Pernikahan adalah mimpi setiap gadis.
Tapi tidak bagi Zia.
Bukan malam itu.
Bukan di altar itu.
Dan—terutama—bukan dengan pria itu.
Yang Zia tahu, Viren Kaeshiro adalah pengusaha muda yang jenius, berkuasa, dan sempurna.
Begitu kata semua orang. Begitu kata kakaknya, Alin.
Tapi di balik jas mahal dan perusahaan teknologi raksasa,
Viren adalah pemimpin Cinderline—organisasi bayangan yang tak tersentuh hukum dan tak dikenal dunia.
Dan malam itu…
Zia baru saja menikahi seorang iblis bersetelan jas.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaruArun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 29 PELANGI DAN MALAM
Matahari terbit malu-malu dari balik tirai awan, cahayanya menembus perlahan dan menyentuh dunia yang baru saja menggeliat dari tidur. Angin pagi menerpa lembut dinding luar Calligo, tapi tak sanggup menembus ke dalam kehangatan yang masih menyelimuti rumah besar itu.
Emi telah sibuk di dapur sejak fajar, para penjaga berganti sif dengan disiplin yang nyaris sunyi, sementara tuan rumah masih terlelap dalam dunia masing-masing.
Di kamar utama, Zia menggeliat pelan di atas ranjang.
“Agh!”
Satu jeritan kecil lepas dari bibirnya. Lehernya terasa kaku, menusuk nyeri saat ia mencoba mengangkat kepala. Napasnya tertahan, wajahnya meringis menahan rasa sakit.
Seseorang di sebelahnya bergerak. Viren membuka mata perlahan, kerutan samar muncul di keningnya.
“Kenapa berteriak?” Suaranya masih berat, serak khas pagi hari.
Zia memejamkan mata. “Aku... leherku kaku... sakit sekali,” rintihnya pelan.
Viren bangkit, duduk di ranjang dan menyibakkan selimut. Ia mendekat, matanya menatap Zia tanpa ekspresi yang bisa ditebak.
“Kemarikan lehermu.”
Zia menoleh setengah, namun ragu. “Kau mau apa?”
“Aku akan bantu, percaya saja.”
Zia menggeleng kecil, tapi rasa sakit yang tak tertahankan membuatnya pasrah. Ia menunduk, membiarkan Viren menyentuh sisi lehernya.
Sentuhan itu hangat. Jari-jari Viren menemukan titik yang tegang, lalu perlahan memutar kepalanya ke sisi lain—sampai terdengar suara kecil, krek.
“Auhh—!” Zia memekik, refleks tubuhnya mundur.
Tanpa pikir panjang, Viren menariknya ke dalam pelukan. Lengan kokohnya melingkari bahu Zia, menenangkan tubuh yang gemetar oleh kejutan kecil tadi. Gerakannya tenang, seolah ia tahu persis apa yang harus dilakukan untuk meredakan kepanikan.
“Sakit...” gumam Zia lemah, napasnya berat.
“Tenang… hanya reaksi otot. Akan hilang sebentar lagi,” bisik Viren, suaranya hampir seperti gumaman di dekat telinga.
Kepala Zia bersandar di dadanya. Ia bisa mendengar detak jantung pria itu, kuat dan stabil. Aroma sabun yang lembut tercium samar dari kulitnya—bau yang sama yang ia kenali dari perjalanan mereka di mobil, dan saat mereka berdua tertidur di bukit hijau tempo hari.
Bukit hijau…
Ingatannya kembali ke sana. Pada momen ketika Viren tertidur di sampingnya, damai seperti sekarang. Seolah dunia di luar tak pernah menyentuh mereka.
Apa mereka memang selalu seperti ini—sedekat ini—tapi ia baru menyadarinya sekarang?
Pelukan itu bertahan beberapa detik sebelum Viren melepaskannya perlahan.
“Sudah lebih baik?” tanyanya, suaranya pelan namun mantap. Tatapannya menusuk, namun tidak menuntut.
Zia menunduk, bibirnya tertarik pada senyum malu-malu. “Iya… terima kasih.”
Viren berdiri, mengambil tablet yang tergeletak di meja kecil. Ia tidak langsung pergi. Matanya sempat kembali ke arah Zia yang masih duduk dengan rambut acak dan pipi yang memerah karena kehangatan momen barusan.
