Pertempuran sengit di akhir musim kedua mengubah segalanya. Xander berhasil menundukkan Edward dan sekutunya, namun harga yang harus dibayar sangat mahal: darah, pengkhianatan, dan tumbangnya Evan Krest—sekutu terkuat yang selama ini menjadi sandaran kekuatannya.
Kini, di season ketiga, badai yang lebih besar mulai berhembus. Cincin takluk yang melilit jari para musuh lama hanyalah janji rapuh—di balik tunduk mereka, dendam masih menyala. Sementara itu, kekuatan asing dari luar negeri mulai bergerak, menjadikan Xander bukan hanya pewaris, tapi juga pion dalam permainan kekuasaan global yang berbahaya.
Mampukah Xander mempertahankan warisannya, melindungi orang-orang yang ia cintai, dan menjaga sisa-sisa kepercayaan sekutu yang tersisa? Ataukah ia justru akan tenggelam dalam lautan intrik yang tak berujung?
Pewaris Terhebat 3 menghadirkan drama yang lebih kelam, pertarungan yang lebih sengit, dan rahasia yang semakin mengejutkan.
SAKSIKAN TERUS HANYA DI PEWARIS TERHEBAT 3
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BRAXX, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Dalton dan Jasper sontak terkejut, mendekat pada Ruby dengan tatapan tak percaya.
"Ezra sudah mengetahuinya?" tanya Dalton memastikan, "Bagaimana dia mengetahuinya?"
Ruby menyeka tangis yang kembali muncul. "Ezra melakukan tes DNA."
"Lalu apa yang terjadi padamu ketika Ezra mengetahuinya?" Jasper mengamati Ruby dari atas hingga bawah. "Apa dia bertindak kasar padamu?"
Ruby tercenung, memejamkan mata erat-erat, kembali teringat kejadian saat itu. Meski sangat terhina dan menderita karena kebohongannya, Ezra nyatanya masih memperlakukannya dengan baik. Hal itulah yang membuatnya semakin mencintai Ezra dan tidak ingin kehilangan pria itu.
Ruby tidak berani membayangkan jika seandainya harus bercerai dari Ezra. Edgard pasti akan sangat terluka karena hal itu, ditambah bagaimana nasib anak dalam kandungannya.
"Ezra sama sekali tidak bertindak kasar padaku. Dia masih memperlakukanku dan Edgard dengan sangat baik bahkan sampai saat ini."
Dalton dan Jasper saling menatap satu sama lain.
"Bagaimana respons Ezra setelah kau hamil anaknya?" Dalton mengembus napas panjang, menjadi pusing karena memikirkan masalah ini.
"Ezra belum mengatakan apa pun."
Di balik pintu, Ezra mendengar percakapan Ruby, Dalton, dan Jasper. Ia pulang lebih cepat karena khawatir pada kondisi Ruby meski masih dikuasai amarah hingga kini.
"Dalton dan Jasper sudah tahu jika Ruby mengandung anak Edward. Mereka bertiga sudah membohongiku dan menghina dan keluargaku."
Ezra menjauh dari ruangan, mengambil jalan memutar, berpura-pura menemui Mila dan yang lain di halaman samping.
"Ezra, kau pulang lebih cepat. Mereka datang untuk menjenguk Ruby," ujar Mila.
Ezra mengangguk, memaksakan senyuman. Sepanjang malam, ia berpikir mengenai kemungkinan keluarga Ashcroft yang mengetahui soal status Edgard.
"Ezra, aku berharap cucuku sekarang adalah perempuan. Aku akan dengan senang hati membelikan gaun-gaun cantik untuknya. Aku sudah lama tidak mendandani bayi perempuan." Mila tersenyum tulus, terlihat bangga.
Ezra tertegun, berusaha melihat kebohongan di mata Mila. Akan tetapi, ia tidak melihatnya setelah menyelami mata mertuanya itu.
"Ezra, kau baik-baik saja?" Mila terkejut karena Ezra tiba-tiba diam. "Kau tampak pucat sejak semalam. Jika kau tidak keberatan, aku bisa menjaga Ruby untukmu."
