Jiang Hao adalah pendekar jenius yang memiliki tangan kanan beracun yang bisa menghancurkan lawan hanya dengan satu sentuhan. Setelah dihianati oleh sektenya sendiri, ia kehilangan segalanya dan dianggap sebagai iblis oleh dunia persilatan. Dalam kejatuhannya, ia bertemu seorang gadis buta yang melihat kebaikan dalam dirinya dan mengajarkan arti belas kasih. Namun, musuh-musuh lamanya tidak akan membiarkannya hidup damai. Jiang Hao pun harus memilih: apakah ia akan menjadi iblis yang menghancurkan dunia persilatan atau pahlawan yang menyelamatkannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dhamar Sewu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 21 – Cermin Dendam
Kabut malam belum sepenuhnya sirna ketika suara langkah ringan terdengar di antara pepohonan. Sosok bertudung gelap itu menatap cermin kuno di tangannya, membisikkan mantra. Permukaan cermin berkilau, memperlihatkan bayangan Jiang Hao, Ying’er, dan Mu Zhen yang terluka.
“Hari ini hanyalah permulaan, Jiang Hao…” desisnya.
Lalu, dari balik cermin, muncul siluet lain—seorang lelaki tua dengan rambut seputih salju dan mata setajam burung elang.
“Apakah kau siap?” tanya lelaki itu dari dalam cermin.
“Aku sudah menunggu saat ini terlalu lama. Mereka yang membuangnya akan membayar… dengan darah mereka sendiri,” jawab sosok bertudung.
Cermin itu kemudian retak halus, seperti merespons niat jahat yang membara.
---
Sementara itu, di sebuah gua kecil tak jauh dari hutan, Jiang Hao tengah merawat luka Mu Zhen. Dengan gerakan kaku, ia membalut perut sahabat lamanya itu, sementara Ying’er duduk bersila di samping mereka, memainkan kecapi dengan pelan—seolah nada lembutnya mencoba menahan kegelapan yang semakin merayap dalam hati Jiang Hao.
“Kau harus pergi dari sini, Ying’er,” kata Mu Zhen dengan suara serak. “Sekte Awan Hitam bukan satu-satunya yang memburumu sekarang.”
Ying’er menggenggam erat kecapinya. “Kalau aku pergi, siapa yang akan menjaga Jiang Hao?”
Mu Zhen menatap Jiang Hao, yang hanya diam, sorot matanya kelam.
“Yang harus kau takuti… bukan musuh di luar sana,” lanjut Mu Zhen pelan, “tetapi musuh dalam dirinya sendiri.”
Ying’er menggigit bibirnya, hatinya berdebar tak menentu.
---
Di saat bersamaan, di dalam ruang rahasia Sekte Langit Retak, para tetua tengah berkumpul. Seorang pria bertubuh gemuk dan berjubah emas menggebrak meja.
“Kabar apa ini?! Jiang Hao hidup dan semakin kuat?!” raungnya.
Seorang tetua lain dengan janggut panjang membungkuk dalam-dalam. “Kami sudah mengirim pasukan untuk menyingkirkannya. Tapi… sepertinya gagal.”
“Hancurkan dia sekarang, sebelum dia kembali menuntut balas!” bentak yang lain.
Namun, seorang perempuan tua berambut kelabu menatap tajam pada cermin yang tergantung di dinding. Di permukaan cermin itu, perlahan, muncul bayangan Jiang Hao—tangannya yang menghitam, aura membara mengelilinginya.
“Tidak… bukan kita yang harus bergerak. Akan ada pihak lain yang mendorongnya ke jurang,” gumamnya.
---
Malam itu, saat Jiang Hao berdiri di mulut gua memandang bulan yang pucat, Ying’er perlahan menghampirinya.
“Kau tahu… aku dulu selalu percaya, meski mata ini buta, aku tetap bisa melihat yang tak kasatmata,” ucap Ying’er lirih.
Jiang Hao menoleh, sinar bulan memperjelas gurat lelah dan luka di wajahnya.
“Apa yang kau lihat sekarang?” tanyanya.
Ying’er meletakkan tangan di dada Jiang Hao, tepat di atas jantungnya.
“Aku melihat dua hal: satu adalah cahaya kecil, hangat… dan satu lagi, kegelapan yang mengancam menelan segalanya.”
Jiang Hao menunduk. Hatinya bergejolak. Ia ingin berkata, ingin membela diri, namun kata-katanya terhenti di tenggorokan.
Ying’er melanjutkan dengan suara gemetar, “Aku takut… bukan karena kau berubah, tapi karena aku takut suatu hari aku tak lagi bisa menggapai cahaya itu.”
Untuk sesaat, hanya suara angin malam yang menjawab.
Jiang Hao perlahan mengangkat tangannya, tangan kanan yang kini lebih menyerupai tangan iblis daripada manusia. Ia menatapnya lama, seolah bertanya, "Apakah aku masih manusia?"
“Aku tidak akan membiarkanmu kehilangan arah…” bisik Ying’er.
