NovelToon NovelToon
The Sweetest Mistake

The Sweetest Mistake

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintapertama / One Night Stand / Single Mom / Anak Kembar / Office Romance
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: Polaroid Usang

Bagi Heskala Regantara, kehidupannya di tahun 2036 hanya soal kerja, tanggung jawab, dan sepi. Ia sudah terlalu lama berhenti mencari kebahagiaan.

Sampai seorang karyawan baru datang ke perusahaannya — Aysha Putri, perempuan dengan senyum yang begitu tipis dan mata yang anehnya terasa akrab.

Ia tak tahu bahwa gadis itu pernah menjadi bagian kecil dari masa lalunya… dan bagian besar dari hidupnya yang hilang.

Lalu, saat kebenaran mulai terungkap, Heskal menyadari ...

... kadang cinta paling manis lahir dari kesalahan yang paling tak termaafkan.

•••

"The Sweetest Mistake"

by Polaroid Usang

Spin Of "Gairah My Step Brother"

•••

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Polaroid Usang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Episode 20 FLASHBACK

•••

Zeline keluar dari rumah itu dengan langkah yang nyaris bukan langkah. Lebih mirip tubuh yang bergerak karena panik, bukan karena sadar. Udara pagi menusuk, tapi tak ada satu pun yang cukup dingin untuk menelan rasa mual yang masih menempel di dadanya.

Ingatan kegiatan semalam. Wajah Heskal. Foto di ponselnya.m.

Dan foto di dompet itu. Farzan, Papi-nya. Dan anak laki-laki itu, Heskala kecil.

Napas Zeline pendek, tidak beraturan. Seluruh tubuhnya seakan menolak kenyataan.

Ia masih memaksa mencari celah kemungkinan lain, celah harapan, celah apapun yang bisa menyelamatkan dirinya dari kenyataan mengerikan tentang apa yang telah ia lakukan.

Mungkin setelah Maminya meninggal, Papinya diam-diam menikah lagi dengan Ibu Heskal yang seorang janda. Mungkin Heskal bukan anak kandung Papinya. Mungkin Papinya hanyalah ayah sambung Heskal.

Saat dibandara, bukannya memesan tiket untuk kembali ke Cambridge seperti niat awalnya, Zeline berubah pikiran dan memilih membeli tiket menuju Denpasar. Papinya ada disana. Zeline harus segera meminta penjelasan, jika tidak semua pikiran-pikiran itu hanya akan menghancurkan dirinya.

Saat sampai, Zeline hampir menerobos masuk begitu sekretaris membuka pintu ruang kerja Farzan. Ia sudah menyiapkan diri di perjalanan tadi, ia membayangkan akan meledak, menuntut penjelasan, menanyakan mengapa ayahnya punya anak lain, mengapa semuanya disembunyikan.

Dan mengapa ... dirinya selalu menjadi yang di abaikan.

Tapi begitu pintu tertutup, dan Farzan mengangkat wajah ke arahnya, semua keberanian itu hilang.

Lenyap seketika. Seolah tubuhnya membeku oleh jarak yang sejak dulu selalu ada diantara dirinya dan laki-laki itu. Jarak yang tak terlihat, tapi selalu memaku langkahnya.

"Zeline?" suara Farzan datar, sedikit terkejut. "Kapan kamu balik ke Indonesia? Kenapa nggak kasih kabar?"

"Aku…" suara Zeline patah. Bahkan bicara saja sulit. "Aku mau tanya… soal Kak Heskal."

Farzan terlihat terkejut, dia diam sejenak. Kedua matanya turun menatap meja, lalu kembali ke Zeline. Ada kilat yang asing di sana, sebuah kekhawatiran yang jarang sekali muncul.

"Kamu… kenal? Kamu tau?"

Zeline mengangguk pelan, meski suara gemeretak dari jantungnya hampir memekakkan telinganya sendiri.

"Aku cuma mau tau…" kata Zeline, suaranya gemetar. "Aku cuma mau tau apakah Kak Heskal itu… anak Papi."

Farzan menarik nafas singkat, lalu mengangguk tanpa kata.

Tenggorokan Zeline tercekat, "Papi nikah lagi? Dia anak dari istri kedua Papi?" Ia bahkan tak bisa mengenali suaranya sendiri.

Farzan menarik napas panjang. Tangan kirinya mengepal kecil di meja, tanda ia sedang merapikan banyak hal di kepalanya.