Tak ada kata lagi. Tapi udara di antara mereka sudah berubah.
Hari itu hari Minggu. Viren tetap di rumah, tapi kesibukannya tak berkurang. Jemarinya lincah di atas layar tablet, tenggelam dalam dunia data dan laporan.
Zia memperhatikan dari jauh. Dengan overall rok selutut dan kaus putih sebagai dalaman, ia tampak lebih seperti adik kecil Viren daripada seseorang yang mengisi ruang tidur yang sama.
“—Nyonya,” suara Jake menyela, membuat Zia sedikit terlonjak.
Ia menoleh. “Panggil aku Zia. Nama itu terlalu berat untukku.”
“Tapi dia menyuruhku begitu,” Jake menjawab pelan sambil mengangguk ke arah pria di belakangnya.
Zia mengangkat tangan, seolah tak peduli. “Jangan dengarkan dia. Dia terlalu tua untuk diajak bercanda.”
“Siapa yang kau sebut tua?”
Zia membeku, matanya membulat.
Ia perlahan membalik tubuhnya. Viren sudah berdiri di belakang, bersandar santai di tembok, satu alisnya terangkat dan sebuah senyuman—nyaris seperti ejekan—tersungging di bibirnya.
Seketika, Zia melarikan diri ke arah dapur, pipinya merah padam.
Jake mengangguk sambil tersenyum kecil. “Ternyata dia ekspresif juga.”
“Jika kejadian di bukit itu tak pernah ada… dia akan tetap memakai topengnya. Sama sepertiku.” Ujar Viren, nadanya datar. Tapi ada makna dalam kalimatnya—sebuah rahasia kelam tersembunyi di balik ketenangan matanya—rahasia yang belum selesai, belum tuntas dan belum terlihat.
Zia bersandar di lemari dapur, napasnya memburu seperti baru saja melarikan diri dari kejaran yang menegangkan. Matanya sesekali melirik ke belakang, seolah takut pria itu akan muncul kembali seperti bayangan yang selalu bisa menembus ruang.
Tangannya meraih gagang kulkas, membukanya dengan gerakan gugup. Ia mencari sesuatu yang bisa menenangkan dadanya yang sesak. Sebotol air mineral ditarik cepat, dan dalam satu tegukan panjang, ia habiskan seluruh isinya.
“Nyonya haus?”
Suara lembut Emi membuat Zia tersentak kecil, tapi ia hanya mengangguk sambil menarik napas lebih tenang. “Aku baru saja kabur,” gumamnya, setengah mengeluh, setengah lega.
Emi tidak bertanya lebih jauh. Ia tahu, tak ada yang perlu dijelaskan—dan jika memang ada dalangnya, kemungkinan besar itu adalah Tuan Viren.
Saat Zia menoleh, matanya tertumbuk pada sebuah apel merah yang baru saja diletakkan Emi di atas meja. Alisnya mengernyit pelan.
“Apel dari mana ini?”
“Dari kebun belakang. Pohon itu sedang berbuah lebat tahun ini,” jawab Emi sambil tersenyum kecil.
Zia mengangguk dengan minat yang tumbuh. “Benarkah? Lain kali ajak aku, ya.” Ia mengambil satu apel dan membawanya ke meja makan, lalu duduk di sana. Dengan lahap polos seperti anak kecil, ia menggigit apel itu, manis dan segar—kontras dengan kekacauan pikirannya barusan.
Emi hanya memperhatikan dalam diam. Wajahnya melunak, melihat perubahan wanita itu. Saat pertama datang, Zia begitu tertutup, canggung, dan selalu seperti menahan sesuatu di dadanya. Tapi kini, ia tampak lebih bebas, lebih jujur pada dirinya sendiri.
“Nyonya, apelnya saya simpan di sini, ya,” ujar Emi sambil membereskan keranjang.
“Terima kasih, Emi.”
Setelah itu, Emi melangkah pergi, meninggalkan Zia sendiri di meja makan yang tenang, ditemani rasa manis apel dan riuh yang masih tersisa dalam jantungnya.
Sementara itu, di ruang yang berbeda Viren duduk di ruang kerjanya. Lampu temaram menemani kesunyian dalam ruangan yang penuh dengan hal-hal yang hanya ia pahami. Cahaya biru dari layar tablet memantul di permukaan kacamatanya, sementara tangannya sibuk menggeser laporan yang dikirim Xin semalam.
