"Nada-nada yang awalnya kurangkai dengan riang, kini menjebakku dalam labirin yang gelap. Namun, di ujung sana, lenteramu terlihat seperti melodi yang memanggilku untuk pulang."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yvni_9, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
sekolah baru (2)
...Happy reading...
Tiba-tiba, Cely merasa risih karena tatapan laki-laki itu tidak beralih darinya. Ia merasa seperti sedang diperhatikan secara intens, membuat nafsu makannya sedikit terganggu. Dengan cepat ia mengangkat wajahnya, menatap tajam laki-laki di depannya.
"JANGAN LIATIN GUE!" bentak Cely dengan suara keras dan penuh penekanan, membuat beberapa siswa siswi di sekitar mereka menoleh ke arahnya.
Laki-laki itu tersentak kaget mendengar bentakan Cely, matanya melebar dan ia tampak sedikit gugup.
"Eh ... jangan marah dong!" ucapnya, berusaha menenangkan Cely.
Dengan gerakan cepat, ia mengambil kotak lauknya yang berisi ayam goreng tepung yang tampak menggugah selera.
"Nih ... aku kasih lauk aku buat kamu, biar kamu nggak marah lagi!" ucapnya sambil menyodorkan kotak lauknya, kemudian tanpa menunggu jawaban, ia meletakkan ayam goreng tepung itu di atas nasi Cely, sebagai tanda permintaan maaf.
Cely menatap ayam goreng tepung di atas nasinya, lalu beralih menatap laki-laki itu. Ekspresinya sedikit melunak, meskipun masih terlihat sedikit kesal.
"Buat lo aja deh," kata Cely lagi, mendorong kotak lauk yang berisi ayam goreng tepung itu kembali ke arah Azel.
Ekspresinya datar, sama sekali tidak menunjukkan minat pada ayam goreng yang baru saja diberikan kepadanya. "Gue nggak suka ayam," lanjutnya.
Cely kemudian mengambil kotak bekalnya sendiri dan mengeluarkan sepotong ayam goreng yang tampak menggiurkan.
Azel menerima kembali kotak lauknya dengan wajah bingung dan tatapan tidak percaya. Ia memandangi ayam goreng tepung itu sejenak, lalu menoleh kembali ke Cely, seolah mencari penjelasan atas pernyataan yang baru saja didengarnya.
"Orang gila mana coba yang nggak suka ayam?" tanya Azel dengan nada heran.
Mendengar pertanyaan Azel yang terdengar meremehkan seleranya, Cely mendongak dengan cepat, tatapannya tajam menusuk mata Azel.
"GUE! GUE ORANG GILANYA!" jawab Cely dengan suara lantang dan penuh penekanan.
Nada suaranya meninggi, menunjukkan bahwa ia tidak suka selera makannya dipertanyakan, apalagi dianggap aneh. Beberapa pasang mata di sekitar mereka kembali menoleh, penasaran dengan keributan kecil yang terjadi di antara Cely dan Azel.
Lagi, Azel tersentak mundur, karena mendengar bentakan Cely. "Jangan teriak-teriak gitu ih," suaranya mengecil, berusaha meredam suasana yang mulai memanas.
"Nggak enak sama yang lain," lanjutnya dengan nada lebih lembut, sambil melirik ke arah siswa-siswi lain yang mulai memperhatikan mereka.
Kemudian, untuk memperbaiki kesalahannya dan mencairkan suasana yang tegang, Azel mengambil sekotak susu rasa cokelat dari dalam tasnya.
"Kalau gitu, nih... susu kotak punya aku buat kamu aja," tawar Azel dengan senyum, menyodorkan susu kotak itu kepada Cely sebagai pengganti ayam goreng yang ditolaknya.
"Thanks," ucap Cely singkat, tanpa melihat mata laki-laki itu, dan kembali melanjutkan makannya.
Meskipun masih kesal karena diperhatikan, namun hati kecilnya sedikit tergerak oleh kebaikan laki-laki yang berusaha mendekatinya.
"Emangnya lo nggak bisa apa cari temen cowok apa?"
Cely mendengus kesal, tatapannya menusuk tajam ke arah Azel. Ia merasa risih dan jengkel dengan kegigihan laki-laki ini yang seolah tidak memahami sinyal penolakannya.
"Masa lo malah ngedeketin gue sih! Gue udah punya pacar!" Cely menekankan kalimat terakhirnya dengan nada suara yang lebih tinggi, berharap Azel akan segera mengerti dan menjauhinya.
"Pacar yang mana, Cel?" tanya Cely dalam hatinya.
"Ya nggak apa-apa lah kalau kamu punya pacar," sahut Azel, kembali menatap Cely dengan senyum yang tidak luntur. "Kan aku cuma mau temenan, bukan mau jadi pacar kamu," tegasnya, seolah menyangkal tuduhan Cely dan meyakinkan bahwa niatnya murni hanya ingin menjalin pertemanan.
