Ketika Tuan Muda punya perasaan lebih pada maid sekaligus sahabatnya.
Gala, sang pangeran sekolah, dipasangkan dengan Asmara, maidnya, untuk mewakili sekolah mereka tampil di Festival Budaya.
Tentu banyak fans Gala yang tak terima dan bullyan pun diterima oleh Asmara.
Apakah Asmara akan terus melangkah hingga selesai? Atau ia akan mundur agar aman dari fans sang Tuan Muda yang ganas?
Happy Reading~
•Ava
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bravania, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Last But Not Least
Asmara menatap Gala yang tatapannya fokus pada foto mendiang Ibunya.
"Aku ingin Asmara menjadi pendamping hidupku nanti. Aku tak bisa menjanjikan jalan yang mudah, tapi aku berjanji akan terus bersamanya. Putrimu ini adalah bagian dari hidupku, Bi. Jadi ku harap Bibi mau merestui kami."
Kebahagiaan tak tertahan meledak di hati Asmara. Tapi seperti yang Gala bilang, perjalanan mereka tidak akan semudah itu.
"Kami akan pulang, Bi. Semoga Bibi bahagia selalu di sana."
"Ibu, Mara pergi dulu ya. Nanti Mara akan datang lagi."
Ciuman singkat Asmara berikan pada foto ibunya walau hanya dari balik lemari kaca sebelum membiarkan Gala menuntunnya pergi dari tempat peristirahatan terakhir ibunya itu.
~•~
Asmara keluar dari mobil. Menghela napas sebelum menuruti Gala yang menggandengnya untuk masuk ke mansion. Ia berkali-kali menghela napas demi mengurangi sedikit rasa khawatirnya.
Plakk
"Ayah!"
Kaki Asmara kencang berlari mendekati ayahnya yang baru saja ditampar oleh Tuan Pramadana.
"Ayah, Mara minta maaf."
Pak Alan hanya tersenyum lembut membalas ucapan lirih anaknya. Meski lebam menghias di pipi juga ujung bibir yang sedikit berdarah.
"Papa apa-apaan?!"
"Diam, kamu!"
Tatapan tajam khas milik Gala tertuju pada sang Papa yang baru saja membentaknya.
"Pak Alan, ku harap kau bisa mengajari putrimu dengan lebih baik lagi."
Asmara paham. Ini semua pasti karena dirinya yang dekat dengan Gala.
"Tuan, ini bukan salah Ayah. Saya sendiri yang melewati batas. Jangan pukul ayah lagi!"
"Berapa kali ku ingatkan padamu untuk jangan terlalu dekat dengan Gala?!"
"M-maaf, Tuan. Saya salah."
"Papa! Aku yang memulai semuanya. Aku yang menyayangi Asmara lebih dulu dan Papa tak berhak mengatur perasaan seseorang!"
"Gala, kamu lupa?! Kamu pewaris perusahaan dan hotel paling terkenal di negara ini. Apa yang akan orang-"
"Aku tak perduli apa yang orang bilang!"
Gala menaikkan nada bicaranya. Tatapan tajam tak pernah lepas dari sang Papa yang juga memandangnya penuh amarah.
"Tinggalkan dia atau keluar dari rumah ini?!"
"Baik. Aku akan keluar!"
Tangan remaja laki-laki itu menggandeng Asmara untuk membawanya pergi. Tapi gadis itu mencoba melepasnya lalu berbalik saat tangan sahabatnya tak lagi menggenggamnya.
"T-Tuan.. Saya akan pergi, tapi biarkan Gala tetap tinggal di sini. Saya tak akan mendekati Gala lagi."
Tuan Pramadana menatap Asmara yang menunduk di depannya.
"Kau yakin?"
Asmara menatap ayahnya sebentar sebelum mengangguk pelan.
"Nanti sore pergilah dari mansion ini." Meskipun amarahnya menurun, tapi nada tegas tak lepas dari cara bicara Tuan Pramadana.
"Baik, Tuan."
