Seorang wanita modern Aira Jung, petinju profesional sekaligus pembunuh bayaran terbangun sebagai Permaisuri Lian, tokoh tragis dalam novel yang semalam ia baca hingga tamat. Dalam cerita aslinya, permaisuri itu hidup menderita dan mati tanpa pernah dianggap oleh kaisar. Tapi kini Aira bukan Lian yang lembek. Ia bersumpah akan membuat kaisar itu bertekuk lutut, bahkan jika harus menyalakan api di seluruh istana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja Bulan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29. Karena aku sudah jatuh berkali-kali kaelith
Hujan turun deras pagi itu.
Aula pemerintahan utama tampak suram, dipenuhi suara langkah pejabat yang resah.
Sebuah kabar mengejutkan baru saja menyebar: salah satu perbatasan selatan diserang.
Elara duduk di ruang kerjanya dengan peta besar di depan.
Kaen berdiri di samping, membaca laporan yang baru datang dari kurir kerajaan.
“Pasukan penjaga selatan mundur. Gudang logistik terbakar… tapi anehnya, tidak ada tanda pasukan musuh besar.”
Elara mengetuk meja pelan.
“Mereka tidak menyerang untuk menang. Mereka menguji pertahanan.”
“Kau pikir ini peringatan?” tanya Kaen.
“Lebih dari itu,” jawab Elara pelan. “Ini pesan… dan aku tahu siapa yang mengirimnya.”
Kaen menatap Elara dengan ragu.
“Selir Valen?”
Elara mengangguk.
“Dia tidak akan menyerang langsung. Tapi ia punya sekutu dan serangan kecil seperti ini bisa jadi peringatan bahwa ia siap bekerja sama dengan kekuatan luar.”
Ia berdiri, mengambil jubahnya.
“Siapkan kudaku. Aku akan ke ruang dewan.”
“Kaisar sedang di sana, Elara.”
“Bagus. Ini waktunya bicara tanpa topeng.”
Aula dewan kerajaan penuh ketegangan.
Kaelith berdiri di depan peta, para jenderal di sekelilingnya.Ketika Elara masuk, semua orang menunduk tapi tidak semua dengan hormat.
“Permaisuri,” suara Kaelith datar, “ini bukan rapat urusan dalam istana.”
“Serangan di selatan bukan sekadar urusan militer,” balas Elara.
“Itu adalah pesan politik dan jika kau menolak mendengarnya, maka serangan berikutnya tidak akan berhenti di perbatasan.”
Suasana ruangan langsung tegang.
Beberapa jenderal menahan napas, menunggu reaksi Kaisar.
Kaelith menatap Elara lama.
“Kau bicara seperti sudah tahu siapa pelakunya.”
Elara berjalan mendekat, menunjuk bagian peta selatan.
“Lihat rutenya. Penyerang tidak mengambil jalur strategis, tapi membakar gudang yang baru dibangun tiga bulan lalu. Gudang itu dikelola oleh pedagang dari wilayah timur.”
Kaelith menyipitkan mata.
“Kau curiga pada pedagang timur?”
“Bukan pedagangnya. Tapi orang yang melindungi mereka di istana ini.”
Ruangan langsung sunyi.
Semua tahu siapa yang dimaksud Selir Valen, yang berasal dari keluarga timur.
Kaelith menatap Elara lebih lama, kemudian berkata pelan,
“Kau menuduh seseorang tanpa bukti bisa menyalakan api di istana.”
Elara menatapnya balik, tajam tapi tenang.
“Kadang, api memang perlu dinyalakan… agar asapnya memperlihatkan siapa yang bersembunyi di kegelapan.”
Kaelith terdiam, lalu berbalik ke arah para jenderal.
“Periksa perbatasan selatan. Dan pastikan laporan pasokan dari wilayah timur diserahkan langsung padaku.”
Ia lalu berjalan keluar, berhenti sebentar di depan Elara.
“Kau bermain di medan yang berbahaya, Elara.”
“Aku sudah hidup di tempat yang lebih berbahaya dari ini, Kaelith,” jawabnya tanpa gentar.
Tatapan mereka bertemu dingin dan panas di waktu bersamaan.
Kaisar berjalan pergi tanpa sepatah kata lagi, tapi langkahnya berat.
Sore harinya, di paviliun timur, Selir Valen membaca laporan yang dikirim oleh mata-matanya.
“Dia mencurigai aku,” gumamnya sambil tersenyum tipis.
“Sangat cepat… tapi belum cukup.”
Pria berjubah gelap yang menemuinya di malam sebelumnya kini duduk di hadapannya.
“Kau mau aku bergerak sekarang?”
“Belum,” jawab Valen. “Biarkan Elara terlihat terlalu berani.
Kaisar akan mulai ragu, dan keraguan itu lebih beracun dari seribu pedang.”