"Heskal anak kandung saya. Saya cuma pernah nikah sekali, sama ibunya Heskal." Jawabnya pelan.

Jawaban itu seperti menampar keras kepala Zeline.

"A-apa?" Tubuh Zeline goyah, kepalanya berputar keras. Ruangan tampak menjauh dan mendekat bersamaan.

Farzan berdiri menatapnya. Bukan tatapan marah. Bukan tatapan terkejut. Tatapan itu… seakan sudah lama menunggu kebenarannya keluar. Dan kalimat yang keluar berikutnya menghantam seperti palu besar yang dijatuhkan ke kepala Zeline.

"Zeline… kamu yang bukan anak kandung saya."

Zeline berdiri kaku.

"A-a-apa?" Suara Zeline bergetar hebat.

Farzan menghela napas panjang. Dia mendekat pada Zeline, menarik tubuh gontai Zeline untuk duduk di sofa, lalu menatapnya lekat-lekat.

"Kamu… anak sahabat saya," ucapnya perlahan. "Ibu kamu meninggal waktu kamu masih berumur satu tahun. Ayah kamu ... bukan lelaki yang baik, dia juga sudah tiada. Jadi ibu kamu menitipkanmu pada saya sebelum dia pergi. Dia berpesan, ingin saya menjadi Ayah kamu, dia ingin setidaknya kamu punya sosok ayah, dia tidak ingin meninggalkan putrinya seorang diri didunia ini."

Tekanan di dada Zeline terasa seperti ada tangan besar yang sedang meremas jantungnya.

Kemungkinan ini ... tak pernah sekalipun Zeline bayangkan selama perjalanan tadi. Tak pernah Zeline inginkan bahkan setelah malam penuh dosa kemarin.

Ternyata bukan Heskal, tapi dirinyalah yang bukan anak anak kandung.

"Jadi…" Suaranya nyaris tidak keluar, "Selama ini… kita bukan keluarga?"

Farzan menutup matanya sebentar. "Zeline, kamu bisa tetap anggap saya Ayah kamu, Papi kamu."

Zeline menggeleng kosong, "Jadi aku bener-bener nggak punya keluarga.." Suaranya pecah.

Perasaan hancur. Tapi bukan karena sakit biasa, melainkan karena dasar kehidupannya, hal yang paling ia yakini sejak kecil, berubah menjadi debu dalam satu detik.

"Terus selama ini apa yang aku pegang? Siapa aku sebenarnya? Siapa aku di rumah itu? Cuma titipan? Cuma anak orang lain?" Batin Zeline berkecamuk hebat.

Setelah dipikirkan, wajar saja Farzan tak pernah ada disisinya. Karena Papinya itu punya keluarganya, istrinya, dan anaknya. Lalu Zeline hanyalah seonggok beban yang mengganggu Farzan selama ini.

"Kenapa…" suaranya bergetar, "kenapa Papi nggak bilang dari dulu?"

Farzan menunduk. "Saya takut kehilangan kamu. Dan… saya terlalu pengecut untuk mengakui bahwa saya gagal menjagamu. Bahwa saya gagal menepati pesan terakhir ibu kamu."

Kata gagal itu menusuk lebih dalam daripada apapun.

Zeline akhirnya menunduk. Ia tidak menangis keras, air matanya mengalir begitu diam, begitu rapi, begitu menyiksa. Tangannya meremas rok yang ia pakai sampai kusut.

Di satu sisi, ia merasa anehnya lega.

Heskal bukan kakaknya. Ia tidak melakukan dosa sedarah. Namun lega itu tidak pernah berubah menjadi sesuatu yang lebih baik.

Karena apa gunanya? Apa gunanya lega ... ketika yang tersisa hanya kehancuran?

Ia sudah tidur dengan Heskal. Ia sudah melakukan hal yang tidak akan pernah ia lupakan seumur hidup. Ia sudah hancur. Ia sudah jijik pada dirinya sendiri.

Dan yang lebih sakit lagi, ia kehilangan identitas keluarga yang selama ini ia pegang.

Bukan anak Farzan. Bukan anak dari seseorang yang selama 21 tahun ini ia kenal sebagai Papinya.

Zeline hanya perempuan yang secara tragis, secara menyedihkan…

…terlalu berharap dunia akan memberinya sesuatu yang baik.

