Yansya diceraikan istrinya karena dia miskin. Setelah menjadi agent khusus, akankah hidupnya berubah menjadi lebih baik? atau menjadi semakin buruk?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khusus Game, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Diluar Nalar
Lisa yang selama ini hanya mengamati dari kejauhan, tiba-tiba berjalan mendekat ke arah lapangan latihan.
Ia sudah mengenakan pakaian latihan berwarna gelap yang melekat sempurna di tubuhnya, memperlihatkan setiap lekuk tubuhnya yang indah dari hasil latihan keras selama bertahun-tahun.
Rambutnya diikat kuda tinggi, memperlihatkan wajahnya yang tegas namun tetap memancarkan kecantikan yang memukau.
Tanpa berkata apa pun, Lisa langsung menerjang Yansya dengan gerakan cepat dan terarah, seperti sebuah bayangan yang muncul dari kegelapan. Ia tahu Yansya tidak akan menduga ia akan ikut campur.
"Hei, Nona Lisa! Apa-apaan ini?" seru Yansya kaget sambil melompat mundur. Ia menghindari tendangan cepat Lisa yang nyaris mengenai wajahnya.
Yansya menyeringai tipis, merasa tertantang. "Jangan bilang kau ikut mau sepuluh miliar juga, padahal kau sudah kaya."
Delisa dan Layla saling pandang, menahan tawa, sementara Rio menggelengkan kepala. "Waduh, Lisa sudah turun tangan," bisik Beban kepada Firmino. "Habislah Yansya kali ini."
Lisa mendengus, matanya menyorot tajam. "Fokus, Yansya," balasnya singkat, tanpa mengurangi intensitas serangannya. "Ini bukan tentang uang, ini tentang membuktikan kalau kau memang pantas di tim ini, dan lagi, kau masih saja mengedepankan egomu dibandingkan misi yang kita bahas tadi."
Akan tetapi, Yansya sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda kerepotan. Padahal, kini ia harus menghadapi serangan gabungan dari seluruh Tim Lisa, ditambah lagi dengan kecepatan dan akurasi serangan dari Lisa sendiri yang sangat luar biasa.
Yansya terus meliuk-liuk, memutar tubuhnya, bahkan sesekali melompat ke udara. Ia melakukan itu untuk menghindari pukulan Beban yang berat atau tendangan presisi dari Layla. Senyum tipis tetap terukir di wajahnya.
Ia tampak menikmati setiap detik pertarungan itu. Yansya justru membalas serangan mereka dengan gerakan yang efisien, membuat timnya terkejut.
Melihat Yansya yang masih santai, Lisa menghela napas. Kemudian, ia berteriak, "Percepat gerakan kalian! Tunjukkan padanya kalau ini bukan main-main!"
Suaranya terdengar tegas dan penuh otoritas. Perintah itu langsung membuat seluruh tim bergerak lebih cepat dan terkoordinasi.
Delisa melancarkan serangan kombinasi yang lebih rumit, Rio bergerak seperti kilat, Layla meluncurkan serangkaian tendangan memutar, dan Beban mencoba menekan dengan kekuatan penuh. Mereka semua sadar bahwa ini adalah perintah langsung dari ketua tim. Itu berarti mereka harus membuktikan keseriusan mereka pada Yansya.
Meskipun intensitas serangan meningkat drastis, Yansya tetap terlihat lincah dan gesit. Ia melompat mundur dari jangkauan pukulan Rio, lalu dengan cepat berputar untuk menghindari sapuan kaki Delisa.
Matanya masih fokus membaca setiap pergerakan lawan. Ia mencari celah kecil yang bisa ia manfaatkan untuk membalas, seolah pertarungan itu hanyalah sebuah tarian yang rumit.
Namun, beberapa tetes keringat mulai terlihat membasahi pelipisnya dan mengalir di sepanjang rahangnya, karena panasnya sesi latihan dan energi yang terus-menerus ia keluarkan.
Tiba-tiba, Lisa melancarkan serangkaian gerakan mematikan yang belum pernah Yansya lihat sebelumnya. Ia menggabungkan kecepatan, kekuatan, dan presisi dalam sebuah teknik melumpuhkan yang sangat cepat, mencoba mencari titik lemah Yansya.
Gerakannya begitu halus, hampir tidak terlihat, seolah ia menyatu dengan angin. Namun, Yansya, dengan kemampuan analisis super cepatnya, hanya membutuhkan sekali pandang untuk memahami setiap detail gerakan itu.
Ia dengan sempurna meniru teknik mematikan Lisa tersebut. Lalu, Yansya membalas serangan dengan gerakan yang sama persis, membuat Lisa dan seluruh tim tercengang melihat kemampuannya.
