Blurb :
Seseorang yang pernah hancur cenderung menyebabkan kehancuran pada orang lain.
Aku pernah mendengar kalimat itu, akan tetapi aku lupa pernah mendengarnya dari siapa. Yang jelas, aku tahu bahwa pepatah itu memang benar adanya. Aku yang pernah dihancurkan oleh rasa terhadap seseorang, kini telah menghancurkan rasa yang orang lain berikan terhadapku.
Aku sungguh menyesal karena telah membuat dia terluka. Oleh karena itu, aku menulis semua ini. Dengan harapan suatu saat dia akan membacanya dan mengetahui bahwa aku pun mempunyai perasaan yang sama.
Meskipun mungkin sudah sangat terlambat.
Hai, Lelaki yang Telah Kupatahkan Hatinya, tulisan ini untukmu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sri Ghina Fithri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22. All I Need
"It’s a bit shocking, isn’t it? Having Rian talked so serious like that. I haven’t seen it for years.” Untuk beberapa saat, mata Bang Bian melekat pada meja rias yang ada di seberang kamar, tepat di depannya. Di kalakian matanya bertemu dengan mataku.
Lagi dan lagi aku memamerkan senyumku, akan tetapi kali ini aku bisa merasakan bahwa senyuman yang kupampang di mukaku adalah salah satu dari yang rasanya masam. Mata Bang Bian yang memiliki warna sama denganku, warisan dari Papa kami, mengamatiku dengan saksama. Dia kemudian menjangkau rambutku yang lepas dari ikatan dan menyelipkannya lagi ke belakang telinga.
“Yeah, Abang gak tahu bagaimana mengejutkannya hal yang mengejutkan ini buat orang yang gak tahu apa-apa dari awal.” Aku menjawab dengan kesal.
Bang Bian tertawa. “Gak ada yang tahu, Dek. Si Gelo itu baru kasih tahu Abang tadi, setelah makan malam. Dia ngajak abang ke luar, ke garasi tepatnya, dan dia bilang mungkin ini satu-satunya hari di mana dia bisa ngumpulin kekuatan untuk ngomong di depan semua orang. Maybe there’ll be no tomorrow, itu kalimat yang dia pakai tadi. Dia kelihatan yakin banget sama perasaannya. Dia tanya pendapat Abang, dan sebagai kakak, Abang bilang kalau Abang bakal mendukung semua keputusan dia, apa pun itu. Jujur Abang secara pribadi bangga banget karena dia udah bisa bikin keputusan besar kayak gini. Dan Abang pikir Mimi juga akan jadi pasangan yang baik buat dia.” Bang Bian mengangkat wajahku dengan tangannya. “Don’t you?”
Dari pertanyaan itu tersirat makna yang lain. Bang Bian sedang bertanya apakah aku juga mendukung keputusan Bang Rian. Apakah aku juga sama bangganya atas keputusan yang dibuat untuk hidup kakak laki-laki keduaku itu. Apakah aku setuju Mimi menjadi kakak iparku. Apakah aku bahagia atas kebahagiaan mereka. “I’m really happy for them, Bang. I really do. But the thought of being the outcast is what really pissed me off.”
Bang Bian mencubit pipiku lembut, dia kembali terbahak. “Enggak ada yang tahu rencana Rian sebelumnya, kan Abang udah bilang. Dia memutuskan semua itu setelah makan malam aja. Rencana awalnya cuma silaturahmi biasa antar keluarga aja.”
“Tapi, aku enggak tahu bakal ada acara malam ini.” Aku masih berusaha mendebat.
“Oh, ya?” Bang Bian kini sedikit terkejut. “Mungkin kamu bisa minta ganti rugi soal ini sama Rian.”
I surely will make Bang Rian pay for this. “Tapi kenapa enggak ada yang terkejut saat Bang Rian bilang gitu, sih, Bang?”