Ia bahkan masih ingat pesan Papinya saat ia berumur 7 tahun, "Jangan kasih tau siapapun tentang nama belakang Papi, ya? Papi takut ada yang punya niat jahat sama Zeline."

Regantara. Regantara terlalu besar untuk dirinya yang begitu kecil, begitu tidak berarti.

Dan Zeline kini sadar, kenapa ia selalu dibatasi dalam hal apapun, kenapa ia tak bisa menyebutkan nama lengkap Papinya kepada siapapun. Karena ia bisa saja menjadi aib bagi keluarga Regantara.

Enam tahun lalu, seharusnya Zeline ada sedikit saja rasa curiga saat mengetahui marga Heskal. Tapi nama Regantara, juga bisa dibilang umum, dan saat itupun, ia hanyalah anak kecil yang butuh diselamatkan. Tak sempat memikirkan hal-hal seperti itu.

Kekosongan menyelimuti seluruh dirinya. Perasaan yang tidak bisa ia beri nama, campuran lega, jijik, kehilangan, syok, dan kehancuran.

Lega karena ia tidak tidur dengan kakaknya.

Tapi lega itu tidak pernah cukup untuk menebus fakta lainnya, bahwa hidupnya baru saja runtuh dari fondasi yang selama ini ia kira kokoh.

Sebuah pemikiran tiba-tiba terlintas.

'Nama lengkap lo siapa?'

'Zeline Aysha Putri.'

'Nama bapak lo?'

'Kepo banget, sih, Kak?'

Apakah jika saat itu, 6 tahun lalu, ia jujur pada Heskal, semuanya akan berbeda dengan situasi sekarang?

Tapi dari semua hal…

Yang paling membuatnya gemetar adalah satu kenyataan pahit, bahwa ia masih tidak tahu harus membenci siapa terlebih dulu, Heskal, Farzan, atau dirinya sendiri.

Saat ia berpamitan hendak kembali ke Cambridge, Farzan berucap tulus untuk terakhir kali.

"Zeline, saya masih Papi kamu. Kamu masih anak saya, tanggung jawab saya. Sekalipun hanya diatas kertas."

•••

Cahaya terik pagi itu masuk samar-samar lewat tirai rumah itu. Tidak terlalu terang, tapi cukup untuk menyilaukan mata Heskal saat ia terbangun.

Kepalanya berat, seberat ambruknya hidupnya semalam. Tenggorokannya kering, lidahnya pahit, dan ada rasa kosong yang familiar… Kosong yang sudah jadi teman lamanya setiap kali ia bangun dari malam yang salah.

Heskal mengerang pelan, menekan pelipisnya. Semalam … Apa yang terjadi?

Potongan kenangan muncul sepintas, cepat, kacau, dan buram. Tangan kecil yang disentuhnya, tubuh ringan yang ia peluk terlalu erat, suara lembut yang menangis pelan atau mungkin tertawa, ia tidak yakin.

Bingkai memori itu buram, seperti lukisan yang disiram hujan.

Heskal mengangkat bahu, tidak terlalu memikirkan.

"Gue bawa cewek dari club lagi, ya?" Gumamnya pelan, seperti menegur dirinya sendiri.

Ia bangun dari kasur, berjalan ke dapur dengan langkah malas. Di lantai berserakan kemeja, jaket, dan beberapa kancing yang entah sejak kapan lepas. Tapi tidak ada tanda-tanda perempuan itu.

Rumah itu sepenuhnya sepi.

Tidak ada rambut panjang di bantal. Tidak ada sandal kecil. Tidak ada bayangan seseorang yang seharusnya duduk di sofa, atau mungkin sedang merapikan pakaiannya.

Heskal berkedip. Lalu mengangguk kecil, seperti sudah memahami alurnya.

"Pagi-pagi udah cabut…" gumamnya datar.

"Ya udah, biasa."

Biasa. Kata itu keluar terlalu mudah.

Ia mengambil gelas, mengisi air, meminumnya setengah sambil memijit tengkuknya.

Lalu ia tertawa kecil. Tawa hambar. Tawa yang menyembunyikan hidup kosong yang ia pertahankan bertahun-tahun.

"Mungkin cewek dari club itu nggak mau tip kali," gumamnya lagi.

Tidak ada jeda bersalah. Tidak ada rasa ingin tahu. Tidak ada keinginan mencari tahu wajah perempuan itu.

