NovelToon NovelToon
Dewa Petir Kehancuran 2

Dewa Petir Kehancuran 2

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Reinkarnasi
Popularitas:11.5k
Nilai: 5
Nama Author: Anonim

Seson 2 Dewa Petir Kehancuran......

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anonim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bertemu Mo Han

Pria tua itu menatap surat di tangannya untuk beberapa saat lebih lama, seolah memastikan sesuatu yang tak tertulis di atas kertas. Lalu, perlahan ia menggulung kembali surat itu dengan rapi dan meletakkannya di atas meja, jari-jarinya yang kurus namun kuat mengetuk pelan permukaannya. Suara ketukan itu nyaris tak terdengar, tapi bagi Lei Nan, itu seperti lonceng kecil yang menandai dimulainya sesuatu yang lebih dalam—lebih berbahaya.

“Kau tampak muda,” ujar pria tua itu akhirnya, suaranya datar dan tenang, seperti air permukaan danau saat senja. “Tapi matamu... sudah melihat banyak hal yang seharusnya belum kau lihat di usia seperti itu.”

Lei Nan menatap pria itu tanpa gentar. Ia tidak tersenyum, tidak juga bersikap kasar. Ia hanya diam, membiarkan keheningan menjawab lebih baik dari kata-kata. Di sisi lain meja, Yu Lian duduk dengan tenang, pandangannya lurus namun awas. Tangan kirinya berada di atas pahanya, tapi ujung jarinya menyentuh gagang pedang ramping di pinggang—siap mencabut dalam satu gerakan bila keadaan berubah.

Pria tua itu memperhatikan mereka berdua. Tatapannya bergerak dari wajah Lei Nan ke Yu Lian, lalu kembali ke Lei Nan. Seulas senyum samar muncul di bibirnya yang pucat.

“Berani menyebut ‘Tujuh Air Mata’ di kedai ini, dan menyerahkan surat dari tuan Yu Duan dengan kepala tegak... Anak muda, kau tahu betapa tipis batas antara keberanian dan kebodohan?”

Lei Nan menarik napas perlahan. “Aku tahu. Tapi aku tak punya pilihan lain.”

Pria tua itu mengangguk seolah menyetujui, lalu melambaikan tangan ke arah pelayan yang tadi mengantar mereka. Pelayan itu segera mendekat, menunduk dalam, lalu berdiri di sisi pria tua itu seperti bayangan.

“Antarkan mereka ke ruang bawah,” ujar pria tua itu ringan.

Pelayan itu tidak menjawab dengan suara. Ia hanya mengangguk, lalu memberi isyarat pada Lei Nan dan Yu Lian untuk mengikutinya. Lei Nan berdiri perlahan, matanya sempat menyapu seluruh ruangan. Aura membunuh memang sudah hilang, tapi atmosfer tetap terasa tegang, seperti tali yang ditarik terlalu kencang, menunggu momen untuk putus.

Mereka mengikuti pelayan itu melewati sebuah lorong sempit di belakang rak kayu besar yang tampaknya hanya pajangan. Di balik rak itu tersembunyi sebuah pintu kecil, dari kayu tua yang kokoh dan bertatahkan lambang bunga sakura berwarna hitam. Pelayan mengetuknya tiga kali dengan pola tertentu, dan pintu pun terbuka secara otomatis ke dalam, memperlihatkan sebuah tangga menurun yang diterangi lentera qi di sepanjang dinding.

Tangga itu berkelok dan curam, dan hawa dingin mulai terasa menusuk begitu mereka turun lebih dalam. Di dinding, lukisan-lukisan tua terpasang rapi—gambar para kultivator berjubah hitam, wajah mereka disamarkan oleh tudung lebar, namun matanya menyala merah seperti api yang tak pernah padam.

Saat mereka sampai di dasar tangga, suasana berubah drastis.

Lorong di bawah tanah ini lebar, dengan lantai batu yang rata dan dinding tebal dari batu hitam mengilap. Udara di sini lebih berat, padat oleh qi yang disegel dengan formasi kuno. Setiap langkah Lei Nan seperti berjalan di antara dua dunia—dunia hidup dan dunia yang hanya ditinggali oleh bisikan masa lalu.

