Anara adalah siswi SMA berusia 18 tahun yang memiliki kehidupan biasa seperti pada umumnya. Dia cantik dan memiliki senyum yang manis. Hobinya adalah tersenyum karena ia suka sekali tersenyum. Hingga suatu hari, ia bertemu dengan Fino, laki-laki dingin yang digosipkan sebagai pembawa sial. Dia adalah atlet panah hebat, tetapi suatu hari dia kehilangan kepercayaan dirinya dan mimpinya karena sebuah kejadian. Kehadiran Anara perlahan mengubah hidup Fino, membuatnya menemukan kembali arti keberanian, mimpi, dan cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aulia risti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
Langkah Fino terhenti di depan pintu ruang gawat darurat. Napasnya memburu, keringat dingin terus menetes dari pelipisnya.
“Anara… Anara di mana?” tanyanya terbata, penuh panik pada Bagas yang duduk di kursi tunggu dengan wajah pucat.
“Di dalam. Kondisinya drop. Dokter bilang… itu semakin—” Bagas tak sanggup melanjutkan.
“BICARA YANG JELAS, BAGAS! ANARA KENAPA?!” suara Fino pecah, menggema hingga membuat beberapa orang menoleh.
Bagas akhirnya tak kuasa menahan air mata.
“Dokter bilang… kemungkinan selamatnya sangat kecil.”
Tubuh Fino seketika melemas. Ia jatuh terduduk di lantai, wajahnya pucat, kehilangan seluruh tenaga. Tak lama, suara tangisnya pecah, memenuhi ruang tunggu yang hening.
Pintu ruang operasi tiba-tiba terbuka. Seorang suster keluar dengan wajah serius, padahal lampu indikator operasi masih menyala.
“Keluarga pasien atas nama Anara?”
“Saya, Suster!” sahut Fino cepat, bangkit dengan mata sembab.
“Kondisi pasien berhasil diselamatkan. Tapi kami harus segera merujuknya ke rumah sakit yang lebih besar, dengan fasilitas lebih lengkap.”
“Kemanapun, Suster. Asal dia tetap hidup,” suara Fino bergetar.
“Baik. Kami akan segera mengurus pemindahan ke Amerika. Untuk itu, mohon segera mengurus pembayaran.”
“Amerika?” Fino terperangah. “Apa… harus sejauh itu?”
Suster itu hanya mengangguk.
Amerika… biaya sebesar itu pasti tak main-main. Uang yang baru saja ia dapat dari Alendra jelas tidak akan cukup.
Melihat wajah sahabatnya yang kalut, Bagas menepuk bahu Fino pelan. “Gue bakal coba bantu, Fin. Gue cari pinjaman.”
“Makasih, Gas.” Fino menunduk, suaranya serak.
Dengan langkah, berat. Fino berjalan ke bagian administrasi. Hatinya dipenuhi rasa takut, tapi tetap berusaha tegar. Saat petugas menyerahkan rincian biaya, Fino menatap kertas itu dengan mata membelalak.
“Dua… miliar?” gumamnya nyaris tak terdengar.
“Itu sudah mencakup semua tindakan medis dan perawatan pasien selama di Amerika,” jelas petugas administrasi dengan nada formal.
“Waktu pembayaran paling lambat besok pagi. Jika lewat, kami tidak bertanggung jawab bila terjadi sesuatu.”
“Tidak bisa diberi waktu tambahan?” suara Fino hampir berbisik.
“Maaf, Tuan. Ini demi keselamatan pasien. Jika alat kami sudah tak bisa menunjang kondisinya, risiko ada di luar tanggung jawab kami.”
Fino terdiam. Pikirannya kacau. Uang yang ia miliki sekarang tak ada apa-apanya dibanding jumlah itu. Tabungannya pun tak akan cukup.
Jika harus memilih antara dirinya atau Anara… tentu saja Fino akan memilih Anara. Dan hanya ada satu jalan untuk mendapatkan uang sebanyak itu: Aidar.
Tanpa pikir panjang, Fino langsung berlari meninggalkan rumah sakit.
**
Kini Fino sudah berdiri di depan pintu besar rumah Aidar. Nafasnya masih terengah setelah berlari dari rumah sakit. Ia mengetuk keras—sekali, dua kali—sampai akhirnya pintu dibuka oleh seorang pelayan.
“Papah ada?” tanya Fino dengan suara serak.
Pelayan itu ragu, tapi kemudian mengangguk.
“Ada, Tuan Muda. Silakan masuk.”
Langkah Fino tergesa masuk ke ruang kerja Aidar. Di sana, pria paruh baya dengan jas rapi sedang duduk di kursi besar, ditemani segelas anggur merah.
Aidar mengangkat wajahnya pelan. “Aku sudah dengar kabarnya.”
“Papah…” Fino mendekat, suaranya bergetar.
“Tolong aku, aku butuh uang secepatnya untuk membayar tagihan rumah sakit Anara..”
Aidar meletakkan gelas anggurnya, menatap tajam anaknya. “Berapa?”
“Dua miliar untuk pemindahan ke Amerika. Itu belum termasuk biaya perawatan selama di sana. Aku mohon, pah. Anara butuh bantuan sekarang..”
Aidar menyandarkan tubuh ke kursi, menyilangkan tangan.
“Aku bisa bayarkan semua. Bahkan bukan cuma dua miliar. Aku akan tanggung semua biaya rumah sakitnya. Dari sekarang, sampai dia benar-benar pulih.”
“Tapi,” Aidar menekankan suaranya, “ada syaratnya.”
“Syarat?”
Aidar berdiri perlahan, lalu berjalan mendekati anaknya. Tatapannya dingin, penuh perhitungan.
“Kamu harus bertunangan dengan Alendra.”
Fino tertegun. “Apa?!”
“Itu syaratnya, dan papah akan bayar semua, sampai Anara sembuh total. Tapi kamu harus bertunangan dengan Alendra. Tidak ada tawar-menawar.”
“Pah… aku tidak mencintai Alendra. Kenapa harus dia?”
"Karena aku tahu apa yang terbaik untukmu. Anara hanya akan jadi beban. Tapi Alendra… dia bisa jadi masa depanmu. Dengan keluarga Alendra, masa depan bisnis ini akan aman.”
“Bisnis? Jadi semua ini cuma karena bisnis?” Fino menatap papahnya dengan mata marah dan kecewa.
“Jangan bodoh, Fino! Dunia ini butuh uang, kamu tidak bisa bergantung pada cinta.”
“Papah salah. Yang aku butuhkan cuma Anara.”
“Kalau begitu, pilihannya ada di tanganmu. Kalau kamu mau Anara tetap hidup, tanda tangani perjanjian tunangan dengan Alendra. Malam ini juga.”
“Dan kalau kamu menolak, lalu kalau sesuatu terjadi pada Anara… itu tanggung jawabmu.”
Fino terdiam lama. Tangannya mengepal sampai buku-bukunya memutih. Air matanya sudah tak tertahan lagi, jatuh begitu saja di lantai marmer ruang kerja Aidar.
“Papah…” suaranya serak, nyaris patah. “Kenapa harus kayak gini? Kenapa harus Anara yang jadi taruhannya?”
Aidar tidak menjawab, hanya menatap dingin. Seolah segala rengekan Fino hanyalah suara angin lalu.
“Baiklah...Aku akan setuju. Aku akan… bertunangan dengan Alendra.”