Sagara mengalami hilang ingatan setelah kecelakaan tragis, tidak ada kenangan Lania dalam pikirannya.
Lania merasa sedih, terlebih-lebih Sagara hanya mengingat sekertaris-nya yang tak lain adalah Adisty.
Peristiwa ini dimanfaatkan Adisty untuk menghasut Sagara agar menceraikan Lania.
Lantas, dapat kah Liana mempertahankan rumah tangganya?
Apakah ingatan Sagara akan kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon megatron, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sulit Disentuh
Langit mendung menggantung di atas landasan pacu saat Sagara dan Adisty menunggu jadwal boarding mereka. Perjalanan ini mendadak—klien dari luar kota mengubah jadwal pertemuan, dan hanya Sagara dan Adisty yang bisa berangkat mewakili tim utama.
Sagara tampak tenang di luar, tapi pikirannya masih diliputi sisa percakapan dengan Lania dua malam lalu. Lania tidak menyetujui perjalanan bisnis ini. Akan tetapi, kolega kali ini bukan orang sembarang, tidak ada yang perlu dipilih.
Dengan penuh penyesalan, Sagara tetap berangkat, sedangkan Lania tidak lagi banyak bertanya. Namun, justru itu yang membuatnya gelisah. Tatapan Lania terakhir kali terasa seolah-olah... dia kembali menaruh curiga.
Adisty duduk di sampingnya, memainkan boarding pass di tangannya. “Kamu diam banget, masalah sama Lania sudah selesai kan?” katanya sambil melirik ke arah Sagara.
“Ya, kami sudah berbaikkan," terang Sagara murung dan hanya menoleh singkat. “Mungkin pengaruh kehamilan.”
“Syukurlah, bukan lagi aku yang disalahkan.” Adisty bertanya dengan nada santai, pura-pura tak peduli.
“Ayolah, Dis,” ucap Sagara, “Lania hanya terlalu takut aku jadi seperti Pandu, yang ... tidak perlu aku perjelas kan?”
Adisty menghela napas. “Maaf ya, aku nyebut soal Pandu hari itu. Tapi... aku cuma nggak pengen kamu dibohongin.”
Senyum tipis tersungging miring di bibir, Sagara menatap lurus. “Lania bukan orang yang gampangan, sedangkan Pandu pria bodoh malang.”
Seperti ingin memasukkan racun ke kepala Sagara, Adisty tersenyum tipis. “Orang bisa beruba, Ga. Apalagi kalau terus-terusan diberi perhatian, dipedulikan.”
“Maksudmu aku kurang perhatian, tidak peduli sama Lania?”
“Bukan gitu.” Takut terlalu kentara, Adisty menambahkan dengan nada sangat halus, seperti embusan racun di antara udara pesawat. “Kadang perempuan yang merasa kesepian, akan cari pelarian. Bukan berarti dia jahat. Cuma... kehilangan arah.”
“Gila, Lania bukan wanita seperti apa yang kamu bilang, Dis.” Sagara menoleh, menatap Adisty kali ini dengan tajam, sedangkan Adisty menahan tatapan itu dengan wajah tenang dan penuh simpati.
“Oke, aku tau, tidak seperti kita yang dulu sering keluar masuk tempat hiburan malam,” gerutu Adisty, lantas menoleh ke arah jendela—dia melihat awan putih menggumpal di langit biru.
Setelahnya, tidak ada percakapan. Sagara asyik membaca ulang materi. Adisty tampaknya sudah tertidur pulas di kursi sebelah.
***
Malam hari, keduanya baru tiba di hotel yang sudah dipesan Adisty jauh-jauh hari. Kamar mereka tentu saja terpisah. Namun, saat makan malam selesai, wanita itu mengetuk kamar Sagara dengan membawa dua botol minuman kecil dan dua gelas plastik dari mini bar.
“Daripada bengong sendirian,” ucap Adisty riang. “Cuma sebentar.”
Meski ragu, Sagara ragu tetap membiarkan Adisty masuk. Masing-masing duduk di sofa kecil, tidak terlalu dekat. Sagara memutar gelas di tangannya. “Kamu tidak takut sama gosip?”
Tawa anggun menggenggam, Adisty menyisakan senyum sebelum menanggapi perkataan Sagara. “Sejak kapan kamu memedulikan gosip? Gosip cuma bahaya buat orang yang punya sesuatu untuk disembunyikan. Aku tidak punya apa pun untuk dijadikan bahan.”
Sagara tertawa pelan, tapi tidak menjawab. “Mereka dungu, kelihaian mu lah yang menghentikan orang-orang mengorek informasi pribadimu.”
“Tidak selihai itu, aku hanya beruntung ... ,” kata Adisty termenung beberapa detik, “yang mereka butuhin bukan omong kosong dari mulut ke mulut, tqpi bukti… .”
