Malam itu, di sebuah desa terpencil, Alea kehilangan segalanya—kedua orang tuanya meninggal dan dia kini harus hidup sendirian dalam ketakutan. Dalam pelarian dari orang-orang misterius yang mengincarnya, Alea membuat keputusan nekat: menjebak seorang pria asing bernama Faizan dengan tuduhan keji di hadapan warga desa.
Namun tuduhan itu hanyalah awal dari cerita kelam yang akan mengubah hidup mereka berdua.
Faizan, yang awalnya hanya korban fitnah, kini terperangkap dalam misteri rahasia masa lalu Alea, bahkan dari orang-orang yang tak segan menyiksa gadis itu.
Di antara fitnah, pengkhianatan, dan kebenaran yang perlahan terungkap, Faizan harus memutuskan—meninggalkan Alea, atau menyelamatkannya.
Kita simak kisahnya yuk di cerita Novel => Aku Bukan Pelacur.
By: Miss Ra.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Ra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 21
Alea menatap pintu yang baru saja tertutup, lalu beralih pada Faizan. “Mas… siapa dia?” tanyanya lirih, ragu, tapi tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.
Faizan menarik napas panjang, wajahnya tetap dingin seolah sedang menyembunyikan badai di dalam kepalanya.
“Kamu nggak perlu tahu siapa dia. Dan sekarang… pulanglah. Anggap saja kejadian tadi cuma sandiwara.”
Jleb!
Alea terdiam. Kata-kata Faizan seperti belati yang menusuk tanpa ampun. Sandiwara? Jadi semua sikap dinginnya selama ini… juga bagian dari itu?
Matanya terasa panas, tapi ia menahan diri agar tidak terlihat rapuh di hadapan Faizan. Dengan suara yang hampir tak terdengar, ia bertanya,
“Mas… kenapa selalu bersikap seperti ini sama aku? Seolah-olah aku ini cuma… orang asing di hidupmu.”
Faizan memejamkan mata. Rahangnya menegang, seperti sedang menahan sesuatu yang tak terucapkan. Tanpa menoleh, ia melangkah ke arah jendela. Pandangannya kosong, menembus gelapnya malam.
“Alea… jangan cari masalah yang bisa bikin aku benar-benar marah,” ucapnya pelan, tapi nada suaranya berat dan dingin. “Kamu tidak perlu tahu masa laluku.”
Alea menggigit bibir bawahnya, menahan gejolak yang berkecamuk—marah, sedih, sekaligus penasaran. Perlahan, ia melangkah mendekat, meski tahu Faizan mungkin akan menolaknya lagi.
“Mas… apa tidak ada kesempatan untuk aku memperbaiki semuanya?” Suaranya bergetar, hampir patah di ujung kalimat.
Faizan terdiam. Tubuhnya kaku, tapi ia tetap tidak menoleh. Hening terasa menyesakkan di antara mereka, hingga akhirnya ia menarik napas panjang dan berbicara lagi—dingin, tegas, tanpa emosi.
“Alea,” katanya datar, “pulanglah.”
Alea menatap punggung Faizan, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
“Mas…”
“Aku bilang pulang.” Suara Faizan kali ini lebih rendah, tapi dinginnya menusuk. “Jangan paksa aku untuk berbuat kasar padamu.”
Alea terpaku di tempat. Matanya memanas, tapi ia menahan air mata agar tidak jatuh di hadapannya. Ia ingin bertanya, ingin marah, tapi tatapan punggung Faizan sudah seperti tembok yang tak bisa ditembus.
Akhirnya, dengan langkah berat, Alea berbalik menuju pintu. Dan Faizan… tetap berdiri di sana, membelakanginya, seolah kepergiannya tak berarti apa-apa.
Langkah Alea terasa gontai saat ia benar-benar meninggalkan ruangan itu. Di setiap langkahnya, ada rasa sakit yang menggantung di dada, seolah-olah sesuatu telah patah tanpa bisa disatukan kembali.
Tak ada satu kata pun keluar dari bibirnya sepanjang perjalanan pulang. Sepanjang jalan yang cukup panas, bayangan dirinya sendiri terasa seperti beban.
Sesampainya di rumah, Ibu Maisaroh langsung menghampirinya.
“Alea? Kenapa wajahmu pucat begini, Nak?” tanya sang ibu cemas, menyentuh bahunya.
