NovelToon NovelToon
Kutukan Arwah Tumbal Desa

Kutukan Arwah Tumbal Desa

Status: tamat
Genre:Kutukan / Misteri / Horor / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan / Tumbal / Dendam Kesumat / Tamat
Popularitas:975
Nilai: 5
Nama Author: Miss_Dew

Keputusan Bian dan Tiara untuk pindah ke Rumah Warisan Kakek di Desa Raga Pati adalah sebuah kesalahan fatal. Rumah itu ternyata berdiri di atas tanah yang terikat oleh sebuah sumpah kuno: Kutukan Arwah Tumbal Desa.
Gangguan demi gangguan yang mengancam jiwa bahkan menjadikannya tumbal darah selanjutnya, membuat mental Bian dan Tiara mulai lelah dan ingin menyerah.

"Jangan pernah mencoba memecahkan apa pun yang sudah ada. Jangan membuka pintu yang sudah terkunci. Jangan mencoba mencari tahu kebenaran yang sudah lama kami kubur. Jika kalian tenang, rumah ini akan tenang. Jika kalian mengusik, maka ia akan mengusik kalian kembali."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss_Dew, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Teror Arwah Wina

Rendra yang pingsan dan trauma dibawa keluar dari rumah warisan Kakek Pranoto oleh Bian dan Tiara, dibantu oleh Ibu Dwi. Mereka memutuskan untuk mengamankan diri di rumah Dwi, sebuah rumah kayu sederhana yang dicat biru muda dan krem, yang oleh warga desa dijuluki "Rumah Warna" karena kontras dengan rumah-rumah lain yang kusam. Bian tahu Ratih akan kembali ke Sumur Tua, tetapi ia membutuhkan waktu untuk memulihkan diri.

Dwi menyembunyikan Rendra di kamar belakang, menenangkannya dengan obat penenang sederhana. Namun, udara di rumah itu tetap terasa berat.

"Ratih tidak akan membiarkan kita tenang," bisik Bian, sambil mengamati Liontin Suci di tangannya. "Dia menggunakan Wina sebagai alat propaganda, Tiara. Dia ingin kita fokus pada terornya, bukan pada ritualnya."

Tiara mengangguk, menyelimuti Bian dengan selimut tipis. "Kita harus bertahan malam ini, Bian. Besok kita ke Situs Kuno."

Malam itu, Desa Raga Pati tidak tidur. Setelah penemuan korban ketiga, Bapak Joni, warga memutuskan untuk mengadakan ronda malam yang lebih ketat. Sekitar lima pria, dipersenjatai dengan senter dan pentungan kayu, berjalan menyusuri jalan setapak utama.

"Sudah tiga tahun sepi. Kini kembali lagi," bisik Pak Sukro, ketua ronda, sambil menelan ludah.

Tiba-tiba, senter di tangan mereka mulai berkedip-kedip liar, seolah ada gangguan elektromagnetik yang kuat.

"Lampu senterku kenapa ini?" tanya salah satu pria, Jono, panik.

"Tenang! Mungkin baterainya habis!" seru Pak Sukro, mencoba bersikap tenang.

Saat mereka melintasi jalan di dekat pohon beringin tua, suara tangisan wanita yang lirih dan mendalam terdengar dari puncak pohon. Tangisan itu begitu menyayat hati, seolah duka seluruh desa tumpah ruah di sana.

Huuhuu... Huuhuu... Huuhuu...

"Itu... itu Arwah Wina," bisik seorang pemuda, Adi, dengan suara gemetar. Wina adalah guru favorit Adi.

Seiring tangisan itu menguat, semua daun di pohon beringin gugur secara bersamaan, seolah ada embusan energi yang menghisap kehidupan dari tanaman tersebut.

Mereka mulai berlari.

Tiba-tiba, di depan mereka, pot bunga besar yang diletakkan di tepi jalan melayang pelan, lalu dibanting keras hingga pecah berkeping-keping.

"Dia mulai mendekati kita!" teriak Jono. "Dia ada di sini! Itu.... Itu.... It-it-ituuu..."

Pak Sukro, yang paling berani, mengangkat senter ke arah serpihan pot bunga. Di sana, sosok tirus putih Wina muncul dalam sepersekian detik, wajahnya pucat, matanya melotot, dan ia tersenyum miris sebelum menghilang. Senyuman itu bukan dendam, melainkan senyuman paksaan.