Ezra menoleh pada Dalton dan Jasper yang datang mendekat. Tatapannya menajam sesaat meski dengan cepat kembali seperti biasa. "Akhir-akhir ini, aku seringkali pulang larut malam karena pekerjaanku. Aku mungkin membutuhkan sedikit waktu lebih banyak untuk beristirahat dari pekerjaanku."
Dalton, Jasper, dan yang lain memilih pamit setelah berbincang beberapa saat.
Ezra mengintip Mila yang tengah menjaga Ruby sekaligus bermain dengan Edgard di kamar. "Apa Ibu tidak mengetahui jika Edgard adalah putra dari Edward?"
Ezra menutup pintu perlahan, mengembus napas panjang. Ia berbaring di kasur untuk beristirahat. Kepalanya sangat berat dan hatinya sangat lelah karena masalah ini.
Mila memangku Edgard yang sudah mengantuk ke dalam kamar. Ketika melewati kamar tamu, ia tidak sengaja melihat Ezra yang tengah tertidur. "Ezra pasti sangat kelelahan."
Mila kembali ke kamar Ruby setelah menidurkan Edgard. Ia membereskan beberapa barang di kamar saat Ruby mulai beristirahat. Suasana hatinya sangat gembira sebab akan mendapatkan cucu kedua.
Mila terdiam ketika melihat sebuah kertas bertuliskan nama rumah sakit terkenal di tong sampah. Ia menatap Ruby yang sudah tertidur, memutuskan mengambil kertas tersebut.
Mila duduk di kursi, tersenyum karena mengira surat itu adalah surat yang menerangkan keadaan Ruby yang tengah hamil. Akan tetapi, harapannya seketika sirna ketika membaca informasi di kertas. Satu tangannya dengan cepat menutup mulut yang terbuka lebar.
Mila merasa disambar petir di siang bolong. Seluruh tubuhnya terasa sangat kaku. Kertas di tangannya terjatuh dan ia hanya bisa membeku selama beberapa waktu di sofa. Setelah kesadarannya kembali, Mila mengambil kertas, lalu kembali membaca isinya.
Mila membaca informasi hingga berkali-kali dengan tangan gemetar. Kertas di tangannya kembali terjatuh bersamaan dengan tubuhnya yang ambruk ke belakang. "Astaga, apa maksudnya semua ini?"
Mila menatap Ruby, memijat kepalanya yang pening. Ia memang merasa Ruby tengah bertengkar dengan Ezra. "Apa mungkin karena masalah ini? Apa yang sebenarnya terjadi?"
Mila keluar dari kamar ketika mendengar suara Edgard di luar. Ia mendapati cucunya itu tengah mengintip kamar di mana Ezra tertidur "Apa yang kau lakukan, Edgard?"
"Aku sedang melihat ayah tidur. Aku ingin tidur bersamanya, tapi aku tidak ingin mengganggunya." Edgard tiba-tiba menangis. "Ibu dan Ayah sepertinya bertengkar karena aku nakal."
Mila memangku Edgard, mengamati anak kecil itu saksama. Ia terkejut ketika merasa wajah Edgard mirip dengan Edward. Ketakutannya dengan cepat tumbuh.
"Nenek, apa kau baik-baik saja?" tanya Edgard.
Mila memejamkan mata erat-erat. "Nenek baik-baik saja. Nenek akan menemanimu tidur siang. Ayahmu hanya sedang kelelahan.”
Mila memejamkan mata erat-erat ketika keluar dari kamar Edgard. Kepalanya terasa sangat berat seperti ditusuk ribuan jarum. "Aku harus bertanya pada Ruby mengenai hal ini."
Mila memasuki kamar Ruby, terdiam ketika melihat putri semata wayangnya terduduk di sisi kasur dengan tatapan kosong.
"Di mana Edgard, Bu? Aku harus–”
Mila mengunci pintu, menunjukkan hasil tes DNA ke hadapan Ruby. "Katakan, apa maksudnya ini, Ruby?”
Ruby sontak berdiri, berusaha merebut hasil tes DNA, tetapi Mila lebih dahulu mengambilnya. "Bu, itu bukan seperti yang kau pikirkan.
