Setelah kematian istrinya, Nayla. Raka baru mengetahui kenyataan pahit. Wanita yang ia cintai ternyata bukan hidup sebatang kara tetapi ia dibuang oleh keluarganya karena dianggap lemah dan berpenyakitan. Sementara saudari kembarnya Naira, hidup bahagia dan penuh kasih yang tak pernah Nayla rasakan.
Ketika Naira mengalami kecelakaan dan kehilangan ingatannya, Raka melihat ini sebagai kesempatan untuk membalaskan dendam. ia ingin membalas derita sang istri dengan menjadikannya sebagai pengganti Nayla.
Namun perlahan, dendam itu berubah menjadi cinta..
Dan di antara kebohongan, rasa bersalah dan cinta yang terlarang, manakah yang akan Raka pilih?? menuntaskan dendamnya atau menyerah pada cinta yang tak seharusnya ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SunFlower, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#10
Happy Reading...
.
.
.
Langit sore ini tampak mendung ketika Raka menghentikan mobil di depan rumahnya. Rumah yang dulu terasa hangat bersama Nayla, kini seperti menyimpan kenangan yang tak akan pernah hilang. Rumah sederhana yang terlihat nyaman. Namun bagi Naira yang duduk di kursi penumpang, tempat itu terasa asing.
Sudah dua minggu sejak ia sadar, akhirnya dokter mengizinkannya untuk pulang. Luka-luka fisiknya mulai sembuh, memar yang sempat di beritahukan dokter kepada Raka sudah tampak memudar. Tapi kepalanya masih sering berdenyut setiap kali ia mencoba mengingat sesuatu, yang muncul hanyalah kilasan cahaya samar, suara tertawa, tangan yang menggenggam terlalu erat dan sebuah pukulan tapi semuanya tanpa wajah. Kosong.
Raka turun lebih dulu, berjalan mengitari mobil untuk membukakan pintu. “Pelan-pelan,” katanya lembut, menatap Naira yang masih tampak ragu menjejakkan kaki di tanah. “Kamu belum sepenuhnya pulih jadi wajar jika kamu merasa asing.” Ucap Raka seolah tahu apa yang di rasakan Naira.
Naira mengangguk pelan. Ia menatap rumah itu sekali lagi. “Ini… rumah kita?” tanyanya ragu.
Raka menatapnya, lalu mengangguk. “Ya. Ini rumah kita, Nayla.”
Nama itu Nayla meluncur dengan mulus dari bibir Raka, seolah sudah terbiasa ia ucapkan. Namun bagi Naira, nama itu terasa asing, tapi entah kenapa ia juga merasa akrab di telinganya. Ada denyut halus di dada saat mendengarnya. Seperti sesuatu di dalam dirinya berusaha merespons, tapi tak tahu harus merespon seperti apa.
Ia tersenyum samar, walau matanya masih menyimpan kebingungan. “Nayla…” gumamnya, mencoba mengulang nama itu. “Itu… benar namaku?”
Raka menatapnya lekat, senyum tipis mengembang di wajah yang diselimuti banyak rahasia. “Ya,” jawabnya pelan, penuh ketenangan yang dibuat-buat. “Namamu Nayla..”
Ucapan itu keluar dengan mantap, tapi di dada Raka, ada perih yang menggeliat. Ia tahu, kebohongan itu bukan hal sepele. Namun melihat mata Naira yang kosong, polos, dan rentan… entah kenapa, hatinya mengeras.
"Kenapa?" Tanya Raka yang melihat Naira termenung.
Naira menggelengkan kepalanya. "Hanya saja aku lebih merasa akrab dengan nama Naira." Naira menatap Raka. Ia ingat betul nama itu yang pertama muncul dari mulut laki- laki yang mengaku sebagai suaminya itu.
“Tapi tidak apa- apa.” ucap Naira perlahan, “Mungkin… aku akan mulai membiasakan diri dengan nama itu dan mulai belajar mengingat dari sini.”
Raka menatapnya, menahan gejolak dalam dada. Ia tak menjawab dan lebih memilih berjalan mendahului Naira lalu membuka pintu rumah yang selama ini hanya menyimpan kesunyian. Aroma lembut sabun bayi dan kayu manis menyambut mereka, aroma yang dulu memenuhi setiap sudut rumah ketika Nayla masih ada.
“Masuklah,” ucap Raka. Suaranya nyaris serak.
Naira melangkah perlahan, menelusuri ruang tamu yang luas dengan langkah hati-hati. Dindingnya dihiasi foto-foto keluarga Raka, seorang wanita berwajah lembut, dan seorang bayi kecil. Ia berhenti di depan salah satu bingkai, menatapnya dalam diam. “Ini… aku?” bisiknya, jari-jarinya menyentuh permukaan kaca. Wajah wanita dalam foto memang sangat mirip dengannya. Tapi entah kenapa Naira merasa ada sesuatu di sana yang terasa berbeda.
Raka berdiri di belakangnya, memaksakan senyum kecil. “Ya,” katanya pelan. “Itu kau… itu kita.”
Naira menoleh, matanya bergetar. “Dan ini… anak kita?”
Raka mengangguk. Tenggorokannya tercekat. “Ya. Jingga.”
