Terbangun dari koma akibat kecelakaan yang menimpanya, Lengkara dibuat terkejut dengan statusnya sebagai istri Yudha. Jangan ditanya bagaimana perasaannya, jelas saja bahagia.
Namun, Lengkara merasa asing dengan suaminya yang benar-benar berbeda. Tidak ada kehangatan dalam diri pria itu, yang ada hanya sosok pria kaku yang memandangnya saja tidak selekat itu.
Susah payah dia merayu, menggoda dan mencoba mengembalikan sosok Yudha yang dia rindukan. Tanpa dia ketahui bahwa tersimpan rahasia besar di balik pernikahan mereka.
******
"Dia berubah ... amnesia atau memang tidak suka wanita?" - Lengkara Alexandria
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 22 - Maafkan Aku.
Setelah dijemput paksa, Lengkara hanya bisa menghabiskan waktu di rumah. Kepalanya yang memang sakit berada di sini, semakin sakit lantaran Bima justru tidak kembali ke kantor. Entah apa yang dia kerjakan, fokus sekali di ruang televisi bahkan tidak peduli dengan Lengkara yang berlalu lalang di sekitarnya.
Cukup banyak yang Lengkara lakukan siang ini, salah satunya melakukan siaran langsung seperti rutinitasnya dahulu. Sebuah pekerjaan yang menyenangkan, dia mendapat bayaran dari hobi yang dia geluti. Hingga bosan, dan Bima sama sekali tidak sibuk sendiri seperti Yudha yang turut menyapa penggemar Lengkara.
Bahkan, pria itu seolah khawatir tertangkap kamera Lengkara. Setakut itu, padahal sama sekali Lengkara tidak memiliki rencana untuk memperlihatkan Bima pada penggemarnya sekalipun kolom komentar sudah dipenuhi dengan pertanyaan yang sama.
"Nyai Kara ... Babang Yudha dimana?"
"Spill suami kita cepat!!"
"Nyai gimana kabarnya? Titip salam buat mas Yudha."
"Miss you masyud, aku baca berita kecelakaannya dulu serem banget."
"Nyai Kara udah nikah, 'kan ya? Tidak sabar mau lihat bayinya, pasti cakep banget."
"Nyai ditungguin debut seperti kak Meera, mau lihat nyai di layar lebar!!"
Begitu banyak pertanyaan yang membuat mata Lengkara berkaca-kaca. Bukan hanya dia yang mencari Yudha, tapi juga penggemarnya. Lengkara tidak menjawab pertanyaan itu dengan sungguh-sungguh, hanya jawaban andalan yang dia berikan.
"Doakan saja," tutur Lengkara lembut, senyum yang sejak kemarin-kemarin hilang seolah kembali, mereka memang penghapus luka laranya.
Selang beberapa lama, Lengkara kembali ke kamar mendahului Bima yang masih fokus dengan pekerjaannya. Namun, belum juga berhasil menutup pintu kamar, Bima turur masuk dan melewatinya begitu saja hingga kening wanita itu berkerut seketika.
"Dia kenapa sih?" gumam Lengkara sebal sendiri, padahal dia juga yang membuntuti Lengkara kala wanita itu keluar kamar lantaran khawatir mengganggu.
Terserah, Lengkara tidak bisa memahami maunya apa. Wanita itu menghempaskan tubuhnya di tepian tempat tidur, matanya terasa perih karena semalam tidur hanya beberapa jam saja. Namun, hendak tidur saat ini juga bukan hal baik, terpaksa Lengkara menahan kantuk yang menyerangnya sekalipun mata itu sudah memerah.
"Gunakan waktumu untuk hal-hal yang bermanfaat, jangan mengurangi jam tidur, Lengkara."
Lihat siapa yang bicara, Lengkara hanya mencebik mendengar penuturan Bima. Jika yang bicara adalah orang lain mungkin Lengkara akan menurut, tapi mengingat jam tidur Bima bahkan lebih berantakan darinya, Lengkara hanya mengerjap pelan.