Semua data tertata rapi, tersimpan lengkap dalam sistem Cinderline—mulai dari Januari hingga Desember 2018. Rangkaian laporan berisi kematian, data diri, hingga dokumen kepolisian.
Viren menyusuri deretan angka enam digit dengan jari telunjuknya. Matanya menangkap sebuah kode: 180923. Ia mengetuk layar dua kali.
Deretan foto dan keterangan muncul.
Sebuah gambar hitam-putih terpampang di sisi layar. Ia memperbesarnya. Di sana, seorang pria duduk di kursi kemudi dengan darah mengalir dari wajahnya. Kaca depan mobil berlubang dan retak di tepinya—tanda bahwa peluru ditembakkan dari depan dan menembus kepala pria itu.
Ia mengenal kejadian itu. Bahkan berkali-kali, ia mencengkeram kerah Samuel, memaksanya mengaku sebagai dalang pembunuhan itu. Tapi Samuel bersikukuh, katanya, “Aku tak akan membunuh orang yang membayarku mahal.”
Viren mengingat lagi—sebulan sebelumnya, di bulan Agustus, Yosep Murgin datang menemuinya. Ia meminta pasokan minuman sebanyak dua truk, lengkap dengan pengawalan dari pasukan khusus Cinderline.
Setelah urusan itu, Viren kembali fokus pada Kairotek. Cinderline pun ia serahkan ke Samuel, sementara dirinya hanya menjadi bayangan di balik layar.
Viren mengembuskan napas panjang, melepaskan kacamatanya, lalu memijat kening. Siapa sangka, untuk menemukan Leo, ia harus menggali kuburan lama yang sudah tertutup bertahun-tahun.
Hari libur pun hampir habis. Dan Jake masih duduk di sofa ruang tamu, masih dalam posisi yang sama sejak pagi—menatap layar tablet dengan serius.
Zia memperhatikannya dari kejauhan, lalu melangkah pelan mendekat. Awalnya ia berpura-pura lewat, tapi rasa penasarannya menang. Ia berhenti di belakang Jake.
“Untuk apa ini?” tanyanya pelan.
Jake menoleh. “Untuk acara tahunan Kairotek,” jawabnya singkat.
“Boleh aku lihat?”
Jake mengangguk dan menyerahkan tabletnya.
Zia pun duduk di sampingnya. Jari-jarinya menyentuh layar, memperbesar beberapa gambar ballroom, lalu menggeser ke gambar lain. Matanya fokus menilai kelebihan dan kekurangan masing-masing tempat.
“Ada tema khusus?” tanyanya tanpa menoleh.
“Ada. Disney dan Black & White,” jawab Jake.
Zia terdiam sejenak. Ia tahu pasti pilihan Viren. Sudah jelas—Black & White, gaya klasik andalannya.
“Dia sudah memilih?”
Jake menggeleng. “Belum. Mungkin karena ini perayaan satu dekade Kairotek, dia masih mempertimbangkan semuanya.”
“Bagaimana kalau ini?” Zia menunjukkan salah satu ballroom. “Tempat ini bisa digunakan untuk dua tema sekaligus, siapa tahu dia berubah pikiran di detik terakhir.”
Jake melihat gambar yang ditunjuknya. “Ini… gambar yang sama yang dia pilih juga tadi,” gumamnya, tanpa sadar.
“Benarkah?” Mata Zia membulat. Binarnya memancar penuh semangat.
Jake hanya mengangguk.
“Ehem.”
Suara itu datang dari belakang. Keduanya menoleh bersamaan.
Di sana, Viren berdiri, bersandar pada dinding dengan alis tebalnya sedikit terangkat. Matanya menatap ke arah Zia dan Jake, menilai jarak yang terlalu dekat di antara mereka.
Jake cepat bangkit dan buru-buru pamit, menyentuh layar seolah-olah menerima panggilan penting. Entah sejak kapan ia mulai menekan nomor—Zia bahkan tak sempat menyadarinya.
Zia menelan ludah.
Kenapa dia selalu muncul saat aku tidak siap?
“Kau punya waktu? Aku perlu bicara,” ucap Viren tenang tapi serius.
Zia langsung waspada. Bicara? Tentang apa?
Apa dia marah? Atau aku melakukan kesalahan?