"Ni orang lama-lama bikin gue emosi ya," Cely membatin dengan geram, giginya menggeretak menahan kekesalan. Ia memutar bola matanya, menatap langit seolah mencari kesabaran ekstra.
"Dia nggak peka apa, ya, kalau gue nggak mau temenan sama dia?" Cely kembali membatin, merasa frustrasi dengan sikap Azel yang tampaknya benar-benar tidak memahami atau mungkin sengaja mengabaikan penolakannya.
"Sepuluh menit lagi selesai makannya, ya adik-adik!" seru kakak pembimbing dari kejauhan, suaranya nyaring memecah kebisingan jam istirahat, mengingatkan para siswa-siswi bahwa waktu istirahat makan siang akan segera berakhir.
"Pelan-pelan aja makannya, Cel!" Azel berkata dengan lembut, nada suaranya penuh perhatian. Ia memperhatikan Cely yang makan dengan tergesa-gesa, seolah dikejar waktu.
Cely tak mempedulikannya, ia segera melahap habis makanannya, dan buru-buru meninggalkan Azel yang masih menyantap makanannya.
Waktu istirahat makan siang telah usai, para siswa-siswi sudah kembali ke barisan kelas masing-masing. Di lapangan terbuka yang luas, mereka berdiri berjejer rapi, bersiap untuk kegiatan selanjutnya. Cuaca siang itu terasa sangat terik, matahari bersinar garang tanpa ampun, memancarkan panas yang membakar kulit.
Udara terasa kering dan pengap, membuat semua orang merasa kepanasan dan gerah. Keringat mulai membasahi dahi dan punggung, namun mereka tetap berusaha bertahan dalam barisan, mengikuti instruksi kakak pembimbing dengan penuh disiplin.
...***...
Waktu menunjukkan pukul 1 lebih 25 menit, jarum jam dinding bergerak perlahan namun pasti. Itu artinya, hanya lima menit lagi lonceng sekolah akan berbunyi, menandakan akhir dari kegiatan belajar hari itu.
Suasana di dalam kelas mulai terasa riuh rendah, para siswa-siswi sudah tidak sabar untuk segera pulang. Mereka mulai membereskan buku dan peralatan sekolah dengan gerakan yang lebih bersemangat dari biasanya.
Mereka sudah kembali ke kelas mereka masing-masing. Tiba-tiba, Azel kembali mendekati meja Cely. "Aku boleh minta nomor telepon kamu?" tanya Azel.
Cely, yang sedang memasukkan buku-bukunya ke dalam tas, menghentikan gerakannya sejenak. Tanpa menoleh dan dengan gerakan tangan yang cepat, ia menyodorkan handphone-nya ke arah Azel.
"Nih, scan aja!" ucap Cely singkat.
Azel menerima handphone Cely dengan senyum lebar yang merekah di wajahnya.
"Makasih ya!" ucap Azel tulus, nada suaranya penuh rasa terima kasih.
Ia segera mengambil handphone-nya sendiri dan dengan cekatan memindai kode QR yang tertera di layar handphone Cely, memastikan bahwa kontak Cely telah berhasil tersimpan di perangkatnya.
"Btw, rumah kamu di mana?" tanya Azel, ia mencondongkan tubuhnya sedikit ke arah Cely. "Nanti pulang bareng aku, mau?" tawar Azel.
Cely, yang sedang membereskan tasnya, menoleh sekilas ke arah Azel. "Rumah gue jauh," jawab Cely singkat, namun kemudian menambahkan, "tapi gue kos di deket pertigaan situ," Cely menunjuk ke arah luar kelas, "deket kok dari sini."
"Mau aku anter?" Azel kembali menawarkan. "Aku bawa motor kok!"
"Nggak perlu," jawab Cely tegas, menggelengkan kepalanya pelan namun pasti. "Gue jalan aja biar lebih sehat."
"Ah, nggak asik!"
Azel mendesah kecewa, bibirnya mengerucut sedikit tanda tidak setuju. "Padahal niat aku baik loh, Cel!" Azel ingin meyakinkan Cely bahwa ajakannya murni karena ingin membantu, bukan karena ada maksud tersembunyi.
Cely menghela napas pelan, menyadari bahwa Azel tidak akan menyerah begitu saja. Ia menatap Azel sekilas, kemudian mengedikkan bahunya tanda pasrah.
"Yaudah deh," ucap Cely akhirnya, nada suaranya sedikit mengalah dan terdengar pasrah, "terserah lo aja!"
"Yes!" Azel berseru senang, wajahnya langsung berseri-seri mendengar jawaban Cely.
..._________________...