"Benarkan posisimu, aku tidak tanggung jawab kalau ketiduran," ungkap Bima melewati Lengkara yang berbaring dengan kaki yang masih berpijak di lantai, hanya setengah dari tubuhnya berada di atas tempat tidur.
"Hm, aku tidak akan tidur, cuma rebahan."
Begitulah ucapan yang pada akhirnya dia ingkari sepuluh menit kemudian. Lengkara terlelap bahkan dipanggil saja tidak lagi mendengar, terpaksa Bima menarik ucapannya dan membenarkan posisi tidur wanita itu.
Perlahan dia mengambil alih ponsel Lengkara, rasa penasaran menggebu dalam diri Bima hingga bermaksud untuk membukanya. Namun, pola yang Lengkara atur agaknya cukup sulit karena beberapa kali Bima mencoba, hasilnya nihil.
Hanya tampilan layar utama saja yang bisa dia lihat, wajah cantik Lengkara bersama Yudha di sisinya dengan pemandangan sebuah keramaian malam hari sejenak membuat Bima menghela napas panjang. Dia terlalu lancang, baru Bima sadari tidak seharusnya dia bertindak sejauh ini.
"Maaf, aku tidak sengaja," ungkap Bima menatap lekat wajah Lengkara yang tengah tertidur lelap, padahal tidak ada yang berhasil Bima dapatkan, tapi rasa bersalahnya luar biasa besar.
Perasaan bersalah itu masih membekas dalam dirinya dan bertahan hingga malam hari. Keduanya makan malam dalam kesunyian, hanya dentingan sendok yang terdengar dan hal itu berhasil membuat Bima takut jika Lengkara sebenarnya sadar akan perbuatannya yang coba-coba mengulik privasi istrinya.
"Lengkara," panggil Bima memecah keheningan, dia tidak tenang kali ini.
"Iya, Mas," sahut Lengkara tetap bersikap sesopan mungkin.
"Maafkan aku," ucap Bima kemudian menghela napas panjang, sementara Lengkara kini terhenyak dan mengira Bima akan meminta maaf terkait Yudha.
"Soal apa?"
"Aku mencoba memeriksa ponselmu tadi siang."
Hah? Jelas saja Lengkara panik, matanya membulat sempurna dan tengah mengutuk diri lantaran tidak berhati-hati. "Tapi tidak bisa karena polanya terlalu sulit, maafkan aku yang lancang mengusik privasimu," sambung Bima seketika membuat lambung yang turut panik kembali bekerja.
"Tidak apa-apa, Mas," jawab Lengkara menghela napas lega, hampir saja dia habis di tangan pria itu.
Jika saja posisinya tidak memulai lebih dahulu, mungkin Lengkara akan marah. Namun, mengingat dirinya sudah bertindak bahkan lebih jauh dari Bima, wanita itu memilih memperkecil masalah.
Dia bahkan meminta maaf karena sempat mencoba mengusik privasi Lengkara. Fakta ini sudah membuktikan bahwa Bima bukan seseorang yang mudah berdusta, lantas kenapa Yudha membuatnya berbohong sebesar itu, pikir Lengkara.
"Tidak ingin meminta maaf karena hal lain, Mas?" Pertanyaan singkat yang berhasil membuat Bima terhenyak, dia menatap Lengkara bingung dan tidak tampak ragu hendak bicara apa.
"Hal lain? Hal apa maksudmu?" tanya Bima serius, selalu saja jantungnya dibuat berdebar tak karuan jika wanita itu sudah bertanya.
"Bercanda, dari tadi kita tegang terus berasa rekan bisnis," ungkap Lengkara sedikit menyindir sebenarnya, tapi Bima justru berkilah dan bersikap seolah benar-benar Yudha.
"Hahahah kamu tahu aku bukan pebisnis, aku hanya asisten kakakmu, Ra." Bima berusaha bersikap tenang, hampir saja dia menjawab yang sesungguhnya, beruntung akal sehat masih menyertai pria itu.
"Sebesar ini usahanya, apa tidak lelah terus berkilah?"
.
.
- To Be Continued -