Damien Ximen, pengusaha dingin dan kejam, dikelilingi pengawal setia dan kekuasaan besar. Di dunia bisnis, ia dikenal karena tak segan menghancurkan lawan.
Hingga suatu hari, nyawanya diselamatkan oleh seorang gadis—Barbie Lu. Sejak itu, Damien tak berhenti mencarinya. Dan saat menemukannya, ia bersumpah tak akan melepaskannya, meski harus memaksanya tinggal.
Namun sifat Damien yang posesif dan pencemburu perlahan membuat Barbie merasa terpenjara. Ketika cinta berubah jadi ketakutan, akankah hubungan mereka bertahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2
"Mereka akan menemukan kita. Sepertinya aku harus mengorbankan sesuatu," ucap Barbie dengan nada rendah, suaranya hampir seperti bisikan. Matanya yang bening menatap lurus ke arah pria itu, sebelum tiba-tiba ia condong mendekat dan mengecup bibirnya.
Sentuhan bibir Barbie begitu singkat namun penuh kejutan. Pria bertopeng itu membelalak. Tubuhnya seolah membeku sesaat, tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Untuk sesaat, rasa sakit di lukanya bahkan menghilang.
BRUK!
Pintu kayu akhirnya jebol, terpental ke dalam ruangan dengan suara keras. Sejumlah pria bersenjata menerobos masuk, wajah-wajah mereka garang dan siap menyerang.
"Aahh! Kalian siapa?!" teriak Barbie dengan ekspresi panik yang meyakinkan. Ia langsung memeluk pria bertopeng itu erat, menyembunyikan wajahnya yang tertutup topeng ke dalam pelukannya, seolah mereka hanyalah sepasang kekasih yang terganggu.
Orang-orang itu terdiam sejenak, bingung melihat pemandangan yang tidak mereka duga—seorang gadis muda memeluk seorang pria sekarat di tengah rumah kumuh.
"Bukan mereka. Cari di tempat lain!" perintah salah satu dari mereka akhirnya, lalu mereka pun pergi tergesa, meninggalkan ruangan dengan pintu yang sudah rusak.
Hening menyelimuti kembali. Napas Barbie masih terengah, tapi matanya penuh ketenangan. Perlahan, ia melepaskan pelukannya.
"Segera telan obatnya!" desaknya, kali ini dengan nada tegas.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, pria langsung menelannya.
Barbie menghela napas lega. Namun, saat mendekat, ia mengerutkan alisnya dan berkata polos, "Kenapa aroma tubuhmu wangi sekali?"
Pria itu menatapnya, sejenak tak tahu harus menjawab seperti apa. "Pertanyaan seperti apa itu?" balasnya dingin, meski bibirnya seakan menahan senyum.
Barbie tak terganggu oleh sikapnya. Ia malah tersenyum kecil. "Pengciumanku sangat tajam. Bahkan aroma racun dan penawar pun bisa kubedakan. Tapi aroma tubuhmu… sangat khas. Tak pernah aku temui pada siapa pun. Sebenarnya, kamu ini siapa?"
Tatapan pria itu mengeras. "Lebih baik kau tidak tahu," jawabnya pendek, seolah menyimpan sesuatu yang dalam dan tak ingin dibuka.
Beberapa saat kemudian, pria itu duduk bersandar di sudut ruangan. Tapi darahnya sudah tidak mengucur secepat tadi. Ia menahan rasa sakit, namun matanya masih awas.
"Racunmu tidak akan menyebar, dan darahmu juga tidak akan habis. Sepertinya mereka sudah pergi," kata Barbie, sambil berjongkok di sampingnya. Ia mencoba memapah pria itu dengan kedua tangannya yang kecil namun penuh niat. "Aku akan mengantarmu ke rumah sakit."
"Tidak perlu. Anggotaku sudah dalam perjalanan," tolak pria itu tegas, namun suaranya sudah melemah.
Barbie menghela napas keras. "Apa kau yakin ingin menunggu? Walaupun kau sudah minum obat penawar, lukamu harus segera ditangani. Kalau tidak, nyawamu bisa melayang," ujarnya serius, menatap matanya lurus-lurus.
Pria itu terdiam beberapa saat. Pandangannya mulai melunak, kemudian dengan suara pelan namun tulus ia berkata, "Terima kasih."
Barbie tersenyum tipis. "Siapa namamu?" tanyanya, suara gadis itu nyaris seperti bisikan dalam sunyi malam.
Pria itu tidak menjawab. Ia hanya menatapnya lekat-lekat, sorot matanya tajam namun sulit diartikan.
Barbie mengangguk pelan, maklum. "Baiklah. Kalau kau tidak ingin aku tahu, juga tidak masalah." Ia berdiri, merapikan rambut dan bajunya yang kusut. "Aku harus pergi sebelum mamaku membunuhku."
Saat ia melangkah menuju pintu yang rusak, suara berat pria itu akhirnya terdengar.
