Dewi, seorang pelayan klub malam, tak sengaja menyaksikan pembunuhan brutal oleh mafia paling ditakuti di kotanya. Saat mencoba melarikan diri, ia tertangkap dan diculik oleh sang pemimpin mafia. Rafael, pria dingin dengan masa lalu kelam. Bukannya dibunuh, Dewi justru dijadikan tawanan. Namun di balik dinginnya Rafael, tersimpan luka dan rahasia yang bisa mengubah segalanya. Akankah Dewi bisa melarikan diri, atau justru terperangkap dalam pesona sang Tuan Mafia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 23
Pagi itu langit tampak cerah, sinar matahari menembus celah tirai besar di ruang makan. Aroma roti panggang dan telur rebus memenuhi udara, berpadu dengan wangi teh melati yang mengepul dari cangkir di hadapan Dewi. Ia duduk di kursi makan, mengenakan gaun santai berwarna pastel, rambutnya diikat setengah, wajahnya tampak lembut meski sedikit pucat karena kehamilan.
Rafael duduk di seberangnya, dengan ekspresi seperti biasa. dingin dan nyaris tak terbaca. Ia memandangi tablet kecil di tangannya, seolah tak terusik oleh kehadiran siapa pun. Tapi diam-diam, matanya melirik ke arah Dewi sesekali.
Dewi menggigit bibir pelan, lalu memberanikan diri bertanya dengan nada setengah berbisik, nyaris seperti seorang anak yang meminta izin dari ayah yang galak.
“Rafael…” panggilnya lembut.
“Hm?” sahut Rafael tanpa mengalihkan pandangan dari layar.
“Aku boleh keluar hari ini?” tanyanya penuh harap. “Aku ingin menemui temanku… Sudah lama sekali aku tidak bertemu dengannya. Boleh ya? Kumohon…”
Rafael diam. Lalu ia meletakkan tabletnya perlahan. Wajahnya tetap tak menunjukkan emosi, tapi dalam hatinya ada gejolak yang sulit ia pahami. Ia tahu dunia di luar sana tidak pernah benar-benar aman. terutama bagi seseorang yang kini menjadi pusat kelemahannya. Dan lebih dari itu, Malik masih hidup. Mengendap-endap entah di mana.
“Kemana?” tanyanya, nadanya tetap dingin.
“Ke sebuah kafe kecil di pusat kota. Aku janji hanya sebentar…”
Rafael menghela napas panjang. Dadanya terasa berat. Tapi pada akhirnya, ia tahu ia tak bisa mengekang Dewi selamanya. Ia hanya mengangguk pelan lalu bangkit dari kursinya.
“Marco,” panggilnya sambil berjalan ke arah pintu geser samping.
Dari balik lorong, Marco muncul. “Ya, Tuan?”
“Panggil Juno. Dia ada di gudang belakang.”
“Baik, Tuan.”
Tak lama, suara langkah berat terdengar mendekat. Seorang pria bertubuh tinggi besar dengan wajah kasual dan ekspresi santai muncul. Juno, salah satu orang Rafael yang paling ia percayai. Ia mengenakan jaket kulit dan celana hitam, rambutnya sedikit acak-acakan, tapi matanya tajam seperti srigala.
“Ada apa?” tanyanya santai sambil menarik kursi dan duduk tak jauh dari Rafael.
“Istriku ingin menemui temannya. Aku ingin kau ikut bersamanya.”
Juno mengangkat alis. “Aku? Jadi pengawal sekarang?”
“Ya. Pastikan dia baik-baik saja. Laporkan apa pun yang ia lakukan.”
“Baiklah,” jawab Juno cepat, tanpa membantah lebih lanjut. Ia berdiri, meregangkan bahunya. “Aku akan menunggu di mobil.”
Lalu ia berjalan santai keluar ruang makan, meninggalkan suasana yang tiba-tiba terasa hening.
Dewi menyelesaikan sarapannya perlahan. Setelah itu, ia bangkit dan masuk ke kamar untuk berganti pakaian. Gaun panjang berwarna gading ia kenakan, rambutnya ia biarkan terurai. Wajahnya berseri, lebih karena semangat untuk keluar dari rumah megah itu setelah sekian lama merasa seperti burung dalam sangkar.
Rafael menunggu di ruang tamu, berdiri dengan tangan bersilang di dada. Saat Dewi muncul, ia segera mendekat dan mengantarkannya hingga ke depan pintu besar rumah mereka.
Mata Rafael menatap perut Dewi yang perlahan mulai membulat. Sorot matanya berubah sedikit. lebih lembut, tapi tetap penuh kekhawatiran.
“Hati-hati. Ingat, kau sedang hamil. Jangan terlalu lelah.”
Dewi tersenyum kecil. “Iya, iya... aku akan berhati-hati. Kau tak perlu khawatir.”
Rafael tak menjawab. Ia hanya mengangguk pelan. Namun matanya lalu menatap tajam ke arah Juno yang berdiri tak jauh dari mobil hitam yang sudah siap.
“Jaga dia. Pastikan dia baik-baik saja. Beritahu aku semua yang ia lakukan.”
Juno mengangkat tangan setengah, ekspresi malasnya tak bisa disembunyikan. “Iya, iya… kau cerewet sekali hari ini...”
Rafael tak menanggapi. Ia hanya berdiri diam, menatap Dewi saat wanita itu melangkah turun tangga depan rumah. Ini pertama kalinya ia membiarkan Dewi keluar rumah sejak kehamilannya diketahui. Dan meski luar tampak tenang, pikirannya penuh dengan skenario terburuk.
