Sebelum ada bintang, sebelum Bumi terbentuk, dia sudah ada.
Makhluk abadi tanpa nama, yang telah hidup melewati kelahiran galaksi dan kehancuran peradaban. Setelah miliaran tahun mengembara di jagat raya, ia memilih menetap di satu tempat kecil bernama Bumi — hanya untuk mengamati makhluk fana berkembang… lalu punah… lalu berkembang lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Taufik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terjun
Pesawat mulai menurunkan ketinggian, menembus awan tebal menuju zona pendaratan di hutan perbatasan. Lampu kabin berubah menjadi hijau, menandakan waktu bersiap.
“SEMUA SIAP!” seru salah satu instruktur terjun dari depan kabin.
Para prajurit elit bangkit serempak. Suara gesekan logam senjata, klik pelatuk, dan resleting ransel bergema di dalam pesawat. Mereka mengenakan parasut, memeriksa senapan serbu, pisau cadangan, peluru tambahan, alat komunikasi, dan perangkat navigasi malam. Ini adalah misi tingkat tinggi. Kegagalan bukan pilihan.
Namun… di satu sisi kabin, Alex Chu masih duduk santai. Kepalanya bersandar pada dinding pesawat, mata masih terpejam, seolah tidak mendengar dentuman perintah atau hiruk pikuk para prajurit yang bersiap untuk perang.
Kapten Leng Yuran, yang sedang memeriksa alat komunikasi di pundaknya, melirik tajam. Wajahnya menegang.
Ia melangkah cepat dan berdiri di hadapan Alex, suaranya tajam.
> “Hei! Bangun! Kau pikir ini latihan?”
Tidak ada reaksi. Hanya desahan napas pelan dari tubuh yang nyaris tak bergerak.
Leng Yuran mengepalkan tangan. Matanya menyorotkan kejengkelan yang nyaris meledak.
Namun detik berikutnya, Alex perlahan membuka matanya. Sepasang mata gelap, tenang seperti permukaan danau di malam hari, menatap singkat padanya. Ia tidak bicara, hanya mengangguk kecil — satu gerakan yang ambigu antara tanda paham atau sekadar menyuruh diam.
“...Astaga,” gumam Leng Yuran lirih. Dia bahkan sudah tidak tahu harus marah atau tertawa.
Beberapa prajurit di dekat mereka mulai berbisik. Ada yang mencibir pelan. Salah satu dari mereka — seorang pria besar bertato di leher — bahkan sempat melangkah maju dengan wajah geram.
> “Kapten, izinkan saya memberinya pelajaran.”
Namun sebelum ia sempat mendekat, temannya menarik bahunya sambil berbisik tegang.
> “Jangan gila. Dia… walaupun kita tidak yakin identitas dia, dia tetaplah orang yang di undang Jenderal Zhang”
Meski rasa tak puas menggumpal di udara, tak satu pun berani mengambil risiko lebih jauh.
Akhirnya, satu per satu pasukan mulai terjun dari buritan pesawat. Angin malam berdesing ketika tubuh-tubuh bersenjata itu menghilang ke dalam kegelapan di bawah sana. Satu tim… dua tim… kemudian giliran Kapten Leng Yuran.
Sebelum meloncat, ia sempat melirik sekali lagi pada Alex yang masih duduk dengan santai.
> “Terakhir kali aku ingatkan. Jangan jadi beban. Kalau kau mati di bawah sana karena tidak siap, itu salahmu sendiri.”
Alex membuka matanya perlahan. Ia berdiri… tanpa tergesa. Tubuhnya ramping namun terasa berat.
Ia tak membawa senjata panjang. Tak ada ransel. Bahkan tak ada parasut.
Hanya sebilah pisau pendek di pinggangnya.
Leng Yuran mengernyit keras. “Apa kau… bercanda?! Dengan satu pisau saja?!”
Alex menatapnya datar. Tak ada cemoohan di mata itu. Tak ada kesombongan. Hanya ketenangan yang sunyi.
> “Ini cukup.”
Leng Yuran menghela napas panjang, setengah putus asa. Ia ingin marah, tapi tahu itu tidak ada gunanya.
> “Terserah kau. Jangan menyusahkan timku.”
Lalu ia pun melompat keluar pesawat dan menghilang dalam gelap.
Semua orang sudah turun.
Di dalam pesawat yang kini mulai berbelok arah untuk kembali ke pangkalan, Alex Chu masih berdiri sendiri di tengah ruang kosong.
Tanpa suara. Tanpa sisa.
Dan… tanpa parasut.
Ia melangkah ke ujung pintu terbuka, memandangi lanskap malam yang terbentang di bawah — lembah, hutan, dan garis sungai yang samar dalam bayang rembulan.
Tanpa ragu, ia melompat.
Tak ada yang melihat. Tak ada yang sadar. Bahkan pilot tidak memeriksa.
Tubuhnya melesat ke bawah seperti peluru… tak ada pengait, tak ada sayap, hanya udara dingin yang menyambut.
Namun bagi sosok seperti Alex Chu, hukum gravitasi hanyalah formalitas.
Manusia menyebutnya gila jika tahu.
Tapi kenyataannya…
Dunia ini terlalu rapuh untuk seseorang sepertinya.