Bagaimana perasaanmu jika jadi aku? Menjadi istri pegawai kantoran di sudut kota kecil, dengan penghasilan yang lumayan, namun kamu hanya di beri uang lima puluh ribu untuk satu minggu. Dengan kebutuhan dapur yang serba mahal dan tiga orang anak yang masih kecil.
Itulah yang aku jalani kini. Aku tak pernah protes apalagi meminta hal lebih dari suamiku. Aku menerima keadaan ini dengan hati yang lapang. Namun, semua berubah ketika aku menemukan sebuah benda yang entah milik siapa, tapi benda itu terdapat di tas kerja suamiku.
Benda itulah yang membuat hubungan rumah tangga kami tak sehat seperti dulu.
Mampukah aku bertahan dengan suamiku ketika keretakan di rumah tangga kami mulai nampak nyata?
Jika aku pergi, bisakah aku menghidupi ke tiga anakku?
Ikuti perjalanan rumah tangga ku di sini. .
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wiji, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21. Karma Instan
Satu bulan kemudian setelah aku menggugat cerai Anang, akhirnya hari ini aku menghadiri undangan untuk mediasi. Aku berharap Anang juga datang agar sidang ini cepat terselesaikan. Jujur saja, aku ingin segera melepas statusku sebagai istri.
Anak-anak aku titipkan pada bu Lin. Kebetulan beliau punya cucu yang sepantaran dengan Anin. Bu Lin memiliki cucu kembar perempuan.
"Bu, nggak apa-apa aku titip mereka lagi?" tanyaku sungkan.
"Kamu kayak baru aja kenal ibu. Udah sana pergi, selesaikan urusan kamu. Mudah-mudahan segera selesai, ya."
"Aamiin."
Aku pergi setelah mengecup singkat kening Agil dan Anin, sementara Alif masih berada di sekolah. Selama aku tinggal di sini, tak pernah aku sekalipun bertemu dengan anak bu Lin. Aku hanya tahu bahwa anaknya itu pergi pegi dan pulang malam. Hanya ada anak gadisnya yang sering aku temui.
Bu Lin juga banyak cerita kalau menantunya meninggalkan suami dan anaknya karena pria kaya. Menantunya itu tak betah tinggal bersama mertua dan hidup sederhana. Setiap aku menitipkan anak-anak, tak lupa aku memberikan beberapa lembar uang berwarna merah sebagai tanda terima kasih ku karena sudah banyak membantu. Tentu saja bu Lin selalu menolak saat aku memberikannya, tapi dengan segala bujuk rayu mautku akhirnya beliau mau menerima.
Sekitar pukul sepuluh pagi, aku sampai di tempat tujuan. Ternyata Anang sudah ada di tempat. Aku melihatnya sekilas, lalu kembali menatap lantai.
Berbagai pertanyaan aku jawab dengan apa adanya, tidak ada yang aku tutupi. Sayangnya, Anang bersikap seolah ingin kembali berumah tangga padaku. Sekeras apapun dia mencoba untuk memenangkan mediasi ini, aku juga akan berusaha lebih keras dari dia untuk berpisah. Dia seperti sengaja untuk mengulur waktu agar proses cerai ini berjalan lambat.
Setelah dua jam melakukan mediasi, akhirnya kami kembali diperbolehkan pulang. Seminggu lagi adalah jadwal kami untuk kembali mediasi yang terakhir kali.
"Yu, nggak bisa banget kamu maafin aku? Aku baru sadar, jika aku butuh kamu, aku nggak bisa apa-apa tanpa kamu. Kamu lihat aku sekarang, nggak ada yang bisa urus aku selain kamu. Aku seperti terlantar, sangat terasa sekali setalah aku kehilangan kamu, Yu. Aku rindu semuanya, aku pengen kamu balik ke rumah, menyiapkan segala sesuatu buat aku, aku kangen ocehan kamu buat anak-anak, aku pengen dengar suara kamu minta bantuan aku buat urus anak-anak." Anang bicara panjang lebar dengan suara tertahan seperti ingin menangis.
Jika aku perhatikan, penampilan Anang memang sangat berbeda padahal baru satu bulan aku meninggalkannya, tapi fisiknya susah banyak perubahan. Badan yang lebih kurus, rambut yang tak terurus dan wajah kusam. Aku tak tahu apa yang terjadi dengannya, karena sejak memutuskan untuk pergi dari rumahnya aku juga mengganti nomorku dengan nomor baru. Sengaja aku melakukan itu agar keluarga Anang ataupun Anang tak ada yang bisa menghubungiku lagi.
"Kamu nggak jauh dari orang tuamu, kan? Kamu bisa di urus sama ibu. Lagi pula kamu punya Winda juga. Salah satu dari mereka nggak bisa urus kamu? Kan nggak mungkin," kilahku.
