“Le, coba pikirkan sekali lagi.”
“Aku sudah mantap, Umi.”
Umi Shofia menghela nafas berkali-kali. Dia tak habis pikir dengan pilihan Zayn. Banyak santri yang baik, berakhlak, dan memiliki pengetahuan agama cukup. Tetapi mengapa justru yang dipilihnya Zara. Seorang gadis yang hobinya main tenis di sebelah pondok pesantren.
Pakaiannya terbuka. Belum lagi adabnya, membuatnya geleng-geleng kepala. Pernah sekali bola tenisnya masuk ke pesantren. Ia langsung lompat pagar. Bukannya permisi, dia malah berkata-kata yang tidak-tidak.Mengambil bolanya dengan santai tanpa peduli akan sekitar. Untung saja masuk di pondok putri.
Lha, kalau jatuhnya di pondok putra, bisa membuat santrinya bubar. Entah lari mendekat atau lari menghindar.
Bagaimana cara Zayn merayu uminya agar bisa menerima Zara sebagaimana adanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hania, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hasrat yang Tertahan
Suara burung camar yang terbang rendah di atas lautan seakan bertasbih bersama dirinya. Mereka juga seakan membantunya dalam mengingatkan kembali pada ayat-ayat yang hampir saja terlupakan.
“Hemm... " gumam Zayn membuat Zara menghentikan bacaannya.
Dia pun mengulanginya lagi.
"Subhanallah,” ucap Zayn kembali.
Ah, salah lagi.
Entah mengapa di ayat terakhir, pikiran Zahra agak blank. Sehingga bibirnya tak mampu lagi mengucapkan sambungan ayat yang dibacanya. Seolah-olah ayat itu hilang dari ingatannya begitu saja.
“Sebentar sebentar, Aa Gus.”
Zayn tampak sabar menunggu lanjutan ayat yang belum diselesaikan oleh Zara. Namun hingga beberapa detik, ayat itu belum dibunyikan juga. Dia pun menegur Zara.
“Teruskan ayat yang Aa bunyikan. Allahu yastaji'ubihim....!” ucapnya.
Zayn memancing Zara dengan dua ayat sebelumnya.
Zara pun mengulangnya. Baru kemudian dia ingat bacaan yang terlupa. Akhirnya dia pun dapat menyelesaikan ayat yang terakhir dengan baik.
“Bagaimana Aa Gus?” tanya Zara.
“Hmmm... ulang dari awal lagi. Kali ini tidak boleh ada satu kata pun yang salah atau terlewat,” kata Zayn dengan tegas.
Ups...Zayn pada mode ustadznya. Yang tidak tending aling-aling pada siapa pun juga. Termasuk pada istrinya. Membuat Zara segan dan agak takut. Semangat, semangat...ia pasti bisa.
Shadaqallahul adzim.
Zara pun bersyukur, berhasil mengulangi hafalannya dari ayat 1 sampai dengan 16 dengan lancar. Tanpa ada kata hemmm... ataupun subhanallah dari suaminya. Zara sangat lega. Alhamdulillah....
“bagaimana Aa Gus. Apakah sudah bagus hafalan Zara?”
Zayn tidak menjawabnya. Dia menatap Zara dengan senyum tipis yang menggoda. Dan secara tiba-tiba, dia pun mengecup bibirnya., sambil berkata, "Sangat bagus, Neng."
“Aa Gus,” kata Zara dengan wajah yang merona bak udang rebus.
“Kamu melakukannya dengan sangat baik. Aa bangga.”
Zara tersipu malu.
“Terima kasih, Aa Gus,” ucap Zara sambil menunduk. Dia tak sanggup menatap Zayn yang entah mengapa membuat jantungnya berdebar hebat. Wajah yang tampan dan berwibawa telah membius kesadarannya.
Tiba-tiba tangan kekar Zayn menarik tubuhnya mendekat ke dalam pelukannya.
“Aa Gus.” Tatapannya beradu dengan bola mata Zayn yang sendu merindu.
Dia terdiam saat jari tangan Zayn menyentuh bibirnya dengan lembut. Dia terpana dengan tatapan Zayn yang ternoda. Tanpa sadar membuat bibirnya terbuka. Sehingga memberi peluang pada Zayn untuk menyentuhnya lebih. Dan ia tak bisa lagi mencegah saat bibir tebal Zayn telah membungkamnya dengan ciuman penuh hasrat memburu.
Terlintas di benakku wajah garang Umi Shofia. Tapi bagaimana ini... Tangan Zayn yang kekar telah menahan tengkuknya. Sehingga tak mungkin dia bisa melepaskan diri.
Ciuman Zayn makin lama semakin berhasrat. Lembut menggoda, hingga detak jantung pun tak bisa ia kendalikan lagi. Apakah salah bila ia mengikuti irama asrama yang menggema dalam dadanya. Toh, dia suaminya.
Rasa itu makin menuntut, dan sulit bagi Zara untuk mengabaikannya. Karena Dia juga menginginkannya. Zara pun memejamkan mata dan mencoba membalasnya dengan ciuman lembut pula.
“Aa Gus...ug.” ucapnya lirih di saatnya bibirnya bisa terlepas. Memberi kesempatan bagi dirinya untuk sekedar bernafas.
Zayn tak memungkiri bahwa ia menginginkannya lebih. Apalagi bibir Zara begitu manis. Sehingga ia menginginkannya lagi dan lagi. Kecupan kecil yang semula diniatkan sebagai bentuk ucapan terima kasih, berubah menjadi hasrat yang menggoda. Apalagi saat Zara menyebut namanya lirih.
