Alya terpaksa menggantikan Putri yang menghilang di hari pernikahan nya dengan putra dari konglomerat keluarga besar Danayaksa. Pebisnis yang di segani di dunia bisnis. Pernikahan yang mengantarkan Alya ke dalam Lika - liku kehidupan sebenarnya. Mulai dari kesepakatan untuk bertahan dalam pernikahan mereka, wanita yang ada di masa lalu suami nya, hingga keluarga Devan yang tidak bisa menerima Alya sebagai istri Devan. Mampukah Alya melewatinya? Dengan besarnya rasa cinta dari Devan yang menguatkan Alya untuk bertahan mengarungi semua rintangan itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fitri Wardani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Obrolan Pertama
*****
Tidak ada tatapan permusuhan atau kebencian yang Alya lihat dari tatapan Devan.
Bahkan ucapan menyakitkan seperti menuduhnya memanfaatkan pernikahan ini karena dia menikahi keluarga terpandang. Atau mungkin belum?
Alya tidak bisa, atau lebih tepatnya belum bisa menyimpulkannya sekarang.
Untuk membaca karakter pria asing yang telah menjadi suaminya, Alya masih belum mampu.
*
*
*
Selama bersiap untuk kembali ke Jakarta, pikiran Alya dipenuhi oleh satu nama.
Hingga pintu kembali diketuk dan saat Alya mempersilahkan Devan membuka pintunya, sekelebat dia bisa melihat tatapan Devan yang melembut dan terasa menenangkan di hati Alya untuk sepersekian detik. Dan hal itu membuat Alya tersentak dengan respon hatinya sendiri.
Kenapa pria itu tidak memperlihatkan satupun kemungkinan yang Alya pikirkan sejauh ini?
*
*
*
Devan datang dan 10 menit kemudian di saat Alya juga sudah siap.
" Udah selesai? Kamu membawa banyak barang ke sini?" Tanya Devan.
Alya langsung menggeleng.
" Oke, ayo kita berangkat."
" Tunggu. Aku pamit dengan pakde dulu." Ucap Alya lalu keluar dari kamar, rasanya sangat aneh mengobrol padahal mereka belum berkenalan sama sekali.
" Pakde... Mas Devan mengajak pulang malam ini juga ke Jakarta. Apa tidak apa-apa? Bukankah masih ada serangkaian acara yang pakde buat?" Tanya Alya menatap bingung pada pakdenya.
Sedangkan pakdenya hanya tersenyum dan mengusap lembut punggung tangan Alya.
" Tidak apa-apa. Sisa acara di sini biar menjadi urusan Pakde. Turuti suamimu saja. Pakde mendoakan untuk kebahagiaanmu. Jika kamu mengalami kesulitan telepon pakde ya. Jangan dengarkan ucapan budemu, kamu tahu dia orang yang seperti itu. Pakde minta maaf sekali atas kekacauan semua ini Alya."
Pakde meneteskan air matanya, membuat Alya ikut menangis dan mengangguk. Pakde lalu membawa keponakannya itu ke dalam dekapannya.
" Alya menyayangi pakde. Alya pergi dulu ya pakde. Titip salam untuk bude."
" Iya, ndok. Budemu masih ngambek di kamar dan tidak mau keluar. Pergilah, suamimu sudah menunggu." Ucap pakde membuat Alya melepaskan pelukannya dan menatap ke belakang melihat Devan yang sudah menunggu di sana.
" Kami pulang dulu Om." Ucap Devan.
Keluarga Devan sudah menunggu di mobil yang akan mengantar mereka ke bandara.
Hati Alya berdebar kencang, rasanya belum siap menghadapi keluarga besar pria itu yang masih memiliki berbagai macam tanggapan tentangnya.
" Devan. Lama sekali kamu. Mama sudah muak ada di sini. Cepat naik ke mobil." Panggil Jenny saat melihat Devan dan Alya yang baru keluar.
" Kami akan naik mobil terpisah, ma, pa." Ucap Devan yang lagi-lagi membuat Alya terkejut.
Apalagi pria itu yang langsung menggenggam tangannya dan mengajaknya masuk ke mobil.
Ada pelayan di sana yang membukakan pintu mobil untuk Alya. Alya mengenalnya sebagai salah satu pelayan bude Sandra. Dia hanya tersenyum sewajarnya dan langsung masuk mobil.
*
*
*
Mobil melaju membelah jalanan Jogjakarta yang cukup lengang di tengah malam itu. Jantung Alya berdetak keras dengan perasaan yang gugup luar biasa.
" Kamu tinggal di mana di Jakarta Alya?" Tanya Devan memulai obrolan namun mata Devan tetap fokus pada jalanan di depannya.
" Di daerah kebon jeruk Mas." Jawab Alya berusaha menahan suaranya agar tetap normal.
