Leona tiba-tiba diculik dan dibunuh oleh orang yang tidak ia kenal. Namun ketika berada di pintu kematian, seorang anak kecil datang dan mengatakan bahwa ia dapat membantu Leona kembali. Akan tetapi ada syarat yang harus Leona lakukan, yaitu menyelamatkan ibu dari sang anak tersebut.
Leona kembali hidup, namun ia harus bersembunyi dari orang-orang yang membunuhnya. Ia menyamarkan diri menjadi seorang pria dan harus berhubungan dengan pria bernama Louis Anderson, pria berbahaya yang terobsesi dengan kemampuan Leona.
Akan tetapi siapa sangka, takdir membawa Leona ke sebuah kenyataan tidak pernah ia sangka. Dimana Leona merupakan puteri asli dari keluarga kaya raya, namun posisinya diambil alih oleh yang palsu. Terlebih Leona menemukan fakta bahwa yang membunuhnya ada hubungan dengan si puteri palsu tersebut.
Bagaimana cara Leona dapat masuk ke dalam keluarganya dan mengambil kembali posisinya sebagai putri asli? Bagaimana jika Louis justru ada hubungannya dengan pembunuhan Leona?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yhunie Arthi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 22. KAKAK ADIK
Leona menghabiskan waktunya hari ini dengan mengobrol bersama Rowan yang setia menemani Leona khususnya ketika tidak ada orang yang bisa menjaganya sejak siang tadi. Mengingat anggota keluarganya harus mengurus banyak hal tentang kasus Luna ini, serta pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan. Mereka meminta maaf karena tidak bisa menemani Leona dan berjanji akan segera datang setelah mereka selesai dengan urusan masing-masing.
Pintu terbuka, membuat Leona yang tertawa mendengar cerita dari Rowan langsung melihat ke arah pintu.
"Ray?" ucap Leona ketika ia melihat kalau kakaknya datang mengunjunginya. "Kau tidak kuliah?" tanyanya.
"Kelasku sudah selesai hari ini," jawab Raymond yang duduk di kursi samping ranjang gadis itu.
"Bohong, kau bolos, kan?" kata Leona, menyipitkan matanya menatap sang kakak yang jelas kalau sedang berbohong.
"Cih. Aku heran bagaimana kau selalu tahu kalau aku berbohong," protes Raymond.
"Karena kau mudah dibaca," kata Leona tersenyum lebar.
"Kau seperti cenayang saja," gumamnya. Lalu menyerahkan paper bag kepada Leona.
"Apa ini? Makanan?" Leona mengambil dan melihat isinya, terkejut ketika itu merupakan smartphone mahal. "U-untukku?" tanyanya gelagapan.
"Buat siapa lagi memangnya? Aku lihat ponselmu jatuh di rumah dan itu rusak," kata Raymond.
"Tapi bukannya ini mahal sekali," kata Leona yang merasa sungkan menerima barang yang ia tahu harganya entah harus berapa lama ia melakukan pekerjaan paruh waktu untuk bisa membeli ini.
"Jangan pernah berkata kalau barang yang kau terima mahal mulai sekarang. Aku dan Herry tahu kalau kau bukan orang yang suka dengan barang mahal, mengingat kau sejak dulu harus berusaha dulu untuk mendapatkan uang. Tapi sebagai keluarga Agustine kau harus sesekali membeli barang yang kau suka walau itu mahal sekali pun untuk menyenangkan dirimu. Kau pantas merima yang terbaik, membeli seratus ponsel itu sekali pun tidak akan membuat Agustine bangkrut," kata Raymond.
"Terima kasih, akan kupakai dengan baik," ucap Leona malu-malu, tidak terbiasa memiliki seorang kakak yang baik seperti ini.
"Tadi sepertinya kudengar kau mengobrol dengan seseorang." Raymond melihat sekeliling ruangan tapi tidak melihat siapa pun.
Leona terdiam, menatap Rowan yang tekekeh duduk di samping Leona sejak tadi.
"Kau bicara dengan siapa? Kau tidak gila karena kepalamu terbentur, kan," canda Raymond.
Leona memelototi Raymond.