"Namamu?"
Langkah Barbie terhenti. Ia menoleh sedikit dan tersenyum lembut tanpa menatap langsung. "Kalau kita bertemu lagi, aku akan memberitahumu. Semoga kau panjang umur. Malam ini… aku sudah rugi banyak. Aku mengorbankan ciuman pertamaku untuk pria yang bahkan aku tak tahu seperti apa rupanya. Aku berharap kau bukan pria tua yang seimbang dengan usia mamaku!"
Dengan langkah cepat dan ringan, ia pun meninggalkan ruangan itu, membiarkan keheningan kembali menguasai tempat tersebut.
Di dalam, pria itu masih duduk bersandar. Perlahan, ia meraih bagian bawah topengnya, dan dengan satu gerakan, ia melepaskannya.
Wajah tampannya pun terlihat jelas di bawah cahaya bulan. Matanya tajam dan penuh tekad, rahangnya tegas, dan luka di pipinya memperkuat auranya yang berbahaya namun memikat.
Ia memandang ke arah pintu yang baru saja dilalui Barbie, lalu berbisik lirih,
"Aku adalah Damien Ximen… dan aku akan mencarimu setelah semua ini selesai," ucap pria itu pelan. Suaranya berat namun tegas, mengendap dalam gelap malam seperti sumpah yang takkan dicabut.
Beberapa jam kemudian.
Di ruang perawatan VIP sebuah rumah sakit elit, Damien Ximen terbaring di ranjang dengan infus terpasang di lengannya. Meski tubuhnya belum sepenuhnya pulih, sorot matanya tetap tajam, mencerminkan sosok yang terbiasa memimpin dan ditakuti.
Di hadapannya berdiri dua pria berpakaian formal serba hitam, Calvin Wu dan Steven Soh—dua pengawal pribadinya yang paling loyal dan paling mematikan.
"Tuan Ximen, maaf atas kejadian ini. Kami datang terlambat, sehingga menyebabkan Anda terluka," ucap mereka sambil menunduk dalam-dalam, penuh penyesalan dan rasa bersalah.
Damien memandang mereka datar, lalu mengangkat syal merah muda yang kini berlumur darah—syal milik Barbie.
"Pihak musuh meracuni minumanku, membuatku tidak berdaya. Mereka menyerang saat aku dalam kondisi lemah. Tapi untung saja, gadis itu... dia menolongku," katanya lirih, namun setiap katanya penuh tekanan.
Ia mengepalkan syal itu dengan satu tangan, seperti menggenggam sesuatu yang jauh lebih berharga dari sekadar kain.
"Cari pemilik syal ini… sampai dapat. Dia menyelamatkan aku, dan aku akan memberi apa saja untuknya… termasuk nyawaku."
Kata-kata itu membuat Calvin dan Steven saling melirik diam-diam.
"Memberi nyawa…? Apakah aku salah dengar?" batin Steven, nyaris tak percaya mendengar pernyataan yang begitu dalam keluar dari mulut pria sekeras Damien Ximen.
"Tuan, setelah menemukannya… berapa nominal yang akan kita bayar padanya?" tanya Calvin dengan hati-hati, masih tak mengerti seberapa besar pengaruh gadis itu terhadap atasannya.
Namun Damien menatapnya tajam. Tatapan yang membuat darah para musuh beku di tempat.
"Dia tidak bisa dinilai dengan uang," jawabnya tegas.
Kalimat itu seakan menyambar udara, membekukan ruangan sesaat.
"Apakah itu berarti gadis itu… lebih berharga dari nyawanya sendiri?" gumam Calvin dalam hati, merasakan sesuatu yang belum pernah ia lihat dari atasannya sebelumnya—ketulusan.
Damien menyandarkan punggungnya ke bantal, matanya menyipit seolah membayangkan wajah gadis misterius yang telah mencuri perhatiannya dalam satu malam penuh darah dan pelarian.
"Setelah aku sembuh, aku akan membalas semua perbuatan musuh terhadapku. Siapkan semua anak buah kita. Selidiki tempat persembunyian mereka. Aku ingin semuanya… dilenyapkan," perintahnya, suaranya dingin seperti es, namun penuh bara dendam.
"Baik, Tuan!" jawab Calvin dan Steven serentak.
Damien Ximen… pria dari keluarga penguasa yang kekayaannya sulit ditandingi, dan kekuasaannya ditakuti para taipan dunia bisnis. Ia terbiasa mendapatkan apa yang diinginkannya. Membunuh tanpa ragu, melukai tanpa ampun. Dan kini… ia menginginkan satu hal:
Gadis bernama Barbie.
damien pokoknya hrs jagain barbie trs yaaa ..titip barbie sampai bab nya end heheheh
bqrbie emg ank nya david ya...tp ko knp gk mau ngurus yaaa....pasti gara2 emak nya si eliza niihhhh....