Kimi Azahra, memiliki keluarga yang lengkap. Orang tua yang sehat, kakak yang baik, juga adek yang cerdas. Ia miliki semuanya.
Namun, nyatanya itu semua belum cukup untuk Kimi. Ada dua hal yang belum bisa ia miliki. Perhatian dan kasih sayang.
Bersamaan dengan itu, Kimi bertemu dengan Ehsan. Lelaki religius yang membawa perubahan dalam diri Kimi.
Sehingga Kimi merasa begitu percaya akan cinta Tuhannya. Tetapi, semuanya tidak pernah sempurna. Ehsan justru mencintai perempuan lain. Padahal Kimi selalu menyebut nama lelaki itu disetiap doanya, berharap agar Tuhan mau menyatukan ia dan lelaki yang dicintainya.
Belum cukup dengan itu, ternyata Kimi harus menjalankan pernikahan dengan lelaki yang jauh dari ingin nya. Menjatuhkan Kimi sedemikian hebat, mengubur semua rasa harap yang sebelumnya begitu dasyat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EmbunPagi25, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22. Cerita Tentang Penyesalan
Setelah melaksanakan sholat Magrib berjamah, Kimi dan Arkan sedang berkutat dengan dapur.
Kimi dapat menyimpulkan satu hal menarik tentang seorang Arkana.
Peduli.
Mengingat Arkan yang mengajaknya ke tempat usaha fotokopi milik lelaki itu. Lalu memperkenalkannya sengan seorang Mang Danang yang memiliki kisah yang membuatnya terenyuh.
Dan, Arkan lah yang mau membantu Mang Danang yang dari kisahnya dalam keadaan kesulitan ekonomi. Lebih menarik lagi, Arkan bisa memercayakan usahanya pada Mang Danang.
"Potongannya gimana, Mas?" Tanya Kimi pada Arkan yang mengacu pada sayur wortel yang harus ia potong dengan bentuk yang bagaimana.
Arkan menoleh padanya setelah menyiapkan bumbu."Potong seperti bentuk koin aja, Dek."
Ini adalah ide Arkan yang hendak memasak Sup Ayam untuk menu makan malam mereka sekarang. Sekalian, Kimi hendak melihat kemampuan lelaki itu yang katanya jago masak.
"Mas, bisa masak, Dek. Bunda aja mengakui masakan Mas itu enak."
"Gini udah bener, Mas?" Tanya Kimi sekali lagi untuk memastikan potongannya benar.
"Terlalu tipis, sayang."
Kimi bahkan sampai menghentikan gerakannya yang sedang memotong wortel itu. Bukan. Bukan karena potongannya yang salah, lantaran terlalu tipis. Ini penyebab lain hal, yang lebih tepatnya karena panggilan terakhir dari Arkan padanya.
Membuat Kimi bergeming, tubuhnya mematung, juga sekelumit perasaan asing yang sulit ia mengerti. Saat mendengar kata sayang itu.
Melihat perubahan drastis dari Kimi, membuat Arkan dengan segera memperbaiki ucapan nya. Entah kenapa, mulutnya bisa berkata demikian pada Kimi. Ia merasa sedikit kurang ajar, meski sebenarnya tidak salah.
"Maksudnya ... Kalau wortelnya dipotong terlalu tipis, kan, jadi sayang. Dek. Takutnya, wortelnya jadi hancur waktu dimasak, karena terlalu tipis." Ucap Arkan seraya melirik Kimi yang menundukan wajahnya.
Kimi menghela napasnya. "Terus ukurannya, gimana?" Ia mencoba mengabaikan perasaan aneh di dadanya.
Akhirnya Arkan mengambil alis pisau dari tangan Kimi, lalu memotong wortel tadi dengan ukuran yang lebih tebal dari yang dilakukan Kimi.
"Kamu kupas kentang aja, Dek! Untuk bikin Perkedel." Arkan membiarkan Kimi melakukan hal lain, dengan mengupas kentang. Hal itu mudah untuk dilakukan Kimi.
Setelah selesai dengan Sup Ayam, Arkan beralih pada kentang yang sudah dikupas dan dicuci bersih oleh Kimi.
Kimi memerhatikan tangan Arkan yang bergerak dengan telaten menghaluskan kentang di atas cobek. Lalu memindahkannya ke dalam mangkok besar dengan bahan lainnya yang kemudian diaduk rata.
"Mau coba, bentuk?" Tawar Arkan padanya yang sedari tadi hanya berdiri diam memerhatikan Arkan di sampingnya.
Kimi mengangguk lantas segera mencuci tangannya. "Bentuk gimana, Mas?"Tanya Kimi yang terlihat antusias.
"Dibentuk bulat pipih, seperti ini?" Jawab Arkan seraya membentuk kentang yang sudah halus itu.
Kimi mencontoh dengan baik, tatapan wanita itu terpaku pada kentang yang dibentuk ditangannya sendiri. Seolah hanya ada Kimi dan semangkuk adonan Perkedel. Sama halnya saat wanita itu membuat kue, seakan hal itu adalah dunianya.
