Di balik gemerlap lampu malam dan dentuman musik yang memekakkan telinga, seorang gadis muda menyembunyikan luka dan pengorbanannya.
Namanya Cantika, mahasiswi cerdas yang bercita-cita menjadi seorang dosen. Namun takdir membawanya pada jalan penuh air mata. Demi membiayai kuliahnya dan membeli obat untuk sang ibu yang sakit-sakitan, Cantika memilih pekerjaan yang tak pernah ia bayangkan: menjadi LC di sebuah klub malam.
Setiap senyum yang ia paksakan, setiap tawa yang terdengar palsu, adalah doa yang ia bisikkan untuk kesembuhan ibunya.
Namun, di balik kepura-puraan itu, hatinya perlahan terkikis. Antara harga diri, cinta, dan harapan, Aruna terjebak dalam dilema, mampukah ia menemukan jalan keluar, atau justru terperangkap dalam ruang gelap yang semakin menelan cahaya hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Efi Lutfiah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perlengkapan Baru
Di taman kampus, Cantika terus menatap layar ponselnya. Angka 12 juta terpampang jelas di saldo rekeningnya.
“Dengan begini, aku bisa melunasi hutang-hutang dan membeli perabotan rumah,” batinnya sambil tersenyum kecil.
Senyum itu bukan hanya karena uang, tapi karena perasaan lega, akhirnya, ada hasil nyata dari semua pengorbanannya. Walau ia sadar jalan yang ditempuhnya keliru, tetap saja ada sedikit kebanggaan di dadanya. Ia telah berani mengambil keputusan besar, menanggung risiko tinggi, dan mengorbankan harga dirinya…
Namun setidaknya, ia masih bisa berkata bahwa ia tidak sampai menjual tubuhnya.
Karena jadwal kuliah tidak terlalu padat, pukul sebelas siang Cantika sudah keluar dari kelas. Ia berjalan menyusuri lorong kampus dengan langkah ringan dan hati yang tak sabar, siang ini ia berencana membeli beberapa perabotan rumah dengan uang hasil jerih payahnya.
Namun baru beberapa meter berjalan, suara nyinyir yang sudah tak asing lagi terdengar dari belakang.
“Ehhh… lihat deh, si miskin senyum-senyum sendiri,” sindir Elsa, nada bicaranya tajam seperti biasa.
Di sampingnya, Sindi terkekeh pelan. “Haha, paling juga lagi ngelamun punya uang banyak.”
Cantika menahan napas, mencoba tetap melangkah, tapi langkahnya terhenti ketika kedua gadis itu menghadang jalan. Ia mengembuskan napas berat, menatap mereka dengan wajah jengah.
“Kalian bisa minggir gak?” ucapnya dengan suara sedikit tegas.
“Wih, udah berani melawan sekarang?” Sindi mendekat dengan senyum mengejek, lalu tanpa peringatan menarik rambut Cantika kasar. Rambutnya tersentak ke belakang, membuat tubuhnya sedikit goyah.
Lorong kampus sepi, dan itu membuat Sindi semakin leluasa. Elsa berdiri di belakangnya, ikut tertawa puas.
Kebencian mereka bukan tanpa alasan, Sindi sejak lama merasa tersaingi oleh Cantika, yang walau sederhana selalu mendapat perhatian dosen karena kepintarannya. Sedangkan Elsa… ia hanya ikut-ikutan, menikmati sensasi menjadi bagian dari pihak yang lebih kuat.
Baru kemarin Sindi sempat lega karena Cantika tak masuk kuliah. Tapi hari ini, begitu melihat Cantika kembali dengan senyum di wajahnya, amarah yang ia pendam seakan menyala lagi.
Rambut Cantika masih ditarik, tapi kali ini ia tak lagi diam. Rasa sakit di kulit kepalanya memunculkan sesuatu yang selama ini ia pendam, keberanian yang lahir dari kelelahan dipermalukan.
Dengan cepat ia menepis tangan Sindi, lalu mendorong bahunya hingga sedikit terhuyung.
“Cukup, Sindi! Aku udah capek kalian ganggu terus!” bentaknya lantang.
Elsa terperanjat, tidak menyangka Cantika yang biasanya diam kini berani melawan.
“Wihh, berani juga kamu ya!” kata Elsa, mencoba menutupi rasa gugupnya dengan tawa mengejek.