“Papaaa…” suara lembut itu menggema di ruangan, diikuti suara langkah kecil yang terburu-buru di atas lantai kayu. Dari balik pintu, seorang bocah perempuan berambut ikal keluar dengan kaki mungilnya yang berjalan tertatih- tatih. Gaun tidurnya sedikit kebesaran, pipinya merah muda, matanya bundar dengan bulu mata yang lentik penuh harap.
Naira terpaku. Dunia seolah berhenti sejenak saat anak kecil itu berdiri beberapa langkah di depannya.
Bocah itu menatapnya dengan mata bening dan senyum manis. “Mama… Mama…” ucapnya lagi, dengan suara yang begitu lembut, begitu yakin.
Naira menatapnya dengan jantung berdebar kencang. Ada sesuatu dalam nada panggilan itu yang mengguncang dirinya sampai ke tulang. Ia tidak mengenal anak ini atau seharusnya tidak mengenal tapi dadanya terasa hangat dan sakit bersamaan. “Aku…” bibirnya bergetar. Ia menatap Raka seolah mencari penjelasan.
Raka berdiri mematung, matanya mulai berkaca. Saat Jingga mengulurkan tangannya ke arah Naira, seolah ingin dipeluk. Air mata yang sejak tadi ditahannya akhirnya jatuh juga. “Anak kita,” suaranya lirih, patah di tengah jalan. “Jingga…”
Naira menatap gadis kecil itu, lalu menunduk pelan menatap tangan mungil yang masih terulur. Tanpa berpikir panjang, ia berjongkok dan membiarkan anak itu memeluknya. Tubuh kecil itu terasa hangat dan nyata. Hatinya bergetar hebat, seolah naluri terdalamnya mengenali pelukan itu.
“Ma…” suara Naira tersangkut di tenggorokannya. Ia menahan napas, lalu memeluk balik dengan erat. “Mama di sini, sayang…”
Tangannya bergetar saat memeluk tubuh mungil itu lebih dekat. Ada rasa yang sulit dijelaskan bukan ingatan, tapi sesuatu yang lebih dalam. Mungkin naluri, mungkin takdir.
Raka menatap pemandangan itu dengan dada yang berdetak kencang. Jingga menggeliat di pelukan perempuan yang wajahnya identik dengan ibunya yang telah tiada. Sejenak itu terasa begitu nyata, begitu sempurna. Untuk pertama kalinya dalam waktu lama, rumah itu dipenuhi suara yang pernah hilang. Tapi di balik air mata yang jatuh, ada rasa bersalah yang menekan di dalam dadanya.
Di belakang mereka, seorang wanita paruh baya berdiri terpaku bibi yang selama ini membantu merawat Jingga. Ia memegangi dada, menatap Raka dengan tatapan bingung. “Tuan…” katanya pelan. “Itu… itu bukan Ny. Nayla, bukan? Bukankah…”
Raka cepat menatap tajam ke arahnya, memberi isyarat agar diam. Tatapan itu cukup untuk membuat wanita itu terhenti, menelan sisa kalimatnya. Ia mundur perlahan, menunduk lalu bergegas ke dapur dengan wajah cemas.
Raka menarik napas panjang, mencoba menstabilkan suaranya. Ia mendekat, berlutut di samping Naira dan Jingga. “Kau lihat?” katanya dengan lembut, suaranya bergetar antara emosi dan rekayasa. “Dia menunggumu setiap hari. Setiap malam ia selalu memanggil nama mamanya.”
Naira menatap Raka, lalu kembali memandang Jingga. “Tapi… kenapa aku tak ingat?” tanyanya lirih. “Kenapa semua terasa asing?”
Raka mengelus kepala Jingga, lalu menatap Naira dengan pandangan yang seolah meyakinkan. “Karena kecelakaan itu membuatmu kehilangan sebagian ingatan. Tapi tidak apa, Nayla. Aku akan membantu kamu mengingat semuanya lagi. Perlahan.”
Suara “Nayla” lagi. Setiap kali nama itu diucapkan, sesuatu di dalam Naira terasa bergetar — seperti pintu lama yang berusaha terbuka tapi masih terkunci. Ia mengangguk pelan. “Mungkin aku hanya butuh waktu.”
Raka tersenyum samar. “Ya, kamu memang hanya butuh waktu.”
Jingga tiba-tiba mencium pipi Naira dengan spontan, membuat perempuan itu tertegun dan hampir menangis. “Mama..” kata bocah itu polos. “Mama jangan pelgi lagi?”
Ucapan itu menancap dalam. Naira memeluk Jingga lebih erat, menutup matanya yang basah. “Mama tidak akan pergi,” bisiknya, tanpa tahu betapa berat arti kalimat itu bagi Raka.
Raka menatap mereka berdua, wanita yang seharusnya menjadi objek balas dendamnya dan anak kecil yang menjadi satu-satunya alasan ia masih bertahan sampai sekarang. Ia tahu, mulai hari itu kebohongan telah resmi hidup di dalam rumahnya. Namun di balik rasa bersalah yang ia rasaka, Bukankah ini kesempatan? Bukankah ini cara agar sosok Nayla bisa hidup lagi?
Di luar, langit benar-benar gelap. Tapi di ruang tamu kecil itu untuk pertama kalinya sejak Nayla pergi, rumah itu kembali hangat.
.
.
.
Jangan lupa tinggalkan jejak...