Niat hati hanya ingin mengerjai Julian, namun Alexa malah terjebak dalam permainannya sendiri. Kesal karena skripsinya tak kunjung di ACC, Alexa nekat menaruh obat pencahar ke dalam minuman pria itu. Siapa sangka obat pencahar itu malah memberikan reaksi berbeda tak seperti yang Alexa harapkan. Karena ulahnya sendiri, Alexa harus terjebak dalam satu malam panas bersama Julian. Lalu bagaimanakah reaksi Alexa selanjutnya ketika sebuah lamaran datang kepadanya sebagai bentuk tanggung jawab dari Julian.
“Menikahlah denganku kalau kamu merasa dirugikan. Aku akan bertanggung jawab atas perbuatanku.”
“Saya lebih baik rugi daripada harus menikah dengan Bapak.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fhatt Trah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21. Kapan Kita Menikah
Kapan Kita Menikah
“Kamu gila ya, Bin. Nyawa taruhannya kalau aku sampai melakukan itu.” Alexa merasa ngeri juga membayangkan resiko yang harus ia hadapi.
Menikah dengan Julian memang bukan keinginannya. Menikah muda juga tidak pernah menjadi impiannya. Namun ia sudah terlanjur basah. Kenapa tidak mandi saja sekalian. Begitu pikirnya.
“Keluargaku punya dokter keluarga terbaik. Aku bisa meminta bantuannya. Dokter ini dokter profesional. Aku jamin kamu bakalan aman, Al,” bujuk Robin.
Namun Alexa menggeleng, menolak sekali lagi tawaran Robin. Jalan keluar yang diberikan Julian sebelumnya sudah merupakan jalan keluar yang terbaik. Ia ragu untuk mengambil resiko yang lebih besar dengan mempertaruhkan nyawanya.
“Aku takut. Aku tidak mau mati sia-sia,” ungkapnya.
“Alexa.” Robin mengulurkan tangan menyentuh pundak Alexa seraya menatap sepasang mata Alexa lekat-lekat.
“Jangan takut. Ada aku yang akan selalu berada di sisimu apapun yang terjadi. Setelah kamu berhasil menggugurkan kandunganmu, aku akan langsung menikahimu, Al,” imbuhnya dengan serius.
“Kamu mau menikah dengan perempuan yang sudah pernah melakukan ab*rsi? Apa kamu tidak malu?”
“Aku sudah mencintaimu sejak lama, Al. Apapun akan aku lakukan untuk kamu.”
“Apapun?”
“Ya. Apapun akan aku lakukan asal kamu menjadi milikku.”
“Kalau begitu apa kamu mau menerima anak dalam kandunganku ini sebagai anakmu sendiri?”
Kedua tangan Robin yang berada di pundak Alexa langsung ditarik kembali. Alexa memberinya pertanyaan yang sudah jelas-jelas Alexa bisa menebak sendiri jawabannya. Tidak ada satu orang laki-laki pun yang mau menerima anak dari laki-laki lain sebagai anaknya.
“Kamu sudah tidak waras? Anak itu_”
“Sudah jelas kamu tidak mau. Kalau begitu jangan minta aku untuk menggugurkan anak ini. Ayahnya saja sudah bersedia bertanggung jawab, terus kenapa aku harus melakukan tindakan bodoh itu?” sela Alexa seraya tersenyum miring.
Alexa memang belum punya pengalaman dalam percintaan. Oleh sebab itu cinta bukan hal yang mudah hadir dalam hatinya. Impian dan cita-citanya adalah menjadi wanita mandiri yang sukses. Cinta bukan prioritas baginya.
“Kamu bilang kamu mencintaiku. Kamu bahkan bersedia melakukan apapun untukku, tapi kamu tidak mau menerima anak ini. Kalau kamu cinta, kamu juga pasti bisa menerima aku apa adanya.
“Lagipula dalam hal ini aku yang salah. Aku yang sudah memberi obat pada Pak Julian. Aku bahkan tidak tahu obat jenis apa yang sudah aku berikan pada laki-laki itu. Beruntungnya dia mau bertanggung jawab. Padahal aku yang salah,” tutur Alexa panjang lebar.