Ia berdiri, menyentuh bunga mawar merah di vas kaca.
“Saat ia akhirnya sadar siapa musuhnya… akan terlambat. Karena yang pertama ia curigai bukan aku tapi wanita yang ia cintai.”
Malam tiba, dan Elara dipanggil ke menara Kaisar.
Ia melangkah dengan langkah tenang meski jantungnya berdetak keras.
Kaen menatapnya khawatir.
“Kau yakin akan menemui Kaisar malam ini? Waktunya… terlalu larut.”
“Semakin larut, semakin banyak rahasia yang terbuka,” jawab Elara pelan.
Ketika ia masuk ke ruangan itu, Kaelith sedang berdiri di balkon, menatap kota yang diselimuti kabut hujan.
Tanpa menoleh, ia berkata,
“Kau tahu apa akibatnya jika tuduhanmu salah?”
“Tentu tahu,” Elara berjalan mendekat.
“Tapi aku juga tahu apa akibatnya kalau aku diam.”
Kaelith menatapnya, untuk sesaat tak ada kata-kata.
Lalu suaranya melembut halus tapi menusuk.
“Aku tidak tahu apakah aku kagum… atau takut padamu, Elara.”
Elara tersenyum samar.
“Kalau kau mulai takut, berarti aku mulai berhasil.”
Kaelith mendekat, jarak mereka hanya sejengkal.
“Kau selalu bicara seolah tidak ada yang bisa menjatuhkanmu.”
“Karena aku sudah jatuh berkali-kali, Kaelith.”
“Dan setiap kali, aku belajar bagaimana bangkit tanpa menunggu siapa pun menolongku.”
Kaelith menatapnya lama terlalu lama.
Ada sesuatu dalam tatapan itu kagum, marah, dan... kehilangan kendali.
Ia menunduk sedikit, suaranya rendah dan dalam.
“Hati-hati, Elara. Semakin tinggi kau berdiri, semakin banyak tangan yang ingin menarikmu jatuh.”
Elara membalas tanpa gentar,
“Kalau begitu, biarkan mereka mencoba.”
Di luar, hujan berhenti.
Di langit, bulan muncul pucat dan dingin, seperti mata dua orang yang kini sama-sama menatap satu sama lain,
tanpa tahu siapa yang akan lebih dulu jatuh: karena cinta… atau karena ambisi.
Istana tampak tenang pagi itu, tapi ketenangan itu rapuh seperti kaca yang siap pecah kapan saja.
Sejak malam pertemuannya dengan Kaisar, Elara merasakan sesuatu berubah.
Bukan di luar… tapi di antara mereka.
Kaen berjalan di belakangnya, membawa laporan harian dari Dewan.
“Kau tidak tidur semalaman lagi,” katanya lirih.
“Kaisar bisa mencium kelelahan dari mata seseorang.”
Elara tersenyum samar.
“Biarkan dia mencium apa pun yang dia mau. Selama dia tidak tahu apa yang benar-benar aku rencanakan.”
Ia membuka pintu ruang pertemuan kecilnya dan di sana, sudah menunggu Jenderal Arven.
“Yang Mulia,” Arven menunduk hormat, “aku membawa kabar dari selatan. Pasukan asing itu bukan pasukan besar, tapi… mereka bergerak dengan disiplin militer.”
“Artinya ada pihak dalam istana yang memberi mereka arahan,” jawab Elara datar.
“Kau menemukan tanda-tanda siapa?”
“Belum pasti,” jawab Arven. “Tapi beberapa pedagang yang memberi logistik pada mereka adalah bekas kontraktor Selir Valen.”
Elara mengangguk perlahan.
“Bagus. Simpan informasi itu. Jangan laporkan langsung pada Kaisar sebelum aku katakan.”
Arven tampak ragu.
“Tapi… bukankah itu bisa dianggap menyembunyikan informasi kerajaan?”
Elara menatapnya dengan mata tajam tapi tenang.
“Kadang, kebenaran harus disembunyikan dulu sampai waktunya bisa menyelamatkan, bukan menghancurkan.”
Arven hanya menunduk,
tapi matanya tetap mengikuti gerak Elara dengan sesuatu yang sulit disembunyikan rasa kagum yang mulai berbahaya.
Sore itu, Elara menerima panggilan mendadak dari Kaisar Kaelith.
Ia berjalan menuju paviliun utama dengan kepala tegak,meski hatinya tahu panggilan seperti ini tidak pernah datang tanpa alasan.
Kaelith berdiri di depan jendela, memunggunginya.
“Aku dengar kau bertemu dengan Jenderal Arven pagi ini.”
Elara tidak menjawab, hanya menunggu.
“Dan kau menahan laporan dari selatan.”
Ia menatap punggung Kaisar itu tegap, tapi terasa lebih dingin dari biasanya.