"Percayalah kalau tatapan itu tidak menakutkan sama sekali," ucap Raymond tersenyum jahil.
"Boleh aku bertanya sesuatu?" Leona menatap Raymond, berhati-hati apakah pertanyaannya setelah ini akan berefek buruk atau tidak.
"Tentu."
"Apa kau kenal dengan ... Rowan Barness?" tanya Leona.
Mata Raymond melebar ketika ia mendengar nama tersebut dari Leona. "Bagaimana kau tahu nama itu?" tanyanya.
Ada keraguan dalam diri Leona untuk mengatakan atau tidak tentang Rowan, karena jika ia menjawab maka Leona mau tidak mau akan mengungkapkan kemampuan dirinya dalam melihat yang tak kasat mata.
"Dia sudah meninggal, kan?" konfirmasi Leona, walau sebenarnya tidak perlu dijawab juga ia sudah tahu dengan pasti sejak lama. Ia hanya ingin membuka pembicaraan tentang Rowan.
"Ya, dia sudah meninggal satu tahun lalu. Tenggelam di kolam renang karena terjatuh. Dia anak yang ceria dan suka sekali bermain di rumah karena tempat tinggal kita berdekatan. Jujur aku juga masih belum bisa terima dengan hal itu, terlebih aku selalu bermain dengannya sejak dia kecil," kata Raymond, tertunduk sedih mengingat si kecil Rowan yang nyatanya memang begitu dekat dengan Raymond.
"Dia tidak jatuh," kata Leona dengan nada pelan.
Raymond mengangkat kepala dan melihat Leona. "Apa maksudmu?" tanyanya.
"Kau ingat Noah yang bilang kalau aku sempat dinyatakan meninggal ketika Noah menemukanku malam itu?" Leona menatap Raymond.
"Ya, menurutnya keajaiban kau dapat hidup lagi padahal dokter mengatakan kau sudah meninggal," ucap Raymond.
"Rowan yang membawaku kembali," kata Leona akhirnya. "Dan sejak itu dia selalu bersamaku, bahkan sekarang," sambungnya.
Raymond terdiam, mencoba mencerna ucapan adik perempuannya ini. Ia berusaha mencari kebohongan atau kejahilan yang sering gadis itu lakukan jika mereka sedang mengobrol.
"Bagaimana keadaan Rowan?" tanya Raymond seraya tersenyum.
Leona terkejut ketika mendapati respon dari Raymond, tidak ada bantahan bahkan protes atas apa yang Leona katakan tentang Rowan. "Kau percaya?" tanyanya.
"Sejak kematian Rowan, tidak ada satu pun dari kami yang berani menyebut nama itu. Karena kepergiaan Rowan yang tiba-tiba benar-benar menjadi luka untuk kami semua. Rasanya tidak mungkin jika kau asal mendengar nama itu setelah satu tahun tidak terdengar lagi. Dan aku tahu kalau kau tidak berbohong," jawab Raymond.
"Kau orang pertama yang bahkan tidak memertanyakan atau ragu dengan ucapanku mengenai hal ini. Rasanya jadi aneh setelah berbagai respon yang kuterima hingga kebencian jika aku mengatakan kalau aku dapat melihat mereka yang telah tiada." Kini Leona-lah yang menundukkan kepala karena tidak menyangka dengan respon dari kakaknya ini.
"Sudah kukatakan kalau Ray itu baik dan akan percaya kalau kau bertanya," ucap Rowan tersenyum di sampingnya. "Dia bahkan percaya ketika dulu aku bilang kalau aku melihat monster di kolong tempat tidurku," sambungnya.
Leona tersenyum mendengar ucapan dari Rowan, terlihat jelas kalau hubungannya dengan Raymond cukup dekat.
"Boleh aku bicara dengan Ray?" pinta Rowan.
Leona mengangguk kemudian menoleh ke arah Raymond. "Rowan katakanya ingin bicara denganmu."
Raymond terkejut mendengar hal tersebut, tapi ia hanya mengangguk seolah tak percaya kalau sepupu kecilnya yang telah tiada bisa kembali bicara dengannya lagi.
Leona terdiam sesaat, mencoba merasakan dirinya bergeser dan membiarkan Rowan mengambil alih sesaat tubuh sang gadis.