“Antara pelangi dan malam, mana yang kau suka?” tanyanya tiba-tiba.
Zia mengernyit. “Pertanyaan macam apa itu?” batinnya.
“Aku suka pelangi,” jawabnya pelan, setelah berpikir sebentar. “Meskipun dia datang hanya sebentar, dan tidak setiap waktu.”
Ia menatap Viren, senyum kecil mengembang di bibirnya. “Tapi… malam juga tidak buruk. Meskipun datang membawa kegelapan, dia selalu setia hadir setiap hari.”
Viren diam, menatap wanita itu dalam-dalam. Kata-katanya sederhana, tapi ada kedalaman yang sulit dijelaskan.
Zia melangkah mendekat. “Kau bisa pilih tema Disney kali ini. Mungkin hanya sekali, tapi akan dikenang selamanya.”
“Lagi pula, ini perayaan satu dekade Kairotek, bukan?”
“Kau tahu itu?” tanyanya pelan.
“Jake yang memberitahuku,” sahut Zia sambil tersenyum.
“Jadi, kau menyarankan Disney?”
Zia mengangguk. “Setidaknya… sekali dalam hidupmu, jadi tokoh utama dalam dongeng.”
Viren hanya mengangguk samar. “Akan kupikirkan.”
...----------------...
Malam benar-benar telah datang.
Angin malam menyusup perlahan, menyentuh kulit dan mengibaskan helai rambut yang dibiarkan tergerai. Di depan jendela yang terbuka, Alin berdiri diam. Tatapannya kosong, menembus gelap yang menggantung di luar sana.
Suara ayahnya dari malam sebelumnya masih terngiang di kepalanya. "Jika kau mengacaukan rencanaku, aku sendiri yang akan menghabisinya."
Bayangan masa lalu kembali datang, seperti potongan film yang berulang. Dulu, ia sering marah pada ayahnya karena selalu memihak Zia, seolah adiknya itu adalah segalanya. Tapi Alin tidak pernah merasa iri—tidak juga membenci Zia.
Yang ia rasakan hanyalah sepi.
Sejak kepergian adiknya, rumah menjadi dingin. Ayahnya tenggelam dalam pekerjaan, sementara ibunya dulu seorang guru yang nyaris selalu sibuk. Di usia lima belas tahun, Alin masih mencari tempat untuk berpijak—hingga Alex datang, membawa pulang Zia untuk menemaninya. Mereka hanya terpaut dua tahun, cukup dekat untuk tumbuh bersama.
Alin mengepalkan tangannya.
Andai saja ia tahu rencana ayahnya sejak awal...
Ia tak akan membiarkan Zia tinggal. Ia akan membawanya kabur, sejauh mungkin dari semua ini.
“Sayang, makan malam sudah siap,” terdengar suara Agatha dari balik pintu.
Alin menoleh pelan. Langkah kakinya lambat menuju pintu. Ketika dibukakan, Agatha menyambutnya dengan senyuman.
“Aku akan makan nanti,” jawab Alin singkat. Lalu pintu kembali tertutup.
Agatha terdiam sejenak, lalu melangkah lunglai kembali ke ruang makan. Sejak Alin kembali, mereka belum pernah duduk bersama dalam satu meja.
Suara gesekan kursi terdengar di tengah sunyi yang hanya diisi oleh gumaman televisi. Di layar, disampaikan bahwa acara tahunan milik Kairotek sudah di depan mata. Meskipun belum ada pernyataan resmi, masyarakat telah menanti momen langka itu.
“Apa kita diundang tahun ini?” tanya Agatha sambil menuang air ke gelas. “Secara... sekarang kita bukan cuma rekan bisnis, tapi punya hubungan yang lebih kuat.”
“Tentu saja,” jawab Alex yakin. “Sekarang kita mitra utamanya.”
Ia meletakkan sendok dengan suara yang ia tegaskan. “Tapi jangan biarkan Alin ikut.”
Agatha mengangkat alis. “Kenapa?”
Alex menatapnya datar.
“Sudah jelas. Dia pasti akan mengacaukan semuanya.”
.
.
.
.
Kalian penasaran gak sama visual pemain istri sang mafia? Kalo penasaran komen ya, nanti aku kasih visualnya. Sangkyuuu🤗
semangaatt dari tegal. 🤗