Warga desa lari tunggang langgang, meninggalkan ronda malam yang gagal. Teror Wina telah menguasai jalanan desa.

Di Rumah Warna, Bian, Tiara, dan Dwi mendengar keributan itu dari jauh. Mereka tahu teror Wina kini beralih kepada mereka.

"Dia mengamuk," kata Bian, memegang Liontin Suci. Liontin itu kini terasa seperti es, yang berarti Wina semakin dekat.

Mereka duduk di ruang tengah, mencoba tetap tenang. Tiba-tiba, lampu di ruang tamu mulai berkedip-kedip ritmis, seolah berkomunikasi dalam kode Morse yang tak terucapkan.

Kedip. Kedip-kedip. Kedip.

"Wina ingin kita melihatnya," bisik Tiara.

Tiba-tiba, dari kamar belakang tempat Rendra diikat, terdengar suara dentuman keras. Bian, Tiara, dan Dwi bergegas ke sana. Rendra masih diikat, tetapi semua perabotan di kamar itu (lemari, meja kecil) kini terbalik dan berantakan. Rendra menangis tanpa suara, tubuhnya bergetar hebat.

"Dia menyiksa Rendra dengan teror psikologis!" seru Dwi.

Saat mereka kembali ke ruang tengah, teror sesungguhnya dimulai.

Mereka mendengar bunyi klunting berulang kali. Mereka menoleh ke dapur. Semua peralatan makan (sendok, garpu, pisau) yang tergantung di rak kini berputar liar di udara, berdentingan seperti lonceng kematian.

"Jangan dekati mereka!" teriak Bian.

Tiba-tiba, pisau dapur besar melayang pelan, mengarah langsung ke kepala Dwi. Bian menarik Dwi mundur, dan pisau itu menancap di dinding, tepat di posisi kepala Dwi tadi.

Tiara menoleh ke jendela ruang tamu. Di balik tirai tipis, bayangan tirus Wina muncul. Wajahnya yang pucat menempel di kaca. Wina tidak membuat suara, tetapi Tiara melihat air mata hitam mengalir dari mata Wina, dan ia menggaruk kaca dengan jari-jari panjangnya, menciptakan suara krekk krekk krekk yang menusuk telinga.

"Wina... dia tidak bisa mengendalikan dirinya!" seru Tiara, berpegangan pada Liontin Suci.

"Dia dipaksa!" Bian membalas. "Ratih memaksanya untuk melepaskan teror-teror!"

Saat Bian memusatkan energi Pawangnya, ia melihat benang energi hitam yang tebal, seperti urat nadi, keluar dari rumah menuju hutan di belakang, tempat Ratih bersembunyi.

Mereka kembali ke ruang tengah. Semua perabotan (kursi, meja) kini bergerak pelan mengelilingi mereka, membentuk lingkaran ritual. Lampu terus berkedip.

"Dia mencoba menjebak kita dalam ritual pengikat!" kata Bian. "Tiara, fokuskan Liontin Suci! Kita harus memotong benang energinya!"

Tiara memejamkan mata, memusatkan ketenangan. Cahaya keemasan Liontin Suci memancar pelan, meredam gerakan perabotan yang mengelilingi mereka. Teror itu mereda, tetapi ketegangan di udara tetap ada.

Kelelahan mengalahkan mereka. Pagi hari masih lama. Mereka duduk bersandar di dinding, mencoba beristirahat, Rendra yang pingsan kembali di kamar sebelah.

Bian memeluk Tiara. "Tidur, Tiara. Aku akan berjaga."

Tiara tertidur pulas, tetapi ketenangan itu segera pecah.

Tiara menemukan dirinya berada di ruang hampa yang dingin. Tidak ada kabut, tidak ada warna. Hanya kegelapan mutlak.

Di depannya, Sosok Hitam Besar itu muncul, sosok yang Bian lihat di mimpinya saat Wina meninggal. Sosok itu jauh lebih besar di dunia mimpi Tiara, memancarkan kekuatan mentah dan kejahatan yang terorganisir. Sosok itu adalah manifestasi dari keinginan Ratih dan energi Tongkat Jaga yang liar.

Sosok hitam itu tidak memiliki wajah, tetapi suaranya, yang menyerupai gemuruh ribuan jiwa yang tersiksa, memenuhi ruang hampa.