Cantika menatap mereka berdua tajam. “Kalian pikir karena aku miskin, aku pantas direndahkan? Kalian gak tahu apa-apa soal hidupku, jadi berhenti bertingkah kayak orang paling sempurna di dunia ini.”
Sindi mengepalkan tangan, hampir saja ingin membalas, tapi tatapan Cantika membuatnya ragu. Tatapan itu bukan lagi tatapan gadis lemah seperti dulu, ada api di sana, api yang bisa membakar rasa percaya dirinya sendiri.
Lorong kampus mendadak hening. Hanya suara angin dari jendela yang terbuka sedikit terdengar.
Cantika merapikan rambutnya pelan, lalu berjalan melewati keduanya tanpa menoleh sedikit pun.
Langkahnya mantap, penuh harga diri.
Elsa menatap Sindi, berbisik lirih, “Gue rasa sekarang dia udah beda…”
Sindi hanya terdiam, menatap punggung Cantika yang menjauh, punggung yang dulu rapuh, kini terlihat begitu tegas dan kuat.
Cantika berjalan dengan napas tersengal, mencoba menghindar dari tatapan dan godaan orang-orang yang menurutnya terlalu toxic.
“Huhhh… dasar, gak bosan-bosannya mereka ganggu aku,” batinnya lirih, menunduk sambil mempercepat langkah.
Beberapa menit kemudian, angkot yang ditumpanginya berhenti di depan toko mebel besar di pinggir jalan. Ia segera turun, menyerahkan ongkos dengan cepat, lalu melangkah masuk ke dalam toko.
Udara di dalam ruangan terasa lebih sejuk, tapi suasananya membuat hati Cantika justru sedikit sesak. Ia melangkah pelan, matanya celingukan ke kanan dan kiri, mencari barang yang memang dibutuhkannya, sebuah kompor kecil, meja makan sederhana, dan lemari pakaian murah.
Namun saat ia mendekati rak kompor, pandangan pelayan toko itu langsung mengarah padanya.
Tatapan sinis itu begitu nyata, menelusuri penampilannya dari atas ke bawah, dress sederhana yang warnanya mulai pudar, tas kecil yang sudah tampak usang.
Pelayan itu tidak berkata apa pun, hanya menatap datar seolah ragu Cantika mampu membeli apa pun dari toko tersebut.
Tak lama kemudian, bel pintu berbunyi kringg... menandakan pelanggan lain masuk.
Seorang wanita bergaun glamour dengan tas bermerek melangkah masuk.
Seketika, pelayan yang tadi diam langsung berubah sikap, senyumnya merekah, langkahnya sigap, dan suaranya terdengar manis.
“Selamat datang, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?” katanya ramah, nyaris berlebihan.
Cantika menatap pemandangan itu dalam diam. Ada sedikit perih di dadanya, tapi ia menegakkan punggungnya, menatap rak kompor lagi dengan tatapan penuh tekad.
“Gak apa-apa,” gumamnya pelan, “aku gak butuh mereka ramah… aku cuma butuh hidupku berubah.”
Cantika akhirnya memilih satu kompor dua tungku yang menurutnya masih masuk akal untuk dibeli. Harganya lumayan, tapi sebanding dengan kualitasnya. Ia lalu memanggil pelayan toko yang sejak tadi pura-pura sibuk di dekat pelanggan lain.
“Mas, tolong bantu catat ini ya. Saya mau beli kompor yang ini, sama meja makan kecil di sebelah sana,” ucap Cantika tenang.
Pelayan itu menatapnya sekilas, masih dengan ekspresi setengah malas. “Yang itu, Mbak? Tapi... ini lumayan mahal loh. Mau dicicil?” nada suaranya terdengar meremehkan.
Cantika menatapnya datar. “Gak, saya bayar tunai.”
Pelayan itu sempat terdiam, seolah tak percaya dengan apa yang baru didengarnya. Tapi Cantika sudah lebih dulu mengeluarkan ponselnya, membuka aplikasi mobile banking, dan menunjukkan bukti transfer penuh ke kasir.
“Sudah ya, Mas. Nanti tolong kirim ke alamat ini,” katanya sembari menulis alamat rumahnya di selembar kertas kecil.
Pelayan itu menelan ludah, ekspresinya berubah kikuk. “O-oh, baik, Mbak. Segera kami antar. Mau saya bantu bawakan nota pembelian?”
