya tinggal naik!".
Kalimat itu,seperti bom.Arina menatap tajam,"Bisa nggak sih,nggak usah merintah-merintah begitu.Kamu nggak bisa ngomong baik-baik ya?"
Tapi bagi Arkan,justru kalimat-kalimat nya itu seharusnya membuat Arina bersyukur.Karna kalau tidak dengan Arina,dia tidak akan bersikap begitu.Dia akan acuh pada apapun yang tidak menarik baginya.
"Kenapa malah ngajakin debat sih,kalau aku bilang naik ya naik.Batu banget sih."
Arina malas mendengar terlalu banyak lagi kalimat yang keluar dari mulut Arkan."Mood aku bisa berantakan kalau terlalu banyak dengar dia ngomong,sudah lah aku naik saja.Biar dia diam". Bisik hatinya.
Arina naik dengan hati-hati,tas ranselnya ia taruh di pangkuannya.Lalu menutup pintu pelan.
Arkan duduk di sebelahnya,ia memalingkan muka sebentar.Karna dia merasa pipinya menghangat,sudah pasti ada rona merah di sana."Ya ampun,dia duduk di sebelahku,tapi kenapa aku gemetaran".Arkan melihat jari jemarinya,ada gerakan tremor yang sulit untuk dia mengerti.
Pak sopir,melirik sebentar dari ujung matanya.Sekilas garis bibirnya terangkat.Tapi cepat-cepat ia alihkan,kembali fokus menatap jalan.
"Pulangnya nanti aku antar," Suaranya Arkan agak sedikit bergetar.Dia tidak menoleh,tatapannya lurus ke depan.Seolah kata-kata nya tadi bukan apa-apa.
"Nggak mau!"Arina,menoleh sekilas.Bibirnya masih mengerucut.Apalagi saat melihat tingkah Arkan yang bicara padanya tapi tatapannya tetap lurus ke depan.Menurut Arina,"Itu sikap macam apa?dia fikir gampang memerintah orang seenaknya".
"Evan tidak masuk sekolah,Kakeknya meninggal.Jadi nanti pulangnya aku yang antar." Masih saja tidak menoleh,kalimat yang tidak keluar dari mulut Arkan ternyata lebih jujur."Aku jangan lihat wajahnya,nanti warna merah di pipi aku muncul lagi,sial banget sih warna merah ini".
Mata Arina membulat,bibir yang mengerucut tadi perlahan kembali normal.Kerutan di dahinya sudah tak bersisa."Jadi,Evan nggak ke sekolah karna Kakeknya meninggal." Seperti mendapat kunci jawaban,hati Arina merasa lega.
Arina menyenderkan punggungnya di kursi penumpang. Gerakannya agak sedikit santai,jadi jemarinya memegang ransel lebih rileks.
Diam-diam Arkan mencuri pandang.Lebih ke uji coba keberanian."Dia,manis banget".Tentu saja,blush di pipi serta merta muncul."Uhuk!"Membuatnya tersedak.
Arina reflek menoleh,"Arkan kamu batuk?".Bagi Arkan tatapan Arina seperti menghawatirkan keadaannya,membuatnya tidak tahan."Dia khawatirkan aku, arghhhhh....aku pengen manjat mobil ini rasanya",tanpa sadar Arkan merapatkan tubuhnya di kaca pintu mobil.Posisinya seperti cicak yang menempel pada dinding dengan kedua tangan dan kaki ikut menempel.
"Arkan,kamu tidak apa-apa?" Arina makin merasa bingung.Tangannya terulur,hendak meraih bahu Arkan.Ingin memastikan apa Arkan baik-baik saja.
"Awwww!!"Arkan malah terpekik,"Ja..jangan Arina!"
suara Arkan melengking,gerakannya spotan makin menempel pada jendela pintu mobil.
Tentu saja ini membuat Arina makin bingung,"Aneh banget,dia kenapa sih.Apa dia demam,pipinya seperti orang demam" batinnya. Tangan yang terlanjur terulur tadi,perlahan ia turunkan di letakkan lagi di posisi semula.