Asmara mendekati ayahnya. Menuntun sang ayah pergi ke paviliun mereka dibantu oleh Gala setelah sang tuan muda memaksanya.
~•~
Asmara pergi ke kamarnya begitu selesai mengobati sang ayah.
"Kamu serius? Ku mohon jangan pergi."
Gala menghentikan Asmara yang mulai mengemasi pakaiannya membuatnya mendapat helaan napas dari yang lebih muda.
"Kenapa harus aku?"
Asmara menghentikan aktivitasnya dan menatap Gala penuh tuntutan.
"Kenapa kau harus menyukaiku? Bukankah sudah sering ku ingatkan? Kau tuan ku, Gala. Dan memang tak sepantasnya seorang tuan mencintai pelayannya."
"Asmara, please! Sudah ku katakan berkali-kali kamu itu bagian dari hidupku. Harus apa aku agar kamu percaya? Ku mohon jangan pergi! Bagaimana aku jika kamu tak ada?"
Gala menunduk. Lirih suaranya saat kalimat terakhir keluar dari bibirnya.
Air mata menggenang di ujung mata Asmara. Bukan hanya Gala yang merasakannya. Ia juga sakit di sini. Tapi ia tak mau melihat ayahnya mendapat konsekuensi lebih parah lagi jika ia tetap tinggal.
Apalagi saat ayahnya bilang jika Tuan Pramadana sudah melihat fotonya dan Gala saat di panggung tadi. Resiko hukuman yang didapat ayahnya akan lebih besar. Jadi dia harus pergi. Ini keputusan yang tepat, kan?
"Kamu bilang kamu mencintaiku?"
Gala mendongak. Mengangguk yakin dengan harapan gadis yang disayanginya tak akan pergi saat pertanyaan itu didengarnya.
"Maka biarkan aku pergi dan kamu harus hidup dengan baik di sini."
"Kalau begitu aku ikut denganmu."
"Sekali saja, tolong pikirkan ayahku. Apa yang terjadi pada ayahku jika kamu ikut pergi? Selama ini Ayah sudah banyak menerima akibat karena aku terlalu dekat denganmu. Hidupku dan ayah bergantung padamu dan Tuan Besar, Gala."
pemuda itu kini terdiam. Badannya melemas begitu juga genggaman tangannya di lengan Asmara. Gadis itu sendiri melanjutkan mengemasi barangnya yang sempat tertunda.
Gala tak rela, sangat amat tak rela melepas Asmara tapi ia tak bisa memaksanya tinggal jika hidup orang yang ia sayangi terancam karena sikapnya.
Jangan dikira Asmara baik-baik saja. Ia pun sama. Bahkan ia menahan mati-matian air matanya yang sudah penuh agar tak jatuh.
Selesai mengemas barangnya, Asmara hanya duduk diam bersandar pada ujung ranjang diikuti Gala di sampingnya.
"Aku akan sangat merindukanmu nanti. Apa kau tak ingin memberitahuku kemana kau pergi?"
Gala sudah memeluk Asmara dengan kepala yang bersembunyi nyaman di ceruk leher pemuda itu, seperti kebiasaannya.
"Maaf, aku tak bisa memberitahumu dan jangan mencari ku. Jika Tuhan berbaik hati, Dia akan mempertemukan mu denganku lagi."
Si Tuan Muda menegakkan tubuhnya tanpa melepas pelukannya. Kini mereka berhadapan juga saling tatap satu sama lain.
"Aku hanya ingin kamu. Tak ada lagi selain kamu, Mara. Tak bisakah kamu tetap tinggal?"
Perlahan Gala mendekatkan wajahnya. Bibirnya menyentuh milik Asmara. Yang disentuh pun terdiam. Ini.. ciuman pertamanya.
Mata keduanya menutup. menikmati ciuman perpisahan yang entah kapan akan memiliki pertemuan.
Cukup lama sebelum Gala melepas tautan mereka lalu beralih memberi kecupan di kening Asmara. Menyalurkan semua rasa yang ia punya. Mata Asmara masih terpejam.
