 
                            Semua orang mengira Zayan adalah anak tunggal. Namun nyatanya dia punya saudara kembar bernama Zidan. Saudara yang sengaja disembunyikan dari dunia karena dirinya berbeda.
Sampai suatu hari Zidan mendadak disuruh menjadi pewaris dan menggantikan posisi Zayan!
Perang antar saudara lantas dimulai. Hingga kesepakatan antar Zidan dan Zayan muncul ketika sebuah kejadian tak terduga menimpa mereka. Bagaimana kisah mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desau, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 21 - Apartemen Zidan
Sore itu, setelah makan siang yang penuh ketegangan, Jefri meminta Zidan ikut dengannya. Ia mengatakan akan menunjukkan sesuatu. Mobil hitam mewah keluarga Nugroho meluncur tenang meninggalkan halaman rumah besar itu. Sepanjang perjalanan, Zidan hanya diam, menatap pemandangan kota yang mulai berwarna jingga.
“Mulai hari ini, kau tidak perlu tinggal di rumah itu,” ujar Jefri tiba-tiba, memecah keheningan. “Aku sudah menyiapkan tempat untukmu. Lebih tenang, lebih nyaman, dan… jauh dari tekanan.”
Zidan menoleh pelan. “Tempat untukku?”
Jefri mengangguk. “Apartemen di pusat kota. Dekat dengan kantor utama perusahaan. Aku ingin kau mulai belajar tentang bisnis keluarga kita. Tapi tentu, aku tidak akan membiarkanmu sendirian.”
Zidan menatap ayahnya penasaran. “Maksudnya?”
“Aku sudah menugaskan seseorang untuk membantumu. Dia sekretaris pribadimu mulai hari ini.”
“Sekretaris pribadi?” Zidan mengerutkan kening. “Ayah serius?”
“Serius,” jawab Jefri, tersenyum samar. “Kau perlu seseorang yang mengatur jadwalmu, mengurus dokumen, dan mengenalkanmu pada dunia bisnis. Percayalah, kau akan membutuhkannya.”
Mobil berhenti di depan sebuah gedung tinggi berarsitektur modern. Di puncaknya, logo besar bertuliskan Nugroho Tower terpampang gagah. Lift membawa mereka ke lantai 28, lantai yang ternyata seluruhnya milik Zidan.
Begitu pintu lift terbuka, ruangan luas dengan dinding kaca menyambut mereka. Dari sini, pemandangan kota terlihat menakjubkan. Di tengah ruangan, seorang wanita muda berdiri menunggu dengan postur tegap dan senyum profesional.
“Selamat sore, Tuan Jefri. Selamat datang, Tuan Zidan,” sapanya sopan. Suaranya lembut tapi berwibawa.
Jefri tersenyum puas. “Zidan, kenalkan, ini Nova Wulandari. Mulai hari ini, dia sekretarismu.”
Nova menunduk sedikit. Rambut hitam pendek sebahunya jatuh rapi di sisi wajah. Matanya tajam tapi tenang, ada karisma dewasa di balik parasnya yang cantik alami. Penampilannya rapi, kemeja putih, rok pensil hitam, dan sepatu hak rendah.
“Senang bertemu dengan Anda, Tuan Zidan,” ucapnya sopan. “Saya sudah menerima berkas profil anda dari Tuan Jefri, dan saya juga sudah menyiapkan semua kebutuhan awal anda di apartemen ini. Semua dokumen bisnis, jadwal rapat, dan akun kerja sudah saya siapkan di ruang kerja anda.”
Zidan sempat bengong beberapa detik sebelum buru-buru menjawab, “Ah… iya, senang bertemu juga, Nova.”
Dia bahkan salah menjabat tangan, terlalu cepat menariknya kembali, hingga membuat Nova menatapnya bingung sesaat. Zidan tersipu malu. 'Bagus, Zidan. Kesan pertama yang luar biasa bodoh,' batinnya.
Jefri tampak menahan senyum melihat tingkah anaknya. “Nova adalah salah satu sekretaris terbaik di perusahaan. Aku sudah bekerja dengannya selama dua tahun. Dia tahu semua seluk-beluk bisnis properti keluarga kita, dari negosiasi proyek sampai strategi investasi.”
“Terima kasih atas pujiannya, Tuan,” kata Nova dengan tenang. “Saya hanya melakukan pekerjaan saya sebaik mungkin.”
Zidan menggaruk tengkuknya, tampak canggung. “Um… tapi, Ayah, apa tidak sebaiknya sekretarisku laki-laki saja? Maksudku… lebih aman, kan?”