Alea mencoba tersenyum, tapi jelas sekali senyuman itu hanyalah topeng. “Aku… cuma lelah, Bu,” jawabnya pelan. Suaranya nyaris tak terdengar.
Ibu Maisaroh ingin bertanya lebih jauh, tapi melihat sorot mata Alea yang kosong, ia hanya menghela napas panjang. “Kalau begitu, istirahatlah. Nanti kita bicara lagi.”
Alea mengangguk lemah melangkah menaiki tangga lalu masuk ke kamarnya. Begitu pintu tertutup, air mata yang sedari tadi ditahan akhirnya jatuh tanpa bisa dicegah. Suara isakannya teredam di balik bantal, tapi hatinya terasa berteriak sekuat mungkin.
Sementara itu, Faizan pulang ke apartemennya. Malam terasa panjang dan sepi. Begitu pintu apartemen tertutup, ia bersandar di baliknya, menutup mata, napasnya berat.
Ia mengusap wajahnya kasar, lalu berjalan ke dapur, menuang segelas air, tapi bahkan seteguk pun tak sempat ia minum. Ia hanya menatap kosong ke arah jendela besar di ruang tamu.
Dari ketinggian apartemen, lampu kota berkelap-kelip seperti lautan cahaya. Tapi di dalam dirinya, hanya ada kegelapan yang tak bisa dipadamkan.
Di atas meja kerjanya, sebuah foto saat bersama Nadia tergeletak. Faizan menatapnya lama, ekspresinya dingin tapi matanya menyimpan sesuatu yang tak bisa ditebak—penyesalan, kemarahan, atau mungkin keduanya.
Ia menghela napas panjang, lalu berkata pelan, seolah hanya untuk dirinya sendiri,
“Maafkan aku, Nadia…”
Dan malam itu pun berlalu dengan kesunyian yang semakin menyesakkan.
Pagi hari menyapa dengan cahaya matahari yang menembus tirai apartemen Faizan. Namun bagi Faizan, malam yang panjang terasa belum berakhir. Ia tertidur di sofa, masih dengan pakaian kemarin, segelas air di meja tak tersentuh, dan foto Nadia yang tetap tergeletak di sana.
Tiba-tiba, suara ponselnya memecah keheningan. Nada dering itu terdengar berulang-ulang, membuat Faizan mengerjap lelah sebelum akhirnya meraih ponsel di meja.
“Mamah”.
Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat. Jarang sekali Ibu Maisaroh menelepon sepagi ini. Ia segera menggeser layar untuk menerima panggilan.
“Assalamualaikum, Mah,” suara Faizan serak, masih dipenuhi kantuk.
Namun suara di seberang membuatnya langsung terbangun.
“Faiz… Alea, Nak… dia… dia masuk rumah sakit!” suara Ibu Maisaroh bergetar, nyaris tersendat di ujung kalimat.
Faizan mengernyit, tapi bukan karena cemas—melainkan jengkel. Ia memijit pelipisnya pelan, nada suaranya tetap dingin.
“Masuk rumah sakit lagi? Kenapa lagi dia?”
“Faiz!” suara Ibu Maisaroh meninggi, nadanya marah bercampur khawatir. “Ini bukan saatnya menyalahkan. Kau harus datang sekarang.”
Faizan hanya diam sesaat, matanya menatap kosong ke arah jam dinding. Seolah-olah berita itu bukan sesuatu yang penting, hanya beban lain yang harus ia tanggung.
“Ya, nanti Faiz ke rumah sakit,” katanya akhirnya, suaranya tetap tanpa emosi. “Faiz akan lihat sebentar. Setelah itu Faiz harus pergi, ada urusan lain.”
“Ibu tidak mengerti dengan sikapmu ini, Faiz,” suara Ibu Maisaroh pecah, penuh kecewa. “Alea itu istrimu!”
Faizan tidak menanggapi. Ia hanya menutup telepon, lalu berdiri dan melangkah menuju kamar. Gerakannya tenang, tapi jelas ada keengganan di setiap langkahnya. Dengan wajah datar, ia membersihkan diri dan mengganti pakaian, seolah-olah kabar tentang Alea hanya satu lagi masalah yang menambah tumpukan beban di kepalanya.
“Huuft… benar-benar merepotkan,” gumamnya dingin, hampir tanpa emosi.
...----------------...
Bersambung...