Nyaman, berada dalam rengkuhan Gala dengan kecupan manis di dahinya membuatnya sedikit tenang.
Tok tok tok
"Asmara, keretanya berangkat dua jam lagi. Kamu sudah berkemas?"
Meski tak ingin, namun Asmara melepas pelukan Gala setelah mendengar ayah memanggilnya.
"Iya, Ayah. Mara sudah selesai."
Gala masih betah menatapi Asmara. Mencoba merekam semua hal tentang gadis ini dengan baik.
"Aku harus pergi sekarang."
"Aku ikut. Tunggu aku di depan sebentar!"
Remaja laki-laki itu pergi begitu saja tanpa mendengar apa jawaban Asmara.
~•~
Asmara dan Gala masih duduk bersisian. Masih ada 20 menit sebelum Asmara berangkat. Tuan Alan sendiri lebih memilih menunggu di mobil setelah berpesan panjang lebar pada putri semata wayangnya itu. Ia paham kedua remaja itu butuh waktu untuk bicara.
"Asmara, jika suatu saat aku datang lagi padamu, apa kau akan menerimaku?"
"Hm? Tergantung Tuan Pramadana memberi ijin atau tidak."
Gala menggenggam tangan mungil itu.
"Tolong tunggu aku! Aku akan berusaha agar Papa mengijinkanku untuk bersamamu."
"Aku tak bisa menjanjikan apapun. Cause-"
"We never know how the future will be."
Gadis itu tersenyum mendengar kalimat yang diucapkan Tuan Mudanya.
"Dari mana kau tahu kalimat itu?"
"Em? Aku.. tak sengaja membacanya saat kau ketiduran mengerjakan tugas beberapa Minggu yang lalu."
Asmara tersenyum simpul pun juga dengan Gala. Ia ingat, ia menulis kalimat itu di buku miliknya.
"Aku ada sesuatu untukmu."
Gala melepas kalung di lehernya. Kalung berliontin batu berlian hitam pemberian Mamanya yang selama ini ia sembunyikan di balik bajunya.
"Simpan ini sebagai tanda jika aku akan benar-benar kembali padamu."
Asmara tak bereaksi apapun. Maka Gala menganggap Asmara menerima tanda bukti darinya dan memakaikan kalung itu di leher Asmara.
"Ini.. apa?"
Asmara melihat liontin pada kalung yang sudah terpasang di lehernya. Manik karamelnya berbinar. Itu berlian terindah yang pernah ia lihat.
"Ini kalung dari mendiang Mama. Bi Indah bilang, Mama menyiapkan ini untuk calon istriku nanti. Jadi kalung ini ku berikan padamu sekarang."
Gala meraih sebelah tangan Asmara. Mencium punggung tangannya sebelum menghadiahi Asmara kecupan di kening.
"Mungkin akan sedikit lama, tapi ku mohon tunggu aku."
Asmara tak bisa menahan perasaannya lagi. Ia memeluk pemuda di hadapannya itu.
"Ku tunggu."
Lirihnya saat akan melepas pelukan membuat Gala tersenyum lebar.
Drrtt.. Drrtt..
Gala melihat ponselnya. Sang Papa yang menelpon dan Asmara tahu itu.
"Pergilah! Turuti Tuan Besar jika memang kamu ingin membawaku kembali."
Sekali lagi Gala memberi kecupan di dahi Asmara bersamaan dengan mengeratnya pelukan pemuda itu. Lalu pelukan itu dilepas.
"See you soon, Ms.Pramadana."
"See you soon, Mr.Pramadana."
Asmara membalas senyuman dan lambaian tangan Gala sebelum masuk ke gerbong kereta yang sudah menantinya.
Mungkin berat, tapi ini yang terbaik bagi mereka saat ini. Entah akan jadi seperti apa mereka di masa depan, tapi untuk sekarang biarkan mereka berjalan di jalan yang mereka pilih masing-masing.
Jika Tuhan sudah berkehendak, bukankah semuanya akan menjadi mungkin?
END