" Kos? Rumah atau apartemen?" Tanya Devan lagi.
Devan terlihat sangat tenang, berbeda dengannya yang masih mencoba mengendalikan dirinya.
" Apartemen. Nyewa tahunan." Jawab Alya.
" Oke. Aku juga tinggal di apartemen daerah Sudirman. Kita akan tinggal di sana untuk kedepannya. Besok aku bantu kamu ambil barang-barangmu di apartemen. Sewanya tidak usah dilanjutkan." Ucap Devan.
" Aku baru memperpanjang bulan lalu." Bantah Alya.
Devan hanya mengangguk.
" Mas, nama lengkap kamu siapa. Aku lupa." Ucap Alya jujur.
Mendengar itu membuat Devan akhirnya menatap sekilas pada Alya dengan alis yang bertaut. Namun setelah itu Devan kembali fokus ke depan.
" Devan Arjuna Danayaksa. Remember that. Oke?"
" Oke, Mas Devan. Nama lengkap ku..."
" Alya Nadira Kusuma Diningrat. Aku sudah hafal." Potong Devan dengan cepat.
Alys hanya bisa menelan ludahnya hingga membuat lidah Alya terasa kelu. Pria itu begitu mudah menghafal namanya. Apa karena pria itu yang mengucapkan ijab Kabul? Sedang dia yang bagian mendengarkan jadi lebih mudah lupa. Apalagi dipikirannya begitu penuh bahkan hingga saat ini.
" Ya. Umur kamu berapa Mas?" Tanya Alya lagi.
Alya ingin mengetahui hal-hal dasar dari pria yang telah menjadi suaminya yang masih terasa sangat asing.
Devan kembali menoleh kepadanya. Dan tatapannya begitu lekat. Kali ini cukup lama karena lampu merah. Alya merasa gugup. Devan seperti sedang menilai dirinya.
" Tiga puluh satu tahun. Umur kamu dua puluh tujuh kan?" Ucap Devan lagi, membuat Alya kini balik menatapnya.
Bagaimana pria itu tahu? Namun lidahnya keluh untuk kembali mengajukan pertanyaan dan pada akhirnya dia mengangguk.
" Kamu mengajukan cuti berapa hari?" Tanya Devan.
" Hanya satu hari. Namun aku sudah mengajukan lagi tadi via email. Semoga di-acc. Seharusnya besok tidak ada hal atau meeting yang urgent."
Alya menggeleng-gelengkan kepalanya. Matanya kini sudah mengantuk berat. Tapi ini kesempatan pertama untuk bisa mengobrol dengan pria itu.
" Kamu kerja di mana? Sebagai apa?" Tanya Devan.
" Di Aksara Pradiksa, mas. Sebagai sekretaris direktur." Ucap Alya menahan nafasnya, menunggu reaksi Devan karena ratusan kali saat dia mengatakan profesinya, pasti 90% orang akan memandang setengah sinis kepadanya.
Alya tidak menyalahkan karena memang sebagian orang memandang rendah pekerjaan itu dengan anggapan, mereka bukan hanya sekretaris yang melayani semua kebutuhan saat di kantor namun juga di ranjang.
Namun ekspresi Devan terlalu datar, membuat Alya tidak ambil pusing. Dia memejamkan matanya. Masih 15 menit untuk sampai di bandara. Dia harus mengendalikan dirinya untuk menghadapi pria di depannya. Dia tidak boleh gugup atau grogi. Harus mengutarakan semua yang mengganjal di hatinya tentang pernikahan ini dan meminta kejelasan tentang rencana pria itu atas pernikahan mereka.
Akan lebih baik dan mudah baginya jika pria itu cepat menceraikannya, sehingga dia bisa kembali pada hidupnya yang normal.
Devan yang melihat Alya memejamkan matanya membuat pria itu memilih bungkam dan tidak lagi melanjutkan pertanyaan selanjutnya.
Hari ini sangat melelahkan dan dia tahu lebih melelahkan bagi wanita yang telah menjadi istrinya itu yang tiba-tiba telah berubah status tanpa ada persiapan apapun.
*
*
*
Saat di bandara, ternyata semua orang telah naik pesawat membuat Devan kembali meraih tangannya dan mengajak Alya menuju ke landasan pacu di mana seorang pria menghampiri mereka dan menunjukkan jalan di mana pesawat pribadi itu parkir.
Tangan Alya gemetar, dan Devan merasakan itu di genggamannya membuat Devan menoleh pada wanita yang masih sulit dia baca itu.
" Tidak usah gugup. Keluargaku tidak akan melemparmu keluar." Ucap Devan lalu kembali menarik tangan Alya untuk mengikutinya.
belum nemu kemistrinya Thor🙏