Aku mohon dengarkan penjelasanku lebih dulu."
"Apa yang sudah kau lakukan, Ruby?" Mila melotot tajam, menahan emosi sekuat mungkin. "Kenapa kau membohongi ibumu sendiri?"
Ruby terjatuh ke lantai. "Bu, aku mohon dengarkan penjelasanku lebih dulu. Aku-"
"Katakan, siapa ayah kandung Edgard sebenarnya?” Ruby tiba-tiba menangis, tak kuasa melihat wajah kecewa Mila.
"Apa Edgard adalah anak kandung Edward?"
Ruby memejamkan mata erat-erat, perlahan berdiri dengan kaki yang goyah. Belum usai masalahnya dengan Ezra dan sekarang ibunya justru mengetahui rahasianya.
"Katakan sekarang!" teriak Mila tertahan.
Ruby mengangguk perlahan, mendekat untuk memeluk Mila. Akan tetapi, ia justru mendapat tamparan keras di pipi.
Ruby sontak terkejut, menyentuh pipinya yang terasa panas dan perih. Seumur hidupnya, ini kali pertama Mila menamparnya.
"Apa yang sebenarnya ada dalam pikiranmu, Ruby? Aku sudah mengatakan padamu berkali-kali untuk tidak dekat dengan Edward, tapi kau justru bertindak bodoh dengan mengandung anaknya. Apa kau tahu apa yang sudah kau lakukan?"
Ruby menunduk dalam.
"Alexander sudah mengatakan padaku untuk berhati-hati dan menjagamu dari Edward. Jika Alexander tahu siapa Edgard sebenarnya, dia pasti tidak akan tinggal diam. Dia bisa saja mengambil Edgard dan menjauhkannya darimu. Dia juga akan menekan keluarga kita, padahal setelah konflik panjang tak berkesudahan selama bertahun-tahun, kita semua bisa hidup dengan damai saat ini. Kau membawa masalah besar bagi keluarga kita."
"Kau membuatku sangat marah, Ruby! Ezra dan keluarga Blair sangat baik padamu dan Edgard. Saat mereka mengetahui fakta ini, Keluarga Blair tidak mungkin akan tinggal diam! Mereka mungkin akan menuntut kita! Kau menyakiti orang-orang yang tulus menyayangimu."
Ruby langsung memeluk kaki Mila. "Tolong jangan tinggalkan aku, Bu. Ezra sudah mengetahui hal ini dan aku takut dia meninggalkanku. Aku tidak memiliki siapapun selain dirimu saat ini."
Mila menoleh ke arah lain, mengabaikan Ruby. Meski tidak tega tetapi amarah dan kekecewaannya jauh lebih. "Selain aku dan Ezra, siapa yang sudah mengetahui hal ini?"
Ruby memegang kaki Mila lebih erat. "Dalton dan Jasper sudah mengetahui hal ini sejak lima tahun yang lalu. Aku meminta mereka untuk merahasiakan hal ini."
Mila menarik kakinya dari Ruby. "Dasar pembuat masalah! Kenapa kau berbuat sampai sejauh ini, Ruby? Kau tidak tahu bahaya apa yang kau hadapi."
"Maafkan aku, Bu."
Mila bergegas keluar dari kamar, tak memperdulikan tangisan Ruby dan permohonnya untuk tetap berada di sini.
Mila meninggalkan kediaman Blair dengan amarah yang belum reda. Ia memaksakan senyuman ketika bertemu dengan Eze dan Noah Blair di halaman rumah.
Ezra keluar dari persembunyiannya. "Ibu ternyata tidak mengetahui hal ini."
Ezra mengintip Ruby yang tengah menangis di lantai. Amarah dan rasa cintanya tengah bertarung sengit. "Aku harus menemui Tuan Alexander untuk membicarakan hal ini.”
bahkan ada keluarga yg sudah kalah tapi gak mau mengakui kekalahan.
Sungguh di luar prediksi pembaca..
Tetap semangat & sehat selalu Thorr...
livy sepupu larson