Mereka terus menggempur Yansya tanpa henti. Serangan beruntun datang dari berbagai arah, seperti badai yang tidak memberikan jeda.
Rio melancarkan pukulan beruntun, disusul tendangan melayang dari Layla. Delisa mencoba mengunci gerakan Yansya dari belakang, sementara Beban menerjang dengan tubuh besarnya, berusaha merobohkan.
Firmino terus mengamati dengan saksama, memastikan tidak ada celah yang Yansya bisa gunakan untuk melarikan diri dari tekanan. Akan tetapi, Yansya masih mampu bertahan dengan mengagumkan. Setiap gerakannya adalah kombinasi sempurna antara menghindar, menangkis, dan membalas serangan, seolah ia punya mata di belakang kepala.
Setelah beberapa waktu, terlihat jelas Lisa mulai kelelahan. Napasnya tersengal-sengal. Gerakannya tidak secepat dan sepresisi awal, karena ia mengeluarkan banyak energi untuk mengimbangi Yansya.
Melihat kesempatan itu, Yansya langsung mengambil inisiatif. Dengan gerakan yang tiba-tiba dipercepat dan tak terduga, ia melumpuhkan Rio dengan sapuan kaki yang cepat.
Lalu, ia menjegal Delisa hingga terjatuh, dan mengunci gerakan Layla dalam sekejap mata. Beban yang mencoba mendekat pun langsung ia singkirkan dengan dorongan kuat yang membuatnya terhuyung jauh.
Dalam hitungan detik, semua anggota tim terkapar di lapangan. Hanya menyisakan Yansya dan Lisa saja yang masih berdiri.
Lisa yang kini berhadapan satu lawan satu dengan Yansya, kembali melancarkan serangan bertubi-tubi dengan kecepatan penuh. Ia tahu ini adalah kesempatannya untuk membuktikan siapa yang lebih unggul.
Akan tetapi, saat Lisa mencoba melakukan pukulan telak ke arah dada Yansya, Yansya dengan sigap menggeser tubuhnya sedikit. Lalu, ia membalas dengan sebuah pukulan ringan namun sangat tepat ke arah perut Lisa.
Pukulan itu, meskipun tidak kuat, cukup membuat Lisa terkesiap. Ia langsung berlutut sambil memegangi perutnya, karena ia merasakan sensasi nyeri yang menjalar. Ia menatap Yansya dengan sorot mata yang penuh kekalahan dan sedikit rasa tidak percaya.
Yansya tersenyum tipis, mengulurkan tangannya untuk membantu Lisa berdiri. "Wah, ini seperti nostalgia, ya?" ucapnya santai, nada suaranya penuh godaan.
Begitu Lisa berdiri tegak, Yansya langsung mencondongkan tubuhnya, berbisik pelan tepat di telinga Lisa, "Jadi, Nona Lisa, apa kau akan mengajakku mandi lagi setelah ini?"
Lisa sedikit mendorong bahu Yansya menjauh. Wajahnya merona tipis karena pertanyaan Yansya itu, tetapi matanya menyorot kesal. "Jangan panggil aku 'Nona'," bisiknya balik, suaranya pelan dan menahan diri.
Lalu, dengan suara yang lebih rendah lagi, hampir tidak terdengar, ia menambahkan, "Sejujurnya aku mau, Yansya, tetapi terlalu banyak mata yang melihat kita di sini."
Setelah itu, Yansya melambaikan tangannya dengan seringai lebar ke arah Rio, Delisa, Layla, dan Beban yang masih terkapar di tanah, mengeluh kesakitan.
"Hei, bagaimana? Sudah tahu rasanya, kan?" serunya mengejek, suaranya sengaja dibuat lantang agar mereka semua mendengarnya. "Mana janji sepuluh miliar kalian? Ternyata tidak ada yang bisa mengalahkanku, jadi uangnya tetap milikku seutuhnya, ya!"
Rio mendengus, Delisa cemberut, dan Beban hanya bisa merintih pelan. Mereka semua tahu bahwa ejekan Yansya itu adalah konsekuensi dari kekalahan mereka.
"Dasar duda mata duitan!" teriak Delisa dari posisinya yang masih terkapar, setengah bercanda, setengah kesal karena tidak jadi mendapatkan bagian uang.
Yansya lalu memapah Lisa yang masih memegangi perutnya. Ia tersenyum lembut sambil menuntun Lisa berjalan perlahan menuju pinggir lapangan, menjauhi tatapan teman-teman mereka yang masih terkapar.