"Nggak ada yang bisa urus aku sebaik kamu. Winda hanya peduli dengan penampilannya, sedangkan ibu saat ini juga sedang marah padaku karena ibu tahu aku kasih uang lebih banyak ke Winda dari pada sama dia."
Aku tersenyum mengejek. "Ya sudah, nikmati saja. Anggap saja bayaran buat kamu karena kurang bersyukur memiliki seseorang. Sekarang tahu, kan, alasan aku dekil apa? Alasan aku nggak urus diri sendiri apa? Kenapa aku nggak bisa seperti wanita lainnya? Sudah terbuka matanya? Sudah tahu mana yang tulus sama nggak? Sudah tahu pengorbanan istri, kan?"
"Iya, dek, itu sebabnya aku mau kita mulai dari nol. Toh, Winda hanya istri siri."
"Enteng banget kamu ngomong. Maaf, aku tidak bisa. Kamu nikmati sekarang yang selama ini kamu tanam. Aku tidak memberi mereka kesempatan untuk menyakiti aku yang kedua kalinya. Sedalam dan sejauh apapun kamu menyesal, aku tidak akan pernah bisa kembali padamu meski hanya teman. Maaf sekali, Anang. Aku permisi, aku harus pergi."
Baru saja memajukan langkahku satu langkah, tanganku sudah di cekal Anang. Aku menepisnya dengan pelan, aku berusaha sabar menghadapinya. Sebenarnya ada rasa kasihan saat aku melihat Anang yang sekarang. Namun, rasa sakit yang aku rasa lebih besar dari rasa iba ku.
"Aku minta maaf," ucapnya dengan pelan.
"Aku sudah memaafkan kamu dan ibu. Tidak apa-apa. Kalau tidak karena kalian, aku mungkin sekarang masih dekil."
"Iya, kamu cantik sekali sekarang. Lebih cantik dari saat kita belum menikah. Jika pisah adalah kebahagiaan kamu, aku akan turuti. Hanya ini yang bisa aku berikan."
Aku melihat mata Anang yang merasakan kesedihan mendalam. Nampaknya ia benar-benar menyesal. Aku tak menyangka akan secepat ini melihat penyesalan Anang.
Aku pamit pulang lebih dulu, jujur saja aku tak tega melihat calon mantan suamiku itu. Rupanya hatiku masih bekerja dengan baik, entah berapa kali aku berpikiran bahwa hatiku ini sudah mati rasa, tapi nyatanya aku merasakan sakit dan sedih juga melihat keadaan ayah dari anak-anakku yang sekarang.
Aku pulang pergi dengan ojek online. Sebelum pulang, aku mampir ke toko kue. Aku berniat membelikan anak-anak kue favoritnya. Kue yang baru-baru ini meraka rasakan rupanya mampu memanjakan lidah meraka dan menjadi ketagihan. Tak lupa aku belikan juga bu Lin dan keluarganya.
"Mbak, mau browniesnya dong, tiga ya," pintaku pada penjual kue.
Saat sedang sibuk mengambil uang dalam tas, aku mendengar orang yang berdehem di dekatku. Mau tak mau aku pun menoleh padanya.
Entah sesempit apa dunia ini sebenarnya, aku lagi-lagi di pertemukan dengan Jaka tanpa sengaja.
"Eh, mas Jaka, beli kue?" tanyaku basa-basi.
"Nggak, mau beli semen," jawabnya mengejek.
Aku tertawa kecil, "apaan, sih. Ditanya serius juga. Ya siapa tahu ke sini cuman antar penumpang, kan?" kilahku
"Aku antar penumpang ke tempat tujuan, kalau tujuannya ke sini, buat apa aku turun juga ke sini. Kamu, mah ada-ada aja. Kamu kok mainnya jauh banget sampai sini? Anak-anak mana?"
Aku dan Jaka akhirnya memutuskan untuk ngobrol sebentar di depan toko kue. Ojek yang mengantarku terpaksa aku suruh untuk pergi lebih dulu.
"Main? Siapa yang main? Aku memang punya rumah di sini, mas. Aku baru pindah satu bulan yang lalu. Setelah pertengkaran yang kamu tonton live," jawabku terkekeh.
"Pindah ke mana?"
"Ke kompleks ujung sana, kompleksnya nggak besar. Kompleks aku cinta kamu."
Uhuk uhuk
Jaka tersedak, entah tersedak apa aku tak tahu. Kami ngobrol tanpa makan atau minum, mungkin dia tersedak ludahnya sendiri. Namun, di detik berikutnya aku sadar sesuatu.
"Eh, maksudnya nama kompleksnya aku cinta kamu, mas. Bukan arti yang sebenarnya. Nama kompleksnya bikin orang salah paham, ya," kataku sedikit malu dan salah tingkah.
ceritanya sperti di dunianya nyata.