NovelToon NovelToon
PERNIKAHAN DENDAM

PERNIKAHAN DENDAM

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / CEO / Pengantin Pengganti / Dendam Kesumat
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

Menjelang pernikahan, Helena dan Firdaus ditimpa tragedi. Firdaus tewas saat perampokan, sementara Helena diculik dan menyimpan rahasia tentang sosok misterius yang ia kenal di lokasi kejadian. Kematian Firdaus menyalakan dendam Karan, sang kakak, yang menuduh Helena terlibat. Demi menuntut balas, Karan menikahi Helena tanpa tahu bahwa bisikan terakhir penculik menyimpan kunci kebenaran.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 22

Pagi mulai menyibak langit Paris, sinar matahari menembus tirai kamar hotel.

Helena perlahan membuka matanya perlahan-lahan.

Tangannya meraba ke sisi tempat tidur yang kosong.

Ia mengerjap, mendadak rasa cemas merayap naik.

Tubuhnya spontan bangkit, matanya menyapu seluruh kamar.

“Mas.Karan…?”

Helena langsung bangkit dari tempat tidurnya dan mencari keberadaan suaminya.

Jantungnya mulai berdetak lebih cepat. Ia turun dari ranjang, mengenakan cardigan tipis, dan melangkah cepat keluar kamar.

Lorong hotel terasa sunyi, hanya suara lift yang berdenting pelan.

Begitu pintu terbuka di lobi, Helena langsung melihat suaminya yang berdiri di dekat pintu masuk hotel, berbicara dengan tiga pria berseragam polisi Prancis.

Ekspresi mereka serius dan salah satu dari mereka menunjukkan foto di tablet.

Karan mendengarkan dengan wajah tegang tapi tetap tenang, kedua tangannya disilangkan di dada.

“Mas…"

Karan menoleh cepat dan alam sekejap, ketegangan di wajahnya menghilang dan berganti dengan senyum menenangkan.

Helena mendekat, matanya tak lepas dari para polisi itu.

“Ada apa ini?”

Polisi sempat menatap ke arah Helena, seolah ingin bertanya siapa dirinya.

Tapi Karan langsung mengangkat tangan memberi isyarat.

“C’est rien. Merci,” ucap Karan kepada para polisi dengan nada tegas tapi sopan.

Para polisi saling pandang, lalu mengangguk singkat dan pergi meninggalkan mereka.

Helena menatap Karan penuh tanya.

“Mas, apa yang terjadi? Kenapa ada polisi?”

Karan menghembuskan napas pelan, lalu menyentuh bahu Helena lembut.

Karan tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap dalam mata Helena, seolah berusaha memastikan bahwa istrinya benar-benar ada di hadapannya dalam keadaan yang aman.

Helena mengernyit, cemasnya makin menjadi.

“Masz jangan diam. Tolong jawab. Kenapa ada polisi?”

Karan menarik napas panjang, lalu mengusap pipi Helena pelan.

“Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan.”

“Kalau tidak perlu dikhawatirkan, kenapa kamu ngobrol dengan polisi sambil muka tegang begitu?”

Karan diam sejenak, lalu tersenyum kecil dan senyum yang jelas dibuat-buat untuk menenangkan.

“Itu hanya urusan keamanan. Hotel dapat peringatan tentang tahanan kabur dari penjara kota lain. Mereka lagi memperketat patroli.”

Helena langsung merasakan hawa dingin menjalari tubuhnya.

“Tahanan kabur? Mas apa itu ada hubungannya sama..?"

Sebelum nama itu lolos dari bibir Helena, Karan segera memotong.

“Hel.”

Satu kata itu cukup untuk membuat Helena bungkam.

Karan menempatkan jarinya di bibir istrinya, lembut tapi tegas.

“Aku janji akan jelaskan semuanya. Tapi bukan sekarang. Bukan di sini.”

Helena masih terlihat ragu. Matanya tak berkedip menatap Karan, mencoba membaca apa yang sedang disembunyikannya.

Karan menatapnya lekat, lalu tanpa peringatan—membungkuk dan menyapu tubuh Helena ke dalam gendongannya.

“Mas! Astaga,apa yang kamu lakukan?!”

“Melaksanakan tugas keamanan pribadi,” jawab Karan ringan, seolah tidak ada beban apa pun. Ia mulai melangkah menuju lift sambil menggendong Helena seperti pengantin baru.

“Ke-keamanan apanya? Turunin aku, semua orang lihat!” bisik Helena sambil menampar pelan bahu suaminya.

“Biarkan mereka lihat. Supaya mereka tahu bahwa siapa pun yang coba mengganggu istriku… harus berhadapan denganku terlebih dulu.”

Helena terdiam. Wajahnya memerah, bukan hanya karena malu—tapi karena kalimat itu terasa seperti benteng pelindung yang baru saja didirikan untuknya.

Lift terbuka. Karan tetap tidak menurunkannya.

“Mas, jadi sekarang mau ke mana?”

Karan tersenyum sambil menunduk, menatap istrinya dengan sorot hangat yang bercampur kewaspadaan.

“Kembali ke kamar.”

“Untuk sarapan?”

“Untuk pengamanan,” jawabnya ringan, tapi nada suaranya membuat Helena yakin Karan serius.

Helena memeluk lehernya sedikit lebih erat.