Entah kenapa di saat seperti ini, Arkan justru memerhatikan fitur-fitur dari wajah Kimi. Ia tahu, Kimi itu cantik. Namun, ia tidak menyangka jika Kimi bisa secantik ini dalam balutan piyama tidur. Rambutnya bahkan hanya dicepol asal, membuat beberapa helaiannya mencuat kemana-mana. Anehnya, hal itu yang justru membuat Kimi dua kali lipat lebih menarik. Kimi dengan tampilan rumahan.
"Kamu pernah ... punya penyesalan, Mas?" Pertanyaan tiba-tiba dari Kimi menyadarkannya dari lamunan. Ia mengeryit saat tatapan mereka bertemu.
"Penyesalan?"
Kimi mengangguk. "Semacam penyesalan, yang mungkin sekarang ingin sekali Mas ulang. Hanya agar bisa memperbaikinya. Tanpa harus digerogoti penyesalan?"
Barangkali pertanyaan Kimi terlalu serius, Sampai-sampai Arkan harus memutar ingatannya ke masa lampau dengan pandangan mengawang.
"Mungkin ... sebelum Ayah ngga ada. Mas, sering berandai-andai, Dek. Meski sebenarnya tahu, jika hal itu dilarang." Jawab Arkan seraya menarik napasnya panjang, seakan menceritakan hal tersebut bisa membuka lukanya lagi. Yang mungkin selama ini tidak pernah benar-benar sembuh.
"Mas selalu mengatakan ke diri sendiri. Andai saat itu Mas tau kalau Ayah akan pergi lebih cepat. Mas hanya ingin mengucapkan terima kasih ke Ayah. Terima kasih, karena jadi Ayah, untukku."
"Mas ingin membuat lebih banyak kenangan bersama Ayah. Menghabiskan waktu seharian penuh, hanya untuk bercerita banyak hal. Bertanya ini-itu untuk bisa melihat senyumnya. Atau sekedar duduk, untuk bisa mengamatinya lebih banyak. "
"Tapi, kenyataannya. Mas ngga pernah melakukan hal itu, Dek. Waktu Mas bersama Ayah terbatas karena ulah Mas sendiri. Dan sekarang justru jadi penyesalan paling dalam yang harus Mas alami."
Ada nada getir di suara Arkan. Ia bisa mendapati tatapan penyesalan yang terlihat begitu pekat di kedua mata teduh itu.
Kimi menghela napasnya. "Aku juga mengalami hal yang sama, Mas. Penyesalan yang mungkin sampai sekarang masih ada. " Ucap Kimi, lalu melanjutkan ucapannya saat Arkan menatapnya dengan penasaran.
"Waktu kecil, aku sering marah sama Mama dan Papa. Parahnya, hanya karena masalah sepele. Seperti saat Mama bentak aku dan bandingin aku sama Kak Yana yang lebih patuh."
"Aku marah banget, sampai ngeluarin kata paling jahat. Yang seharusnya ngga pernah aku ucapkan. Sampai-sampai Mama selalu melamun berjam-jam karena mikirin ucapan jahat aku, Mas."
"Dan tempo hari, hipertensi Papa naik. Dan, masih karena aku, Mas." Lanjut Kimi dengan tawa pelan, setelah meletakan kentang terakhir yang di bentuknya dengan bulat pipih itu, di atas piring.
Meski Arkan tahu, itu adalah jenih tawa yang sebenarnya lebih menertawakan diri sendiri.
"Mama itu di didik, disiplin dari kecil, Mas. Hal itu yang bikin Mama terbiasa melakukan semuanya sesuai dengan didikan orang tuanya. Sampai akhirnya, didikan itu juga yang tanpa sadar, telah diterapkan Mama ke anak-anaknya. "
"Jadi ketika punya anak yang susah diatur kaya aku. Mama ngga bisa, ngga ngomel sepanjang hari, Mas."
Kimi menatap Arkan dengan senyum yang mungkin sama getirnya.
"Dan kamu tahu, Mas? Papa dan Mama tetap menginginkan yang terbaik untukku."
Malam ini, Arkan bisa melihat sisi Kimi yang lain. Yang dulu, mungkin tidak pernah wanita itu tampakkan.
Entah Arkan harus merasa seperti apa. Perlukan ia mengiba? Sedang, ia juga sama.
Mereka berdua, sama-sama sedang bergelut dengan penyesalan yang tiada ujungnya.
"Kamu bisa memperbaikinya, Dek!" Ucapnya kemudian, yang mungkin lebih kepada mereka berdua.
"Bagaimana, caranya?" Suara itu terdengar putus asa. Barangkali juga pernah mengupayakan, namun gagal.
"Dengan ... berdamai kepada diri sendiri. Dan, mengusahakan yang terbaik setelahnya! " Siapa tahu, Kimi bisa. Karena, dulu sekali. Arkan juga pernah mengatakan hal serupa pada diri sendiri. Dan, Arkan gagal melakukannya. Ia sama sekali belum bisa berdamai dengan dirinya sendiri, juga pada sekelumit rasa sesal itu.
Namun, Kimi kini menatapnya. Tatapan itu nampaknya tidak lagi redup, melainkan sesuatu yang berupa pengharapan di kedua matanya.
"Mari, kita lakukan bersama, Mas!"