Sagara terdiam lama, lalu berpindah tempat, ada sesuatu yang berbisik agar mengambil jarak.
Udara malam menggantung dingin di lounge hotel berbintang lima tempat mereka menginap. Lampu kuning keemasan menciptakan suasana remang yang nyaman namun ambigu. Musik jazz instrumental mengalun pelan dari speaker tersembunyi.
Sagara duduk di sofa panjang, meletakkan gelas kosong sambil memandangi layar tablet yang menampilkan presentasi esok hari. Matanya tampak lelah, tapi pikirannya lebih berat dari sekadar angka dan strategi.
Adisty datang dengan botol yang baru dituang dua gelas. Dia mengenakan blouse satin abu-abu gelap dan celana bahan rapi. Rambutnya digelung longgar, ada kesan santai yang disengaja.
“Kamu tidak tidur?” tanya Sagara pelan, melirik Adisty yang duduk tak jauh darinya.
Dengan muram Adisty menggeleng, tetapi Sagara tidak menoleh. “Bersantailah Sagara, aku sudah menyusun poin-poin penting untuk besok.”
Dalam jenjang waktu cukup lama, Sagara tersenyum tipis, menyandarkan tubuh ke sofa. “Aku sudah begitu sering membebanimu dengan urusan kantor dan sudah sepantasnya aku juga memeriksa ulang sebelum rapat besok.”
“Aku sudah pastikan semuanya aman,” jawab Adisty pendek.
Sesaat hening. Adisty menyeruput minumannya perlahan. Lalu berkata, “Kamu sengaja mengacuhkan aku karena Lania.”
Sagara akhirnya menoleh. Ada kilatan kaget di matanya, dia tidak membantah ucapan Adisty.
“Aku tahu seharusnya menyingkir dari hidupmu, Ga. Aku gak bisa beban perusahaan kamu pikul sendiri,” lanjut Adisty. Suaranya rendah, seolah tulus.
Tawa Sagara pecah bersama desahan. “Dis, aku tidak mau jadi alasan kamu tetap melajang karena sibuk berkarier. Dan, mengenai Lania, aku berusaha tidak membuat dia salah paham. Itu aja.”
Masih masang wajah sedih, Adisty mengangguk pelan. “Bukan karier yang membuatku lama melajang, tapi ... aku paham mengenai Lania, karena itu aku berusaha membuka hati untuk Tegar.”
Tatapan Sagara teduh, “Mengenai Tegar, kamu kenal dia dari atau sewaktu di mana?”
Adisty berpura-pura ragu sejenak, lalu menatap Sagara dengan mata sayu. “Itu tidak penting, yang jelas kami punya hubungan spesial, untuk membungkam kasak-kusuk orang di balik punggung.”
Tangan terayun menyentuh lengan Adisty—singkat, Sagara tidak bisa terlalu dekat—takut disalahartikan. “Kamu selalu jadi sosok kuat, tapi bahkan yang kuat pun butuh tempat bersandar. Semoga Tegar menjadi pilihan yang tepat.”
Jauh di dalam dada Adisty menahan napas. Sentuhan itu, meski ringan, menimbulkan gelombang lain dalam pikirannya. Dia tahu ini percakapan biasa, tetapi tidak idak menghentikan niatnya selama ini.
“Aku pun berharap begitu,” bisik Adisty.
Sagara akhirnya berdiri, menjauh, menatap jendela kaca besar lounge yang menghadap lampu kota.
“Segeralah memilih waktu baik,” kata Sagara pelan. “Jangan terlalu lama mengulur niat baik. Apa perlu aku selidiki latar belakang Tegar?”
Sekonyong-konyong Adisty bangkit. Berusaha menutupi gugup dengan senyum—tenang, nyaris menang. Dia tahu harus mengalihkan topik lain.
“Omong-omong udah larut, kalau kamu mau lanjut monggo,” pungkas Adisty, “Aku mau balik kamar dulu, tidur terlalu malam bikin cepat tua.”
“Ha ha ha, ya ya, istirahatlah. Sampai jumpa besok pagi,” sambut Sagara.
Dan malam itu, saat kembali ke kamar Adisty merasakan perubahan angin yang mulai menerpan. Dia tidak berhasil mengoyak satu lapis lagi dari tembok hati Sagara.
Satu langkah lebih dekat ke tujuannya kembali renggang karena ketidakbecusan orang suruhannya, karena peristiwa itu Sagara makin sulit disentuh.
jujur selain hasutan nenek lampir, atau ingatan ttg Lania, smp saat ini keinginan sagara sendiri ga jelas
kamu dapat inspirasi dari mana jal
hai sayang. aku datang karena penasaran