Adegan tadi sontak membuat Pak Supir tak mampu menahan tawa.Tawanya berderai begitu saja,membuat Arkan sadar sudah di tertawakan.
Arkan batuk-batuk kecil,menghalau kejadian memalukan tadi.Ia membenarkan posisi duduknya,kembali berlagak ala seorang Tuan Muda.
***
Di pemakaman Tuan Harsono,
Langit nampak berwarna abu pucat.Tidak ada matahari yang berani menembus awan, seolah langit pun ikut menunduk dalam duka.
Di tengah taman pemakaman mewah itu, nisan berwarna hitam marmer berdiri tegak, baru, mengilat.Bunga-bunga putih tersusun rapi di sekelilingnya.Lili, mawar, dan anggrek yang masih segar, menyebarkan aroma lembut bercampur tanah basah.
Para pelayat datang dengan pakaian serba hitam.Mobil-mobil mewah berderet di jalanan sempit menuju makam, pengemudinya berdiri di sisi, menunduk sopan.
Tak ada isak keras, hanya suara langkah sepatu yang tenggelam di antara desir angin dan desiran doa pelan.
Rina berdiri di sisi Dirga, memegang payung hitam polos. Tangannya gemetar kecil saat bunga mawar putih jatuh dari genggamannya, menyentuh peti kayu jati yang baru saja di buka.
Dirga menatap ke bawah tanpa berkata apa pun. Dagu tegasnya terangkat sedikit, tapi matanya merah, menahan sesuatu yang tak mampu diucapkan.
Evan berdiri sedikit di belakang, kedua tangannya di saku celana. Rambutnya sedikit basah oleh gerimis. Ia menatap bunga-bunga yang mulai menutupi gundukan tanah, seolah setiap helainya adalah kenangan yang perlahan dikubur bersama lelaki yang dulu selalu menuntut kesempurnaan darinya.
Satu per satu tamu menunduk memberi penghormatan.
Kilau berlian di telinga wanita-wanita bangsawan memantul di bawah langit kelabu, sementara kamera media menunggu jauh di gerbang,tak diizinkan masuk.Tapi mereka tetap menunggu, memburu kisah duka keluarga Harsono.
Di antara bisikan doa, angin membawa aroma parfum mahal, bercampur bau tanah yang baru digali.Ketenangan itu begitu rapuh, seolah sedikit saja disentuh, semua akan runtuh jadi tangis.
Rina menyeka ujung matanya dengan tisu. Suaranya isaknya hampir tak terdengar di samping suaminya.Dirga menoleh sebentar, lalu menatap makam yang sudah ditutup tanah.
Hening lagi.Hanya suara taburan bunga jatuh, pelan… satu demi satu, menutup bab terakhir hidup seorang Harsono.
Tatapan Dirga beralih pada Evan,lalu memegang bahunya.
“Nak…” suaranya rendah, nyaris tenggelam oleh suara angin.
"Pergilah duluan,nanti Papa menyusul."
Evan menoleh, pandangannya kosong. Evan ragu sejenak, tapi akhirnya menuruti.
Ketika taburan bunga terakhir dijatuhkan, Dirga memasukkan tangan ke dalam jasnya.Mengeluarkan sesuatu,sebuah amplop lusuh berwarna krem.
Bibirnya bergetar samar.“Jadi ini maksudmu,Kek…?” gumamnya pelan.
Ia membuka sedikit ujung amplop itu,hanya cukup untuk melihat satu kalimat di kertas di dalamnya.Matanya membulat. Nafasnya terhenti sesaat.
Lalu perlahan, Dirga melipat kembali amplop itu, menyimpannya di dalam jas, dan menatap makam kakeknya sekali lagi.
“Kalau ini benar…” suaranya hampir berbisik, “maka akan ada satu nama yang harus hilang dari silsilah keluarga ini.”
Petir menyambar jauh di langit, membelah kesunyian.Dan untuk pertama kalinya sejak upacara dimulai, Dirga tersenyum tipis.Dingin, ambigu, nyaris tak manusiawi.
*
*
*
~Salam Hangat Dari Penulis🤍
Tak ada kata lagi terucap👍🙏