Di ujung lorong terdapat sebuah pintu besi yang besar. Pelayan itu berhenti di depannya, menempelkan telapak tangan ke permukaan pintu, dan mengalirkan sedikit qi. Segel yang tadinya samar kini menyala, membentuk pola bunga tujuh kelopak yang bersinar redup. Dengan suara berat, pintu itu terbuka perlahan.

Di baliknya terbentang sebuah aula bawah tanah. Tidak terlalu luas, tapi cukup untuk menampung dua puluh orang dewasa dengan leluasa. Di tengah aula, terdapat satu meja kayu bundar besar, dan duduk di belakang meja itu adalah seorang pria berpakaian biru tua dengan jubah bersulam untaian emas yang membentuk simbol bulan sabit.

Matanya tajam seperti elang, rambutnya diikat tinggi dengan tusuk konde hitam pekat, dan dari caranya duduk, terlihat jelas ia adalah seseorang yang terbiasa memerintah.

Lei Nan langsung tahu—ini pasti Pemimpin Mo.

Pemuda itu segera memberi hormat dengan membungkuk perlahan. “Salam hormat, Pemimpin Mo. Saya datang membawa surat dari Yu Duan, seperti yang diperintahkan.”

Pemimpin Mo tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Lei Nan dengan tajam selama beberapa detik, seolah menimbang-nimbang bobot ucapan dan keberadaan pemuda itu. Lalu ia menggerakkan tangan, dan pelayan yang mengikuti mereka menyerahkan surat yang tadi dibawa dari atas.

Setelah membaca surat itu, Pemimpin Mo akhirnya bersuara.

“Aku tak menyangka jika pria tua itu akan menerima seorang murid.” Ia menutup surat itu perlahan, lalu menatap Lei Nan lagi. “Bocah apa kau sebenarnya tahu kenapa gurumu mengirimu ke sini?"

"Tuan bukanya ini berhubungan dengan latihanku,"tanya Lei Nan penasaran.

"Hahahaha, bocah bodoh, kau ikuti aku, dan wanita itu tunggu di sini,"ucap Mo Han berdiri dan menuju ke sebuah pintu.

"Lin,er kau tunggu di sini dulu,"ucap Lei Nan dan di jawab anggukan oleh Yu Lian.

Lorong yang mereka masuki tak lebih lebar dari satu tubuh orang dewasa, namun panjangnya seolah tak berujung. Dinding-dindingnya terbuat dari batu kasar yang lembab, berlumut di beberapa bagian, dan dipenuhi aroma tanah tua yang lembap—seperti bau dari sesuatu yang terkubur terlalu lama.

Mo Han berjalan di depan tanpa sepatah kata pun. Langkahnya tenang namun mantap, seolah telah melewati lorong itu ribuan kali. Sebuah lentera qi melayang di atas pundaknya, memancarkan cahaya kebiruan yang suram. Cahaya itu tidak cukup terang untuk mengusir bayang-bayang sepenuhnya, hanya membuatnya menari dengan lebih leluasa di sepanjang dinding.

Lei Nan mengikutinya dalam diam, sesekali matanya menoleh ke sisi lorong yang bercabang, seolah tempat ini menyimpan lebih dari sekadar batu dan debu. Ada energi aneh yang berdenyut perlahan, nyaris tak terasa, tapi cukup untuk membuat bulu kuduk berdiri. Bukan aura membunuh, bukan pula tekanan dari kultivasi tingkat tinggi—melainkan sesuatu yang lebih purba. Lebih tua dari ingatan manusia.

“Tempat ini…” gumam Lei Nan, lebih kepada dirinya sendiri.

Mo Han tidak menoleh. Suaranya terdengar datar dari depan, namun mengandung gema ringan karena lorong yang sempit. “Tempat ini dibangun sebelum empat ras lainya belum ada di sini. Hanya sedikit yang tahu bahwa di bawah kedai minum reot itu, tersembunyi bagian dari sejarah yang nyaris dilupakan."

"Apa?"tanya Lei Nan.

Namun Moh Han hanya diam, Lei Nan yang melihatnya juga ikut diam, tapi langkahnya tidak goyah.

Setelah berjalan hampir lima ratus langkah, mereka tiba di ujung lorong. Di sana berdiri sebuah pintu kayu besar yang tampak biasa saja—kayu tua, kusam, penuh goresan waktu. Tidak ada lambang, tidak ada segel qi yang rumit. Namun justru karena itulah Lei Nan tahu: ini bukan sembarang pintu.