Waktu semalam terlalu buram, dan Heskal sudah terbiasa dengan itu.

Yang ia ingat hanya, ia pulang dalam keadaan kacau karena minum terlalu banyak, ia sedang muak pada kehidupan, lalu ... seseorang masuk ke rumah ini.

Seseorang yang tubuhnya hangat. Seseorang yang wangi parfumnya menempel samar di kulitnya. Seseorang yang sempat memanggilnya dengan suara kecil yang terasa aneh di telinganya.

Seakan ia pernah mendengar suara itu. Tapi memori itu kabur. Dan ia tak cukup peduli untuk mengingat lebih jauh.

Ia menyalakan mesin kopi. Hening. Sembari menunggu, tangannya meraih handphone yang tergeletak dilantai, lalu mengernyit melihat wallpaper handphone-nya sendiri.

"Siapa yang ganti wallpaper gue?" Gumamnya memperhatikan foto itu.

Foto saat di club semalam, dia memangku seorang wanita yang wajahnya tak terlihat difoto itu. Dan Heskal pun tak mengingat wajah wanita yang di club semalam, juga tak mengingat wajah wanita yang tidur dengannya dirumah ini semalam.

Lalu otomatis berpikir bahwa kedua wanita berbeda itu, adalah orang yang sama.

"Oh, jadi semalam sama dia?" Satu sudut bibirnya tertarik membentuk senyuman miring melihat foto itu untuk terakhir kali. Lalu segera ia mengganti kembali wallpaper handphone-nya dengan foto abstrak gelap.

Beberapa detik kemudian, ia berkata pelan, netral, tanpa beban.

"Walau gue nggak inget muka lo, siapa pun lo… thanks for last night."

Dan itu saja.

Seburuk itu cara hidup Heskala Regantara dulu.

Ia tidak tahu, tidak menyadari, tidak terlintas sama sekali… bahwa perempuan yang bersamanya semalam bukanlah "cewek klub", melainkan seseorang yang hidupnya ia selamatkan 6 tahun lalu.

Seseorang yang ia sayangi seperti adik. Seseorang yang kembali hanya untuk menunjukkan bahwa ia tumbuh dengan baik.

Dan pagi itu … Heskal baru saja menghancurkan hidup orang itu. Hidup bocil kesayangannya. Hidup Zeline-nya.

Tanpa memori.

Tanpa rasa bersalah.

Tanpa sadar ia merusak orang yang paling ia lindungi dulu.

Sementara Zeline…

Tujuh minggu kemudian, disudut kamar apartemen kecilnya di Cambridge, menangis sendirian sambil memegang test pack yang akhirnya ia beli.

Dan sejak hari itu, rasa terima kasih yang dulu Zeline punya untuk Heskal … perlahan berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih gelap.

Benci.

Ia benar-benar membenci Heskal untuk pertama kalinya.

•••

FLASHBACK END

•••

LIKE NYA GAISSSS

1
styandrie
Bagus bgttt🫶🏻🫶🏻🫶🏻, selalu suka sama novel kakak iniii!! Ceritanya bagus, menarik, selalu bikin kepo tiap episodenya!

Kayak bisa banget jabarin perasaan tokohnya, bikin kita bener2 ngerasain apa yang tokoh rasain😭😭😭

penulisannya juga rapi, tanda bacanya rapi, enak bgt dibacaaa!!
love bgt pokoknyaaa🥰🥰
styandrie
LANJUTTTT PLISSSSS
styandrie
AAAAAAA AMSHSKSJSKSK
DEGDEGANNN
styandrie
Parah bgt aseliii🫵🏻
styandrie
mau nangiss😭😭😭😭😭😭😭😭😭
styandrie
😭😭😭
styandrie
🥹🥹🥹
styandrie
oke, ini flashback malam itu kann
styandrie
LUCU BGTTT😭🤏🏻
styandrie
hahahaa
Dewi Eka
menarik
kim elly
hay aku sudah mampir🥰🥰
styandrie
lepas kangen sama zafnya kenzio jayden dan nara🫠🫠♥️
Raezcha: iyaaaa😭😭✨
total 1 replies
styandrie
LOHHHH??
styandrie: satu ayah mrkaaa?/Gosh/
total 1 replies
styandrie
HAHHH
Yunita aristya
apakah celyn 🤔
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!