Namun jauh di dalam dirinya, Jiang Hao sadar… semakin ia menggunakan kekuatannya, semakin kabur jalan kembali ke dirinya yang dulu.
---
Di tempat lain, di puncak Gunung Kaca, sosok bertudung berdiri di hadapan sebuah altar besar. Ia meletakkan cermin kuno di tengah altar, lalu membisikkan mantra.
Cermin itu bergetar, lalu muncul sosok-sosok lain: para tetua sekte yang dahulu menghukum Jiang Hao tanpa belas kasihan.
“Sekarang, waktunya mengadu darah mereka. Kau ingin membalas dendam, Jiang Hao? Aku akan memberimu alasan…”
Senyum licik terukir di bibir sosok itu, sebelum kabut hitam menelan seluruh gunung.
----
Kabut malam menelan hutan setelah pertempuran itu berakhir. Namun ketenangan itu hanya ilusi. Di dalam gelap, sesuatu tengah bergerak, mengatur langkah-langkah berikutnya.
Di sebuah ruangan tersembunyi, jauh di dasar pegunungan, sosok misterius yang tadi mengintip dari balik pohon kini berdiri di depan altar batu. Di tangannya, cermin kuno itu bersinar, memantulkan bayangan Jiang Hao dan Ying’er yang bertarung untuk hidup mereka.
“Semakin kuat kau menjadi, semakin banyak kutukan yang kau kumpulkan, Jiang Hao,” bisik sosok itu.
Ia menatap ke dalam cermin, dan perlahan, bayangan lain muncul—bayangan sekte yang dulu mengusir Jiang Hao, para tetua berpakaian serba putih, mengangkat tangan mereka dalam sumpah pengasingan.
Sosok itu menggenggam cermin erat, seolah hendak menghancurkannya. Namun ia menahan diri, lalu tersenyum licik.
“Sudah saatnya para tetua itu membayar dosa mereka. Dan kau, Jiang Hao, akan menjadi alatnya.”
Ia mengambil secarik kertas, melukiskan simbol aneh dengan darah segar. Satu demi satu, nama-nama para tetua tertulis di atasnya. Ritual telah dimulai.
---
Sementara itu, di sebuah gubuk kecil di tepi hutan, Jiang Hao merawat luka Mu Zhen. Ying’er duduk di dekat perapian, memeluk kecapinya erat-erat.
“Bagaimana lukamu?” tanya Jiang Hao dengan suara pelan.
Mu Zhen tersenyum pahit. “Aku sudah tua. Luka kecil begini tak akan membunuhku.”
Namun Jiang Hao tahu, luka itu dalam. Ia menggenggam tangan Mu Zhen sejenak, rasa bersalah mengalir di matanya.
“Aku tidak akan membiarkan ini terjadi lagi,” bisiknya.
Mu Zhen menggeleng pelan. “Bukan salahmu. Dunia ini kejam, Hao. Kau hanya... terlalu manusiawi untuk dunia seperti ini.”
Ying’er menoleh ke arah mereka, matanya kosong tapi hatinya peka. “Kadang... untuk melindungi sesuatu yang berharga, kita harus menjadi monster.”
Kata-kata itu membuat Jiang Hao terdiam lama. Api di perapian bergoyang, bayangannya menari di dinding.
---
Malam bergulir. Di dalam tidurnya, Ying’er bermimpi.
Ia berdiri di tengah padang bunga yang terbakar. Api berkobar di sekelilingnya. Di tengah lautan api itu, Jiang Hao berdiri, tubuhnya nyaris tak terlihat dari asap hitam yang membungkusnya. Tangannya—yang kini berdenyut kehijauan sepenuhnya—menggapai Ying’er, namun di balik matanya, ada amarah, kesedihan... dan sesuatu yang asing.
“Jiang Hao...” bisik Ying’er, setengah ketakutan, setengah berharap.
Namun saat ia mencoba mendekat, tanah di bawah kakinya runtuh, menariknya ke dalam jurang tak berdasar.
Ying’er terbangun dengan napas memburu. Keringat membasahi dahinya. Ia menggenggam kecapi erat-erat, berusaha mengusir bayangan mimpinya.
"Apakah aku akan kehilangan dia...?"
---
Di puncak Gunung Xue, tempat berkumpulnya para tetua Sekte Langit Suci, sebuah surat tanpa nama tiba.
Ketua Tetua membuka gulungan itu. Di dalamnya, hanya ada satu kalimat:
> "Jiang Hao masih hidup\, dan dia akan kembali untuk menuntut darah."
Tatapan mereka berubah muram. Satu demi satu, para tetua itu bangkit, mengambil jubah dan senjata mereka.
Ketua Tetua memandang ke arah barat, ke arah di mana kabut tebal menyelimuti dunia.
“Kalau begitu… kita akan selesaikan dosa masa lalu ini sebelum semuanya terlambat.”
To be continued ✍️
nyala lampu sedikit mmenerangi di dalam gua gunung berkabut.novel apa puisi.hhhhh