Robin menelan ludah mendengar ucapan Alexa. Sebetulnya bukan hanya Alexa yang bersalah, ia juga punya andil atas musibah yang menimpa Alexa. Karena ia salah memberi obat, sehingga Alexa harus kehilangan kesuciannya.
“Tapi bukan berarti kamu harus menikah dengan Pak Julian. Kamu tidak mencintainya kan? Pernikahan tanpa cinta itu sama saja dengan neraka, Al. Kamu akan menderita seumur hidupmu.”
“Kamu lupa siapa aku, Bin. Aku Alexandra. Cinta tidak ada dalam kamus hidupku. Kehormatan dan nama baik keluargaku adalah yang utama. Harga diriku sudah berada pada titik terendah, lantas kenapa aku harus terus tenggelam sementara ada yang bersedia mengulurkan tangan demi mengangkat aku naik ke permukaan lagi.”
“Tolong pikirkan sekali lagi, Al. Aku mohon jangan mau menikah dengan laki-laki itu. Aku akan memberikan segalanya untukmu. Aku mencintaimu, Alexa.” Robin ketar-ketir karena gagal membujuk Alexa. Solusi yang ia berikan justru menjadi boomerang untuk dirinya sendiri. Ia akan kehilangan Alexa dalam sekejap, padahal bertahun-tahun ia menanti gadis itu.
“Jangan pernah bicara tentang cinta di depanku, Bin kalau kamu tidak pernah tulus. Aku sendiri bahkan tidak tahu apa itu cinta. Kalaupun aku menerima cintamu, aku ragu apakah aku tulus.
“Tapi satu hal yang pasti, selama ini aku hanya menganggap kamu teman, tidak lebih dari itu. Jadi aku rasa sebaiknya pertemuan kita sampai di sini saja. Jalani saja hidupmu dengan baik, dan mulai sekarang tolong jangan usik hidupku lagi.” Alexa kemudian memutar tubuhnya, lalu melenggang pergi meninggalkan Robin. Percuma saja ia mendatangi Robin jika tidak bisa menyelesaikan masalah.
Julian sekarang sudah kehilangan pekerjaannya. Hal itu sudah menjadi konsekuensi dari perbuatannya yang memang membuat malu universitas tempatnya bekerja. Diberhentikan adalah solusi terbaik yang diambil pihak universitas demi menyelamatkan nama baik universitas itu sendiri.
“Al, tolong dengarkan kata-kataku, Al. Kamu bakal menyesal menikah dengan laki-laki itu. Dia tidak mencintaimu, Al. Hanya aku, hanya aku yang mencintaimu!” pekik Robin demi menghentikan langkah Alexa.
Namun Alexa terus berjalan menjauh. Ia hanya menoleh sebentar sembari berkata, “Menikah tidak butuh cinta, Bin. Asalkan bisa saling memahami dan saling melengkapi. Aku juga harus menyelamatkan harga diriku. Mau aku taruh di mana mukaku nanti kalau sampai orang-orang tahu tentang keadaanku. Kalaupun sampai hal itu terjadi, sudah pasti kamu pelakunya.”
“Makanya dengerin kata-kataku. Aku bisa bantu kamu, Al. Apapun akan aku lakukan untuk kamu.”
“Sudahlah, Bin. Simpan saja kata-katamu itu.”
“Al. Aku mohon, Al.”
Upaya Robin berakhir percuma. Bayangan Alexa sudah menghilang bersama angkutan kota yang membawanya pergi dari tempat itu. Robin pun hanya bisa mengusap wajahnya kasar.
Namun bukan berarti ia menyerah begitu saja. Ia harus mencari cara merebut kembali Alexa. Ia tak ingin penantiannya bertahun-tahun juga berakhir sia-sia.
“Halo, Pa. Papa kapan pulang dari luar negeri? Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan dengan Papa,” kata Robin melalui ponselnya sembari berjalan masuk ke dalam rumah.