Akankah layar cinta telah berkembang akan membawanya ke dalam lautan asmara dan menenggelamkan mereka berdua dalam gelombang hasrat yang membara?
Tidak...Dia harus bisa menahannya. Biarlah saat ini harus karam, meski dengan kalimat tanya dari bibir yang tak bisa berkata, dari Zara karena dia telah terbawa arus yang telah dibuatnya.
“Maaf Neng. Aa hampir lupa,” kata Zayn sambil melepaskan Zara dari pelukan.
Zara tampak kecewa. Namun dia bersyukur kemesraan itu tidak sampai berlanjut. Dia juga masih menyimpan dilema. Antara menjadi istri yang baik, memenuhi semua keinginan suami yang otomatis membuat kedua orang tua Zayn kecewa. Ataukah memenuhi keinginan Umi Shofia yang menginginkan mereka untuk berpuasa dulu.
Lalu keinginan dirinya sendiri apa ya... sepertinya tidak ada. Dia hanya pasrah saja. Dan dia percaya, orang yang ada di sekelilingnya adalah orang baik. Meskipun dengan sadar ia akui kalau dirinya juga tersiksa. Tapi dia kan mencoba bersabar.
Zayn tampak berpikir tentang pernyataan Umi Shofia malam itu. Apakah itu merupakan sebuah solusi yang dia butuhkan saat ini. Dia tak mungkin sanggup untuk menahan diri, menyentuh lebih pada wanita yang kini menjadi istrinya.
Berarti mereka harus berpisah sementara waktu. Tidak!
Dia tak bisa jauh dari Zara. Lagi pula jika itu yang ia lakukan, Zara akan merasa diabaikan. Dan itu sama saja dengan menelantarkan istrinya. Zayn tak mau itu terjadi.
Kuatkan diri ini ya Robb... untuk bisa membimbingnya dulu.
Zayn beranjak menuju pinggir pantai dan membasuh mukanya dengan air laut. Agar hilanglah bayangan kemesraan dan rasa yang baru saja singgah di dalam dadanya.
“Oke sudah bagus. Nanti bakda asyar Neng bisa nambah lagi satu sampai 5 ayat. Karena lembar yang kedua ini lebih banyak. Jadi Neng tidak perlu repot untuk besok. Bisa berangkat latihan dengan tenang.”
“Tambahannya disetorkan ke Umi apa tidak?”
“Tidak.”
“Oke.”
“Kita kembali yuk! Sudah dhuhur” ajak Zayn.
“Ya,” jawab Zara singkat.
Keduanya berjalan beriringan tanpa ada sepatah kata pun yang keluar. Saat mobil meninggalkan pantai, keduanya masih diam, sibuk dengan pikiran masing-masing.
Sangat sunyi, membuat Zara tak nyaman. Dia pun memberanikan diri untuk menghidupkan tape recorder, mencari suasana lain. Agar dirinya nyaman.Tak ada reaksi dari Zayn..Dia cuek-cuek saja. Zara menikmati musik itu dengan suara lirih.
Lagu pop romantis namun tidak mellow-mellow amat. Cenderung ceria meski syairnya melukiskan tentang patah hati. Meskipun dia tidak suka-suka amat, tapi cukup menghibur dirinya yang sedang galau didiamkan suami.
Zahra ingin mengajak ngobrol Zayn. Tapi dia segan, wajah Zain terlihat dingin dan kaku. Ah...Aa Gus telah membuat dirinya semakin bete kalau dibegitukan terus.
Sampai di depan pintu rumah umi, mereka masih tak saling bicara. Keduanya masuk ke dalam rumah dalam diam. Suasana yang membuat hati kesal.
Namun lebih dari itu, di ruang keluarga mereka harus bertemu dengan Umi Shofia. Jangan-jangan ia akan mengintrogasinya lagi. Zara segera menghampirinya.
“Assalamualaikum, Umi,” ucap Zara. Dia pun mencium tangan Umi dengan takzim.
“Waalaikumsalam. Kalian dari mana?” tanyanya penuh selidik.
“Maaf. Kami dari pantai, Umi,” jawab Zayn dingin.
“Oh,” gumam Umi Shofia dengan wajah dingin pula.
Umi Shofia paham benar, kalau Zayn sudah menampakkan mode yang seperti itu, alamat dia tidak bisa diganggu. Makanya dia tidak menghalangi saat Zayn pergi begitu saja dari hadapannya tanpa pamit. Sampai-sampai Zara dibuatnya bingung sendiri.
“Aa Gus. Tidak apa-apa, kan?” tanya Zara yang menghadapi perubahan sikap Zayn yang tampak aneh, sejak mereka pulang dari pantai.
“Nggak apa apa, Neng. Aa hanya pusing.”
“Oh, maaf Aa Gus.”
Zayn ingin mengatakan bahwa pusingnya ini karena dia. Dia yang tak bisa dipeluknya. Hiks....
“Neng istirahat dulu. Tapi jangan lupa nanti salat ashar bangun. Dan ingat tugas dari Aa,” kata Zayn dengan wajah dingin.
“Oke,” jawab Zara santai. Dia tak mau dipusingkan dengan sikap Zain yang aneh itu. Yang penting saatnya istirahat. Agar siap menambah hafalan lagi.
“Aku pergi dulu ya, Neng. Jangan tunggu Aa kembali. Mungkin malam ini akan sibuk.”
“Baik Aa Gus. Jaga kesehatan.”
Sunyi tanpa ada jawaban. Zayn masih menampakkan wajah dinginnya. Dia meninggalkan dirinya tanpa mencium kening seperti yang selalu dia lakukan.
Meskipun merasa aneh, tapi Zara mencoba tenang. Mungkin suaminya banyak pikiran. Ah, sudahlah.