Jefri tertawa kecil. “Zidan, kau bukan remaja lagi. Sekretaris pria atau wanita tidak ada bedanya selama profesional. Nova bisa dipercaya. Lagipula, dia sudah sangat berpengalaman. Aku ingin kau belajar darinya.”
Nova hanya tersenyum halus, tidak tersinggung sedikit pun. “Saya pastikan, Tuan, saya tidak akan membuat anda merasa tidak nyaman. Tugas saya hanya membantu anda berkembang di bidang bisnis.”
Zidan mengangguk kikuk. “Baiklah, kalau begitu…”
Setelah Jefri pamit dan meninggalkan mereka berdua, suasana apartemen menjadi sunyi. Nova langsung menyalakan tablet kerjanya, membuka berkas-berkas digital, lalu memproyeksikannya ke layar besar di ruang tamu. Gerakannya cepat, teratur, seperti seseorang yang sudah terbiasa mengatur dunia hanya dengan ketukan jari.
“Ini semua proyek properti milik keluarga Nugroho yang sedang berjalan,” jelas Nova tanpa basa-basi. “Ada 17 proyek aktif, sebagian besar dikelola oleh divisi pengembangan. Saya sudah menandai tiga proyek yang cocok dijadikan bahan belajar untuk anda. Salah satunya proyek resort di Bali, yang kebetulan baru tahap awal investasi.”
Zidan menatap layar besar itu kagum. “Kau tahu semua ini di luar kepala?”
Nova mengangguk ringan. “Saya sudah mendampingi Tuan Jefri selama dua tahun. Jadi, ya, cukup hafal dengan struktur bisnis keluarga anda. Dan mulai hari ini, tugas saya memastikan anda bisa menyesuaikan diri dengan cepat.”
Zidan terdiam. Gadis itu berbicara begitu tenang, tanpa nada merendahkan, tapi ada wibawa dalam setiap katanya. Cara ia menjelaskan, cara ia menata dokumen, bahkan cara ia memandang, semuanya menunjukkan bahwa Nova bukan sembarang karyawan.
“Apakah anda punya preferensi khusus soal gaya kerja?” tanya Nova tiba-tiba. “Saya biasa menggunakan sistem digital penuh, tanpa kertas. Semua data disimpan di cloud pribadi dengan akses ganda. Tapi jika Anda lebih nyaman manual, saya bisa menyesuaikan.”
“Astaga... Nova. Jujur saja ya, aku tidak mengerti satu pun hal yang kau jelaskan barusan. Aku cuman lulusan SMA," jawab Zidan cepat.
Nova menghela napas sabar, lalu mulai menjelaskan grafik, laporan aset, dan istilah properti seperti ROI, gross yield, dan depreciation rate. Dalam lima menit, kepala Zidan sudah miring ke kanan seperti burung hantu kelelahan. Menurut Zidan, dia tidak bisa langsung bekerja jadi direktur begitu saja. Ia butuh pengalaman dan belajar banyak.
Orang yang menggunakan atau melakukan sesuatu yg direncanakan untuk berbuat keburukan/mencelakai namun mengena kepada dirinya sendiri.
Tidak perlu malu untuk mengakui sebuah kebenaran yg selama ini disembunyikan.
Menyampaikan kebenaran tidak hanya mencakup teguh pada kebenaran anda, tetapi juga membantu orang lain mendengar inti dari apa yang anda katakan.
Menyampaikan kebenaran adalah cara ampuh untuk mengomunikasikan kebutuhan dan nilai-nilai anda kepada orang lain, sekaligus menjaga keterbukaan dan keanggunan.
Mempublikasikan kebenaran penting untuk membendung berkembangnya informasi palsu yang menyesatkan lalu dianggap benar.
Amarah ibarat api, jika terkendali ia bisa menghangatkan dan menerangi. Tapi jika dibiarkan, ia bisa membakar habis segalanya termasuk hubungan, kepercayaan, bahkan masa depan kita sendiri...😡🤬🔥
Kita semua pernah marah. Itu wajar, karena marah adalah bagian dari sifat manusia.
Tapi yang membedakan manusia biasa dengan manusia hebat bukanlah apakah ia pernah marah, melainkan bagaimana ia mengendalikan amarah itu.
Alam semesta memiliki caranya sendiri untuk menyeimbangkan segala hal.
Apa yang kita tanam, itulah yang kita tuai.
Prinsip ini mengajarkan kita bahwa tindakan buruk atau ketidakadilan akan mendapatkan balasannya sendiri, tanpa perlu kita campur tangan dengan rasa dendam..☺️