"Kau, Sang Pengimbang," suara itu bergaung, membuat Tiara gemetar. "Kau menghancurkan kesempurnaanku. Kau menghambat Pawang Ilmu. Kau harus pergi dari tanah ini. Sekarang juga."

Tiara, meskipun takut, membalas. "Kami tidak akan pergi. Kami akan menghentikan ritualmu!"

"Naif," dengus Sosok Hitam itu. "Kau pikir kalian bisa melarikan diri? Kau dan Bian sudah terikat pada Gerbang. Jika Bian mati, Liontin Sucimu akan menjadi milikku."

Sosok Hitam itu bergerak mendekat. Udara di sekitar Tiara menjadi dingin hingga membakar.

"Aku memberimu pilihan, Pengimbang. Tinggalkan Bian dan kembali ke asalmu. Ambil keluargamu dan lari dari kota ini."

Sosok itu kemudian menunjukkan visi yang mengerikan kepada Tiara. Ia melihat wajah kedua orang tuanya, yang kini berada di kota yang damai, diliputi ketakutan, dan kemudian wajah mereka menjadi tirus dan pucat seperti Wina.

"Jika kau melanjutkan ini, aku akan mengambil nyawa orang-orang yang kau cintai. Aku akan mengambil nyawa keluargamu, dan kemudian aku akan kembali untuk Bian. Kau akan menyaksikan kehancuran mereka, sama seperti Bian menyaksikan kematian tumbal-tumbalku."

Ancaman itu nyata dan pribadi. Sosok Hitam itu menyentuh bahu Tiara, dan Tiara merasakan dinginnya kematian merasuki jiwanya.

"Pilihanmu," gema Sosok Hitam itu. "Pergi. Atau mati."

Tiara tersentak bangun, menjerit pelan.

Matahari sudah terbit. Bian segera terbangun. "Tiara! Ada apa? Kau baik-baik saja?"

Tiara memeluknya, tubuhnya gemetar hebat. Ia tidak menceritakan detail ancaman tentang dirinya, tetapi ia menceritakan tentang ancaman terhadap keluarga mereka.

"Dia tahu tentang keluargaku, Bian. Dia mengancam mereka," kata Tiara, matanya dipenuhi air mata. "Ratih mengirimkan utusan terkuatnya, dan dia mengincar semua yang kita cintai."

Bian mencengkeram Liontin Suci di tangannya. Ia tahu ini adalah tes terakhir Ratih.

"Dia tidak bisa mengambil nyawa mereka jika kita menghancurkan ritualnya," kata Bian, tegas. "Dia hanya mengancam untuk menakut-nakuti kita. Jika kita pergi sekarang, dia menang."

Bian berdiri. Bayangan Wina kini berdiri di ambang jendela, tidak lagi menakutkan, melainkan penuh duka. Wina telah menyelesaikan tugasnya, memberikan informasi, dan kini menyampaikan ancaman musuh.

"Kita tidak punya pilihan. Rendra sudah diikat jiwanya. Bapak Joni sudah mati. Kita harus segera ke Situs Kuno dan menghancurkan Cincin Perunggu itu, sebelum Ratih membuka Gerbangnya dan mengambil nyawa kita semua."

Bian dan Tiara, meskipun dilanda teror dan ancaman terhadap keluarga, memutuskan untuk melawan. Mereka akan melawan Ratih dengan pengetahuan Pawang, tidak peduli seberapa mengerikan teror yang mengintai mereka.

1
⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘ🪷ᴰⁱᴷᵃ ˢ⍣⃟ₛ ⍣⃝✰
penasaran yg sama, siapakah jaga? dia hitam atau putih?
⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘ🪷ᴰⁱᴷᵃ ˢ⍣⃟ₛ ⍣⃝✰
oh ini tulisan tangan Pranoto, gak cetak miring aku kira narasi 😅
⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘ🪷ᴰⁱᴷᵃ ˢ⍣⃟ₛ ⍣⃝✰
maksude rumah Pranoto itu gerbang dua dunia gtu ya? Pranoto nya kmna coba? belum mati kan?
𒈒⃟ʟʙc🏘⃝Aⁿᵘᴍɪss_dew 𝐀⃝🥀ᴳᴿ🐅: Yuph bener...