Mo Han mengangkat tangannya, lalu menempelkan dua jari pada pintu itu. Ia menyalurkan sedikit qi, dan tanpa suara, pintu itu bergetar perlahan sebelum membuka ke dalam, memperlihatkan sebuah ruangan yang tak seberapa besar, namun penuh dengan rak-rak kayu tinggi yang menjulang ke langit-langit. Lentera qi tergantung dari langit-langit, menyinari tempat itu dengan cahaya kekuningan yang hangat namun suram.

Ini adalah sebuah perpustakaan. Tapi bukan perpustakaan biasa.

Udara di dalamnya begitu sunyi hingga napas sendiri terdengar seperti gangguan. Rak-rak kayu tua dipenuhi gulungan bambu, kitab-kitab kulit, dan buku-buku dengan sampul yang tak berjudul. Beberapa tampak hampir hancur dimakan waktu, sementara yang lain bersinar lembut seolah dijaga oleh kekuatan tak kasat mata.

Mo Han melangkah masuk, dan Lei Nan mengikutinya dengan hati-hati. Setiap langkah terasa seperti menyentuh lantai kuil, begitu sakral. Di tengah ruangan, terdapat sebuah meja batu datar. Di atasnya, terbuka sebuah buku besar yang tampaknya ditinggalkan belum lama, tinta di halamannya masih segar.

Mo Han berhenti di depan salah satu rak, jari-jarinya menyusuri punggung buku seperti seseorang yang tengah mencari kenangan. Setelah beberapa saat, ia menarik satu buku dari rak—sampulnya kelabu, agak tebal, dan tampak jauh lebih terawat daripada yang lain. Di bagian depan sampul, tertulis dengan tinta emas yang sedikit memudar:

“Sejarah Awal Daratan Langit”

Tanpa berkata-kata, Mo Han menyerahkan buku itu kepada Lei Nan.

Lei Nan menerimanya dengan kedua tangan, lalu menatap pria itu dengan pandangan bertanya. “Ini… maksudnya?”

Mo Han hanya menatapnya sekilas. Tatapannya tidak dingin, tapi juga tidak mengundang tanya. Ia hanya mengangguk singkat dan berkata, “Baca. Kau perlu tahu dari mana semuanya bermula, sebelum kau mengerti kenapa kau dibawa ke sini.”

Lalu ia berjalan mundur, meninggalkan Lei Nan sendiri di tengah perpustakaan, tanpa menutup pintu, seolah tempat itu kini menjadi ruang ujian pribadi baginya.

Lei Nan menarik napas dalam-dalam. Ia duduk perlahan di depan meja batu dan membuka buku itu ke halaman pertama. Tulisan-tulisan di dalamnya sangat kuno, tapi terbaca jelas. Gaya penulisannya tidak seperti kitab-kitab pelatihan, melainkan seperti catatan harian yang disusun oleh seseorang yang melihat segalanya dari balik tirai waktu.

1
Nanik S
Gas Pooool
Nanik S
Dimensi Roh Langit... apakah Tetua Du dari alam Dewa
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Waooow
Nanik S
apakah gulungan Ilmu atau tentang asal usul Dunia dan Ras yang ada didalamnya
Nanik S
Kenapa Yu Lian ditinggal sendirian
@arven_marvendo: ya kan rahasia negara
total 1 replies
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Tetap semangat
Nanik S
Makasih sdh Up lagi Tor
Nanik S
Pemimpin Mo... 💪💪💪
Kemon Unyu
semangat terus kak
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Makjlebz
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Kesempatan..
Nanik S
Ceritanya bagus Tor
Nanik S
Semoga mereka berjodoh... 🙏🙏
Nanik S
Lanjutkan 🙏
Nanik S
Pendekatan Yu Lian... 😂😂😂
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Semangat 🍎
Nanik S
Lanjut danbJaga kesehatan Tor 🙏
Nanik S
Jodohkan saja Yu Lian dengan Lei Nan
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Yuhuuuuu
Irnu Vaain Katik Marajo
Alur ceritanya enak , peminat nya cukup banyak , coba teratur terbitnya . misal sekali sehari atau sekali 2 hari atau sekali 3 hari untuk setiap episode sehingga di nantioan oleh pembaca. maaf ya thor...
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!