Bang Bian tersenyum. “Mungkin karena kita tahu saat seperti ini akan datang suatu hari. Liat Rian semakin serius sama usahanya, sama sikapnya yang semakin hari semakin dewasa. Enggak ada Rian yang baru pulang ke rumah setelah dua hari jalan-jalan sama temannya atau nge-band sampai larut malam lagi. Semua itu bikin kita sedikit lebih siap." Bang Bian mengutip kata siap dengan jarinya.
Bukannya aku tidak melihat perubahan yang terjadi dalam diri Bang Rian, akan tetapi semuanya masih terlalu ... terlalu ....
“Abang tahu, Dek, Papa sebagai cinta pertama buat kamu dan kami adalah cinta kedua setelahnya. Abang tahu kamu agak patah hati saat Abang nikah sama Uni Cya, dan sekarang kamu juga pasti patah hati lagi karena Rian mau menikah sama Mimi. Tapi, seperti yang selalu Abang bilang sama kamu, kalau enggak ada yang berubah selain status kami dan bertambahnya anggota keluarga. Kami tetap Abang kamu, yang akan selalu menjaga adik perempuan kami satu-satunya.” Bang Bian mengelus rambutku. “Kamu tetap adik kesayangan kami.”
Aku menatap mata Bang Bian, tak ada yang bisa kusembunyikan dari mereka. Bang Bian merangkulku dalam pelukannya. “Kayra tahu, Bang, sekarang akucuma kaget aja. Besok-besok aku pasti ngerti kok.”
“Iya, Dek, Abang tau kamu pasti ngerti. Cuma masalah waktu. Ya, kan?”
Yes, all I need is time.
****
....
“Hm, Om, Tante, aku boleh minta waktu sebentar?”
“Silakan, Alex. Ada yang mau kamu bilang?”
“Iya, Om. Saya minta maaf sebelumnya, Om, Tante, but I think I love you, Kayra.”
....
Alex masih saja ada di sini.
****
Beep. Aku terbangun, berusaha mengintip jam dinding di depanku dari balik kelopak mata yang masih terasa direkat. Kabur. Namun, aku bisa menangkap bayangan jarum pendeknya masih menari di sekitar angka tujuh. Ini baru jam tujuh something, siapa yang sudah mengirimiku pesan sepagi ini?
Ini masih terlalu pagi untuk menghadapi kenyataan.
Aku memutuskan untuk kembali bermimpi.
Mimpi? Aku mulai bermimpi. Banyak tumpukan kertas di sekitarku. Juga banyak kertas yang berserakan di lantai. Tiba-tiba aku merasakan sebuah dorongan untuk membersihkan kertas-kertas itu. Aku mulai mengambil satu, dua, tiga kertas yang berserakan. Namun, saat jumlah kertas dalam genggaman sudah lebih banyak, kertas-kertas itu mulai terasa melukai kulitku. Aku memeriksa tanganku yang ternyata sudah mengeluarkan banyak darah. Aku terkejut dan refleks menjatuhkan kertas-kertas itu ke lantai. Aku harus pergi dari sini.
Namun, saat tubuhku bergerak, kertas-kertas itu juga ikut bergerak. Mereka mengejarku. Tuhan, tidak! Panik, aku membalikkan badan dan berlari. Kini semua kertas mengejarku seakan ingin membenamkan aku dalam tumpukan mereka.
Aku berlari lebih cepat dan kertas itu juga bergerak sama cepatnya. Tuhan, tolong Siapa pun, tolong aku! Aku berusaha berteriak, akan tetapi tak ada suara yang keluar. Aku menengok ke belakang untuk melihat kertas-kertas itu, di saat yang sama aku tersandung dan jatuh ke sebuah lubang yang dalam. Hitam. Kelam. Tidaaaaaaak.
Tidak!
Dan aku terduduk di atas tempat tidurku. Untung saja tidak. Dan kini mataku terbuka sepenuhnya. Aku hanya bermimpi. Terima kasih, Tuhan.
And now I think I’m not only need time, but also a ... vacation.
To be continued ....
terimakasih ya kak ❤️❤️❤️❤️