Raymond gugup, ia melihat Leona tanpa melepaskan pandangannya. Netra cokelat pria itu melebar ketika melihat perubahan ekspresi pada diri Leona terutama bagaimana gadis itu memanggil Raymond dengan pangggilan yang hanya Rowan yang tahu.
"Almond?" panggil Rowan yang telah mengambil alih diri Leona.
"R-Rowan?" Mata pria itu berkaca-kaca ketika ia tahu kalau yang bicara dengannya saat ini adalah Rowan, sepupu kesayangan Raymond.
"Bagaimana kabarmu? Akhirnya aku bisa bicara denganmu lagi, Almond." Senyum khas bocah itu tergambar sudah di paras Leona.
"Kau masih saja memanggilku seperti itu," ucap Raymond tertawa kecil.
"Kau cokelat seperti Almond. Namamu juga mirip Almond," kata Rowan tertawa kecil.
Raymond tertawa mendengarnya, hal itu adalah yang sering sekali diucapkan oleh sepupu kecilnya itu setiap kali Raymond protes dengan panggilan Rowan yang menyamakan Raymond dengan kacang tersebut.
Namun tawa Raymond terhenti, ia tertunduk menutupi matanya. Pria itu tidak lagi bisa menahan emosi yang memuncak. Air mata mengalir dari sudut-sudut netra Raymond. Betapa ia kehilangan Rowan yang sudah seperti adik kandungnya sendiri. Betapa Raymond merindukan sosok kecil yang selalu berlarian di rumah penuh semangat dan tawa lugunya. Mendapati dulu Raymond tidak lagi dapat melihat Rowan, benar-benar membuat pria itu terpukul.
"Ray, jangan menangis. Aku memang sempat sedih karena tidak bisa bicara dengan kalian. Selama ini aku selalu ada bersama kalian. Tapi kalian tidak bisa mendengarku. Tiba-tiba aku bertemu dengan Leona, dia bisa mendengarku dan selalu menjadi teman mengobrolku. Dan sekarang dia bahkan bisa membuatmu dapat mendengarku. Aku senang sekarang," kata Rowan seraya mengelus kepala Raymond. Karena tidak hanya pria itu saja yang merindukan kebersamaan mereka, tapi Rowan juga.
Raymond mengangkat kepala melihat Rowan dalam wujud Leona. "Bagaimana kau bisa terjatuh ke kolam?" tanyanya.
"Aku tidak terjatuh, aku didorong," jawab Rowan. "Ah, nanti kita bicara lagi. Leona sudah sampai pada batasnya," sambungnya.
"Tunggu! Siapa yang mendorongmu?!" Raymond buru-buru bertanya.
"Luna," jawab Rowan sebelum akhirnya keluar dari tubuh Leona.
"Hah!" Leona tersadar dengan napas tersengal. Ia mencoba menstabilkan dirinya. Dalam hitungan detik, Leona menangis kencang.
"Hei? Leona? Kenapa menangis?" Raymond panik ketika mendapati adiknya tiba-tiba menangis kencang.
"Rowan. Dia membunuhnya," isak Leona yang masih terperangkap dalam ingatan Rowan yang ia dapatkan. Bagaimana bocah kecil itu yang sedang bermain di dorong ke dalam kolam, dan meninggal tenggelam di sana ketika tidak ada yang mendengar ucapan minta tolong bocah itu.
Raymond menarik Leona ke dalam pelukannya. Berusaha menenangkan gadis itu sebisa Raymond. Jujur saja ia masih bingung dengan semua ini. Tertutama Leona yang tiba-tiba menangis tidak karuan seolah habis menghadapi hal yang menyedihkan. Raymond menahan dirinya untuk bertanya, membiarkan adik perempuannya ini menangis sepuasnya.
Meskipun setelah ini apa yang Raymond lihat dan hadapi tentang kemampuan Leona, membuat satu keluarga terguncang. Mau tidak mau memanggil ibu dari Rowan untuk datang dan membicarakan masalah ini. Ia hanya berharap kalau ibu Rowan yang tidak lain adalah bibi Raymond dan Leona, tidak sampai marah dan menuduh Leona berbohong.