Cantika tersenyum tipis. “Gak usah repot, saya bisa sendiri.”
Ia melangkah meninggalkan pelayan itu dengan kepala tegak, membawa bukti pembayaran di tangannya. Saat berjalan melewati wanita bergaun mahal tadi, Cantika sempat menatap sekilas dan tersenyum kecil, bukan senyum sombong, tapi senyum penuh keyakinan bahwa harga diri tak diukur dari penampilan.
**
Satu buah kompor dua tungku, satu set meja makan, dua lemari pakaian, dan satu unit AC kini sudah mendarat dengan selamat di rumah baru Cantika.
Rumah kecil itu yang sebelumnya kosong dan hening, kini perlahan mulai terisi dengan kehidupan baru.
Sebelum pulang, sopir pengantar membantu Cantika menyusun dan memasang semuanya ke tempatnya masing-masing. Cantika hanya bisa mengawasi sambil sesekali mengelap keringat di keningnya. Tenaganya tak cukup kuat untuk mengangkat barang-barang sebesar itu sendirian.
“Ini upah buat Bapak. Makasih banyak, ya, udah bantu nganter dan beresin semuanya,” ucap Cantika tulus sambil menyerahkan tiga lembar uang merah.
Sopir paruh baya itu tersenyum ramah. “Sama-sama, Nona. Semoga barang-barangnya awet, ya.”
Cantika mengangguk pelan, membalas senyum itu dengan ketulusan yang sama. Setelah mobil pengantar berlalu, ia menatap rumah kecilnya dengan mata berbinar, ada rasa haru yang sulit dijelaskan.
Saat ia melangkah masuk, Bu Hasna langsung menghampiri.
“Cantika, Nak… apa kamu punya uang buat beli barang sebanyak ini?” tanyanya heran, tapi nada suaranya lembut, penuh kasih.
Cantika menatap ibunya, lalu tersenyum kecil. “Alhamdulillah, Bu. Tika dapat sedikit rezeki. Mulai hari ini, kita bangun semuanya dari nol lagi, ya. Tika janji, Tika bakal bahagiain Ibu.”
Bu Hasna terdiam sejenak, matanya berkaca-kaca sebelum akhirnya memeluk Cantika erat.
“Masya Allah… kamu anak yang baik sekali, Nak. Ibu bangga banget sama kamu,” bisiknya haru.
Cantika membalas pelukan itu sambil tersenyum. Di dadanya, ada rasa hangat yang tak bisa dibeli dengan uang sebanyak apa pun, rasa bahagia karena akhirnya ia bisa membuat ibunya tersenyum lagi.
Karena tubuhnya sudah terasa lengket dan lelah, Cantika memutuskan untuk segera mandi. Ia ingin beristirahat sejenak sebelum berangkat kerja lagi malam nanti.
Selesai mandi, tubuhnya terasa sedikit segar. Ia merebahkan diri di atas kasur baru yang masih beraroma kain pabrik, menatap langit-langit dengan senyum kecil. Pandangannya kemudian beralih ke arah lemari pakaian yang baru saja dibeli siang tadi.
“Baru ada lemari, tapi gak apa-apa deh… semoga yang lain cepat nyusul,” gumamnya pelan sambil tersenyum puas.
Tiba-tiba — ting!
Suara notifikasi ponsel yang tergeletak di meja kecil menarik perhatiannya. Cantika meraih ponsel itu, layar buramnya menampilkan pesan masuk dari Mami Viola.
(Cantika sayang, malam ini kamu datang ke klub lebih awal, ya. Ada tamu yang booking kamu malam ini, dan dia juga minta kamu menemaninya keluar setelah itu.)
Degg…
Jantung Cantika berdegup keras. Lututnya terasa lemas seketika. Ketakutan perlahan merayap di dadanya, khawatir jika orang itu berniat berbuat yang tidak-tidak.
Belum sempat ia menenangkan diri, pesan lain masuk lagi.
(Gak usah khawatir soal tips, kamu akan dapat 20 juta malam ini.)
Mata Cantika membesar, menatap layar ponselnya tak percaya.
“Dua… puluh juta?” suaranya lirih, hampir tak terdengar.
Ia duduk perlahan di tepi kasur, ponsel masih tergenggam erat di tangan. Ada gemetar halus di ujung jarinya, antara godaan besar dan rasa takut yang menyesakkan dada.