udh mati.. hhee..
kan itu Bian dapet warisan rumah kakeknya
total 1 replies
⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘ🪷ᴰⁱᴷᵃ ˢ⍣⃟ₛ ⍣⃝✰
oalah ternyata masih berlanjut toh
𝕐𝕆𝕊ℍuaˢ
Jaga terasa menjadi tokoh utama.
sampai di bab ini, setiap baca gw cuma bisa,
"woh... wah... wah!"
𒈒⃟ʟʙc🏘⃝Aⁿᵘᴍɪss_dew 𝐀⃝🥀ᴳᴿ🐅: emang... goib🥺🤣
total 3 replies
⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘAnggrekᴰⁱᴷᵃ ˢ⍣⃟ₛѕ⍣⃝✰
terus-menerus teror nya
⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘAnggrekᴰⁱᴷᵃ ˢ⍣⃟ₛѕ⍣⃝✰
mbah Pranoto masih idup kan?
⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘAnggrekᴰⁱᴷᵃ ˢ⍣⃟ₛѕ⍣⃝✰
kebal banget Prawiro
⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘAnggrekᴰⁱᴷᵃ ˢ⍣⃟ₛѕ⍣⃝✰
jadi gmna ini, gak ada lagi yg baiknya selain pasutri itu?
⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘAnggrekᴰⁱᴷᵃ ˢ⍣⃟ₛѕ⍣⃝✰
oalah ternyata spt itu, bener yg Pawiro yg ada sesuatu
⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘAnggrekᴰⁱᴷᵃ ˢ⍣⃟ₛѕ⍣⃝✰
Mbah Pawiro itu sesepuh desa yg bertamu tadi? klu kakeknya Bian Mbah Pranoto bkn Miss?
𒈒⃟ʟʙc🏘⃝Aⁿᵘᴍɪss_dew 𝐀⃝🥀ᴳᴿ🐅: yuph.. bener.. Bian cucu Pranoto 😁
total 1 replies
⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘAnggrekᴰⁱᴷᵃ ˢ⍣⃟ₛѕ⍣⃝✰
koq serem miss
ᴳᴿ🐅иąв𝖎ƖƖą ≛⃝⃕|ℙ$
waduh kalah bian dan Tiara yg terperangkap, kasihan oh kasihan🤭🤣
ᴳᴿ🐅иąв𝖎ƖƖą ≛⃝⃕|ℙ$
makin runyam ya bian🤭 semangat bian Tiara 🤣😅
ᴳᴿ🐅иąв𝖎ƖƖą ≛⃝⃕|ℙ$
lahh knp liontin nya gak di buang saja kalo bian tetap dikejar sampai ke ujung dunia pun kutukan itu takkan putus🤭🤣
𒈒⃟ʟʙc🏘⃝Aⁿᵘᴍɪss_dew 𝐀⃝🥀ᴳᴿ🐅: kan, Kaga bilang, kalau liontin itu tidak boleh di jatuh ke tangan orang lain. Nanti Kutukan itu nggak bisa diputus👻
total 1 replies
ᴳᴿ🐅иąв𝖎ƖƖą ≛⃝⃕|ℙ$
seru Miss cerita horor inii, haruss berlanjut
ᴳᴿ🐅иąв𝖎ƖƖą ≛⃝⃕|ℙ$
wah berarti jaga itu baik mau memperingati bian dan Tiara tapi mereka yg berbeda pendapat atas kecurigaan mereka terhadap sikap jaga yg aneh. karena jaga memperingati mereka dengan isyarat bukan ngomong secara langsung jadi gak lngsung dipahami oleh bian dan istrinya, dan kini setelah menyadari semuanya sudah terlambat
ᴳᴿ🐅иąв𝖎ƖƖą ≛⃝⃕|ℙ$
inii mksdnya jangan memecahkan apa yg ada, berarti itu setan gak bisa masuk rumah dan kacanya sekarang pecah jadi bisa masuk rumah itu kah🤔🤔🤔
𒈒⃟ʟʙc🏘⃝Aⁿᵘᴍɪss_dew 𝐀⃝🥀ᴳᴿ🐅: bukan😁😁😁.
maksudnya, jangan mencari tahu rahasia yang tersimpan.
atau bahasa gaulnya.. nggak ush kepo😭
total 1 replies
∑(Elite Squad ̄□ ̄;)
kalau rumah lama gak ditempati apalgi dingin. udah pasti banyak pemghuni nya sih
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!