Dewi masuk ke mobil, duduk di kursi belakang, dan menatap ke arah Rafael dari balik jendela. Pria itu masih berdiri di depan pintu, seperti patung penjaga gerbang, dingin dan waspada.
Mobil pun melaju perlahan. Jalanan mulai terbuka lebar di depan Dewi. dan tanpa ia sadari, ada mata lain yang sedang memperhatikannya. Di kejauhan, Anjar sedang menyiram tanaman di halaman luas tersebut. Namun matanya tak pernah lepas dari Rafael dan juga Dewi.
segera ia bersembunyi di balik pepohonan, untuk menghindari kamera pengintai. Ia merogoh ponselnya, lalu mengirim pesan singkat kepada Malik.
" Dewi pergi ke sebuah kafe di pusat kota. Di temani oleh orang kepercayaannya Rafael. Dan orang tersebut tidak kalah berbahayanya dari tuannya."
pesan terkirim. Dan tak lama kemudian sebuah notifikasi masuk. Sejumlah uang masuk ke rekening Anjar. Pria itu tersenyum melihat nominal uang tersebut. Setiap kali ia memberikan informasi. Malik akan mengirimkan uang yang tidak sedikit.
...
Suasana kafe Teladan di pusat kota begitu ramai siang itu. Musik jazz pelan mengalun di antara aroma kopi dan suara langkah kaki yang berseliweran. Namun di sudut terdalam kafe, duduk dua sosok yang tampak tak ingin dikenali. Topi lebar dan masker menutupi hampir seluruh wajah mereka. Matteo dan Clara.
Clara menggenggam erat cangkir kopinya. Tangannya sedikit gemetar. Matteo menatap jam tangannya berkali-kali, gelisah. Mereka sudah menunggu selama dua puluh menit.
“Apa kau yakin dia akan datang?” tanya Clara dengan suara lirih.
“Ia mengirim pesan singkat pagi tadi, lewat jalur aman. Dia bilang Rafael mengizinkannya keluar hari ini. Tapi aku tetap merasa ini berbahaya,” jawab Matteo, suaranya dalam dan penuh kekhawatiran.
Tak lama kemudian, pintu kafe terbuka.
Dewi melangkah masuk, mengenakan gaun sederhana, matanya tampak tajam mencari seseorang di dalam ruangan. Di belakangnya, Juno berjalan dengan jarak beberapa langkah, memperhatikan setiap sudut dengan pandangan seperti binatang buas. Ia tidak duduk. ia berdiri tak jauh dari pintu, bersandar santai pada dinding namun siap bergerak kapan saja.
Mata Matteo dan Clara langsung membelalak.
“Ya Tuhan…” desah Clara pelan, nyaris tidak percaya.
Dewi berjalan cepat menuju mereka, dan sebelum sempat berkata apa-apa, Clara bangkit dan langsung memeluknya erat, menggigil dalam pelukannya.
“Dewi… aku sangat merindukanmu. Aku pikir… aku pikir kau sudah…” Suaranya pecah, matanya berkaca-kaca. Ia tak sanggup melanjutkan perkataannya.
Dewi memeluknya balik, menahan tangis.
“Aku baik-baik saja… Aku masih hidup, Clara… Kau tidak perlu khawatir…”
Matteo bangkit perlahan, matanya menatap Dewi dengan emosi campur aduk.
“Bagaimana kau bertahan hidup dengan monster itu?” tanyanya pelan, hampir tak percaya.
Namun tatapannya langsung berubah saat ia melihat seseorang berdiri di belakang Dewi.
Juno.
Mata Matteo langsung menyipit. Clara pun menegang, tubuhnya kaku. Mereka tahu siapa Juno. Dia bukan sekadar pengawal. Dia adalah tangan kanan Rafael. Dan jika Juno berada di sini… maka setiap kata yang mereka ucapkan bisa menjadi peluru yang membunuh mereka sendiri.
Dewi, menyadari ketegangan itu, langsung angkat bicara.
“Kalian tidak perlu khawatir… Aku bisa mengatasinya...”
Dengan canggung, mereka duduk kembali. Obrolan pun berlangsung, pelan namun dalam. Dewi menjelaskan bahwa ia kini tinggal di rumah Rafael, bahwa pria itu menikahinya… dan bahwa kini ia sedang mengandung.
Clara membekap mulutnya sendiri. Matteo menatap Dewi seakan tak percaya.
“Kau… menikah dengannya? Rafael?!” desis Matteo tajam.
“Itu… itu gila. Dia tak pernah… menyukai siapa pun. Bahkan menyentuh wanita saja dia enggan. Kau tahu artinya kalau dia sampai menikahimu dan...” Ia terdiam, menatap perut Dewi sejenak.
“Dan menghamilimu…”
“Aku tahu,” ucap Dewi pelan.
“Aku tahu dia bukan pria biasa. aku tau ini sangat menyakitkan. Tapi aku tidak punya pilihan lain, aku sudah mencoba kabur beberapa kali. Tapi ia tetap dengan mudah menemukan ku.”
" Dan pada akhirnya, aku sadar. Cara bertahan hidup adalah dengan mengikuti semua keinginannya."
Matteo menggertakkan rahangnya.
“Itu bukan cinta, Dewi. Itu obsesi. Jika kakakku melakukan ini… artinya dia menganggapmu miliknya. Selamanya.”
Mereka pun diam sejenak. Clara menggenggam tangan Dewi dengan lembut. “Apapun yang terjadi, kau tetap punya kami.”
Pertemuan itu pun usai setelah satu jam. Juno berdiri tegak begitu Dewi bangkit dari kursinya. Mereka berpamitan cepat. Dewi tersenyum samar sebelum meninggalkan kafe.
Namun apa yang menantinya di rumah jauh lebih dingin daripada udara sore itu…