“Kalau begitu, aku nggak akan turun sampai kamu jelaskan semuanya setelah ini.”

Karan terkekeh pelan sambil membopong tubuh istrinya.

“Baik, Ratu. Aku akan jelaskan. Tapi setelah kamu sarapan dan setelah aku pastikan tak ada satu pun bahaya yang bisa menyentuhmu.”

Sebuah rumah tua yang telah lama ditinggalkan berdiri di antara gang-gang sempit distrik kumuh kota.

Cat temboknya terkelupas, jendelanya retak, dan bau lembap memenuhi udara.

Namun malam itu, rumah itu tak lagi kosong.

Firdaus duduk di kursi reyot dekat jendela, tubuhnya berbalut jaket tebal gelap, wajahnya setengah tertutup oleh hoodie.

Ia menatap jalanan yang sepi dari balik celah tirai usang, memastikan tak ada yang mengikutinya.

Tangannya menggenggam sebuah ponsel murah yang baru ia beli dari pasar gelap.

Ia mengetik cepat, lalu menempelkan ponsel ke telinga.

“Sudah sampai Paris. Aku butuh barangnya secepat mungkin.”

Suara serak di seberang menjawab pelan tapi tajam, beraksen khas Eropa Timur.

“Type?”

“Obat bius. Yang bekerja cepat. Bentuk gas atau cairan, terserah. Yang penting efeknya instan.”

Ada jeda singkat.

“Target?”

Firdaus tersenyum tipis tanpa menjawab langsung. Ia hanya menatap langit-langit rumah kosong itu, seolah membayangkan sesuatu.

“Pasangan. Suami-istri.”

Suara di seberang tidak terkejut.

“Location?”

“Send location,” balas Firdaus singkat sambil mengirim koordinat rumah itu.

“Delivery tonight. 23:00. Bring cash.”

Sambungan telepon terputus.

Firdaus menurunkan ponsel perlahan. Matanya menatap kosong ke dinding yang lembab.

Tangannya mengepal.

“Paris penuh cinta dan harapan, ya? Baiklah… aku akan buat kota ini menyaksikan runtuhnya cinta mereka.”

Ia berdiri dan membuka koper kecil yang ia curi dari stasiun kereta.

Di dalamnya, hanya ada beberapa pakaian dan sebuah foto lusuh.

Foto Karan dan Helena — tersenyum di hari pernikahan mereka.

Firdaus mengusap permukaan foto itu dengan jemarinya pelan.

“Sebentar lagi, senyum kalian akan hilang.”

Di luar, lonceng gereja berdentang pelan.

Malam mulai turun perlahan di kota Paris.

Lampu-lampu jalan menyala satu per satu, memantul di permukaan jalan yang basah sisa hujan sore tadi.

Mobil-mobil melintas tenang, gemerlap kota seolah tak peduli bahwa di balik bayangannya sesuatu tengah digerakkan oleh dendam.

Firdaus melangkah keluar dari rumah reyot itu dengan tas kecil di tangannya.

Jaket hitamnya ia rapikan, hoodie ditarik menutupi kepalanya.

Di ujung jalan sempit tempat rumah itu berada, sebuah mobil sedan hitam tua sudah menunggu kendaraan hasil curian dari parkiran tak berpenjaga.

Ia membuka pintu, duduk di kursi pengemudi, dan menyalakan mesin.

Vroooom…

Suara mesin tua itu menyentak keheningan malam.

Firdaus memandangi jalanan dari balik kaca depan.

Sorot matanya dingin, fokus, tak ada keraguan sedikit pun.

Tangannya merogoh saku dan mengeluarkan foto Karan dan Helena yang telah kusut karena sering digenggam.

Ia menempelkannya di dashboard mobil, tepat di depan matanya.

“Aku akan buat kalian melihat dunia dari sudut yang sama gelapnya denganku,” gumamnya lirih, hampir tanpa emosi.

Mobil itu melaju keluar dari gang sempit, menyusuri jalan utama Paris.

Ia melewati toko-toko kecil yang telah tutup, kafe yang masih dipenuhi tawa turis, bahkan menara Eiffel yang bersinar megah dari kejauhan.

Firdaus tidak menoleh dan hanya melajukan mobil lurus, seperti anak panah yang tahu tepat ke mana ia akan menghujam.

Sambil mengemudi, ia menyalakan ponsel dan mengetik satu pesan:

" Transaksi selesai, siapkan pintu masuk ke hotel. Aku tidak datang untuk bicara. Aku datang untuk mengambil.

Firdaus menginjak pedal gas lebih dalam. Mobil melaju lebih cepat, lampu-lampu jalan berubah menjadi garis-garis cahaya yang berlari di sampingnya.

Di kejauhan, terlihat siluet hotel tempat Karan dan Helena menginap, menjulang elegan di antara bangunan klasik lainnya.

Dari kejauhan, mungkin terlihat seperti simbol cinta dan kemewahan.

Tapi di mata Firdaus…

Itu adalah target.

Mobil itu melambat tepat v ujung jalan yang menghadap ke hotel.

Firdaus mematikan mesin.

Ia bersandar ke kursi, memandangi bangunan besar itu dari balik kaca gelap.

“Selamat menikmati malam terakhir yang damai… Kak Karan.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!