“Aku menahannya karena laporan itu belum pasti. Aku tidak mau menuduh tanpa bukti.”
Kaelith berbalik, matanya menatap tajam.
“Atau karena kau ingin mengendalikannya sendiri?”
Elara menahan napas sesaat, lalu berkata pelan,
“Kalau aku ingin mengendalikan segalanya, aku tidak akan datang padamu sekarang, Kaelith.”
Sunyi.
Hanya suara langkah Kaisar yang perlahan mendekat.
“Kau berubah terlalu cepat, Elara.”
“Dulu kau takut menatapku. Sekarang kau menatapku seolah kau setara denganku.”
Elara menegakkan bahu.
“Mungkin karena sekarang aku tahu… menatapmu bukan dosa.”
Tatapan mereka bertemu.
Ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan di sana amarah, kekaguman, dan sesuatu yang tak mereka sebut: cinta yang terjebak di antara dua ego.
Kaelith perlahan mengulurkan tangan, menyentuh dagunya, mengangkat wajah Elara sedikit.
“Kau tahu apa yang terjadi pada orang yang membuat Kaisar kehilangan kendali?”
“Mereka mati,” jawab Elara tenang.
“Benar.”
Ia mendekat, suaranya menurun jadi bisikan.
“Tapi anehnya… aku justru ingin melihat sampai sejauh mana kau bisa membuatku kehilangan kendali.”
Elara menatapnya, napasnya tercekat.
Untuk sesaat, dunia seolah berhenti.
Namun sebelum sesuatu terjadi, suara pelayan di luar memecah ketegangan.
“Yang Mulia! Laporan mendesak dari utara!”
Kaelith segera menarik diri, wajahnya kembali tenang.
“Kita lanjutkan nanti,” katanya dingin sebelum pergi.
Elara berdiri sendiri di ruangan itu, mencoba menenangkan degup jantungnya.
Ia tahu sesuatu di antara mereka sudah berubah, dan tidak ada jalan mundur.
Malam itu, Selir Valen duduk di paviliunnya sambil membaca laporan yang dibawa utusan rahasia.
“Kaisar mulai curiga pada Elara?”
“Ya, Nyonya,” jawab mata-mata itu. “Beberapa penasihat mulai memperingatkannya soal kedekatan Permaisuri dengan Jenderal Arven.”
Valen tersenyum puas.
“Bagus. Api kecil itu akhirnya menyala."
Ia berdiri, menatap cermin peraknya.
“Sekarang aku hanya perlu meniupnya sedikit… dan istana ini akan terbakar.”
Beberapa hari kemudian, Dewan memanggil Jenderal Arven untuk penyelidikan mendadak.
Elara baru tahu kabar itu setelah semuanya sudah dimulai.
Kaen berlari masuk ke ruangannya dengan wajah tegang.
“Mereka bilang Arven dituduh mengkhianati istana dengan menahan laporan dari selatan!”
Elara membeku.
“Siapa yang memberi perintah?”
“Kaisar sendiri…”
Semua darah terasa mengalir dingin di nadi Elara.
Ia berdiri cepat, menatap jendela istana yang memantulkan bayangan hujan tipis.
“Jadi Valen sudah mulai bermain terang-terangan.”
Ia menggenggam pinggiran meja, suaranya berubah dingin.
“Kalau Kaisar ingin mengujiku… maka aku akan tunjukkan padanya seperti apa permainan kekuasaan sebenarnya.”
Sementara di aula utama, Jenderal Arven berlutut di lantai batu, dijaga dua pengawal.
Kaisar duduk di singgasananya, wajahnya tanpa ekspresi.
“Kau dituduh menahan laporan penting dari selatan. Apa kau mengaku?”
Arven menunduk dalam.
“Aku hanya menjalankan perintah Permaisuri, Yang Mulia.”
Keributan kecil terdengar di antara pejabat.
Kaelith mengetukkan jarinya di sandaran kursi.
“Jadi kau mengakui Permaisuri terlibat?”
Namun sebelum Arven sempat menjawab, pintu aula terbuka keras.
Elara masuk, langkahnya cepat dan tegas.
“Cukup.”
Suara itu membuat semua orang terdiam.
Ia berjalan langsung ke tengah ruangan, berdiri di depan Kaisar.
“Kalau seseorang harus disalahkan, maka salahkan aku.”
Kaelith menatapnya lama.
“Kau tahu apa artinya pengakuan itu, Elara?”
“Tentu. Tapi aku tidak akan biarkan orang yang setia padaku dijadikan tumbal permainan orang lain.”
Untuk pertama kalinya di depan semua pejabat,
Kaisar dan Permaisuri berdiri berhadapan bukan sebagai pasangan, tapi sebagai dua penguasa dengan kekuatan yang sama besar.