***
Alexa menghela napasnya panjang demi mengatasi gugup yang mendadak menyerangnya. Padahal ia belum mengetuk pintu apartemen, tapi jantungnya sudah berdegup kencang. Ia dihampiri perasaan tak karuan ketika mengambil keputusan secara mendadak.
Nama baik keluarga, juga harga dirinya akan jadi korban jika ia tidak mengambil keputusan yang tepat. Sebelum ia menjadi bahan cemoohan, juga sebelum murka kedua orangtua mendatanginya jika mereka tahu ia hamil diluar nikah, maka ia harus cepat mengambil tindakan.
Ia sudah mengulurkan tangan hendak mengetuk pintu apartemen saat kemudian pintu itu malah dibuka dari dalam. Wajah Julian langsung menyambut pandangannya saat pintu itu terbuka.
“A-ada yang ingin saya bicarakan dengan Bapak,” kata Alexa deg-degan melihat Julian hanya mengenakan kaos oblong berwarna putih dan sedikit ketat, sehingga mencetak otot lengan dan perutnya dengan jelas. Rambutnya juga tidak klimis dan rapi seperti saat pria itu sedang mengajar. Di matanya, Julian tampil santai dan apa adanya seperti ini memperlihatkan auranya yang berbeda.
“Silahkan masuk.” Julian memiringkan tubuhnya, memberi jalan pada Alexa masuk ke dalam apartemennya.
Namun, pemandangan berbeda langsung tersaji begitu Alexa masuk. Apartemen itu tidak serapi seperti biasanya. Ada beberapa kardus berukuran besar terdapat di dalam apartemen itu. Perabotannya juga terlihat berkurang.
“Silahkan duduk,” ujar Julian.
Namun Alexa tidak langsung duduk. Pandangannya justru menyapu setiap sudut ruangan.
“Bapak mau pindahan?” tanyanya penasaran.
“Iya. Tempat ini mau aku jual.”
“Kenapa?” Mendadak Alexa diselimuti perasaan bersalah. Ia mengira mungkin Julian sedang membutuhkan biaya untuk pengobatan ayahnya.
“Apa perlu aku jelaskan?”
“Eh, bu-bukan maksud saya mau kepo. Maaf. Saya hanya_”
“Apartemen ini tidak akan aku tempati lagi. Jadi daripada dibiarkan kosong, bukankah lebih baik aku jual? Hasilnya juga lumayan nanti, buat tambah-tambah biaya.”
Alexa jadi serba salah. Ia tahu mereka berdua sekarang sedang berada di situasi yang sama. Sama-sama menjadi korban obat pencahar itu.
Akan tetapi jika Alexa hanya diam saja tanpa mengambil tindakan, lambat laun kebenaran tentang dirinya akan tercium oleh khalayak. Sebab kehamilan mana yang bisa disembunyikan. Saban hari perutnya akan semakin membesar. Rahasia yang ia sembunyikan pun akan diketahui oleh banyak orang. Rahasia yang akan membuat ia kehilangan muka.
“Buat tambahan biaya?”
Julian mengangguk.
Alexa pun semakin diliputi perasaan bersalah. Ia mengira biaya yang dimaksud Julian adalah biaya pernikahan. Lalu bagaimana dengan biaya pengobatan ayahnya?
“Saya tidak minta pesta yang mewah kok, Pak. Cukup sederhana saja asalkan syarat sahnya terpenuhi,” kata Alexa yang mulai tak enak hati. Membuat dahi Julian berkerut tipis.
“Lebih jelas lagi biar aku paham.”
“Maksud saya, kapan kita menikah?”
To Be Continued ...
nanti setelah nikah
kamu jerat dia dengan perhatian tulusmu
Maka cinta Akan melekat dalam hati alexa
jangan lupa
sering Bawa ke panti asuhan
melihat bagaimana kehidupan kecil tanpa ibu /ayah
akhirnya menerima pernikahan
kamu gak tau alexa, klo pak Julian anak tunggal perusahaan yg kau incar ditempat lamaranmu kerja
selamat buat nona kecil/Rose//Rose//Rose/
kaget gak tuh Al