Amira 22 tahun menikah kontrak dengan Ferdi baskara untuk biaya kesembuhan ayah angkatnya.
Amira bar-bar vs Ferdi yang perfeksionis
bagaimana kisah tom and Jery ini berlangsung
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
di usir dari rumah
Mata Laras terbelalak, pandangannya membeku pada jemari sendiri. Detak jantungnya berdentum tak beraturan hingga terasa di telinga, sementara dada sesak seolah tak cukup udara yang masuk. Telapak tangannya dingin berkeringat, bulu kuduknya meremang. Kenapa cincin milik Nyonya Maharani ada di jariku? Kapan aku memakainya? Bukankah ART itu sudah menaruhnya di lemari, di hadapan kedua orang kampung itu?
Alis Lasmi berkerut tajam, tubuhnya bergetar halus seperti diguncang rasa dingin. Rasa takut menyelinap, merayap dari dada hingga tengkuk, membuat napasnya tersengal. Kepalanya penuh tanda tanya. Aku jelas sudah menaruh cincin itu di lemari milik Yono dan Ayu. Bahkan aku sempat memfotonya, lalu kukirim ke Pak Anton. Tapi kenapa sekarang cincin itu ada di tangan Nyonya Laras? Jantungnya berdegup kencang, pelipisnya berdenyut. Ini berbahaya… sangat berbahaya.
Alis Amira terangkat tinggi, tatapannya tak bergeser sedikit pun dari Ayu dan Yono. Sorot matanya penuh curiga, tajam, seolah hendak menelanjangi rahasia mereka. Bibirnya bergerak pelan, namun nada suaranya dingin menusuk.
“Kalian… sedang mencari-cari kesalahan ayah dan ibuku. Mantan penjahat licik, itu kalian. Sama saja seperti kadal yang berani mengerjai buaya.”
Anton mengerutkan dahi, pikirannya berputar berulang kali menilai situasi. Di ponselnya, foto kiriman Lasmi masih tersimpan jelas—cincin itu ada di lemari. Namun kini, cincin yang sama melingkar di jari Laras.
Apakah Lasmi berpihak pada Viona? tebakan itu berkelebat di benaknya.
Ia menggeleng pelan. Tidak mungkin… Laras tidak mungkin melakukan ini. Mana ada pencuri yang dengan sengaja mempertontonkan barang curiannya di depan semua orang?
Pertanyaan demi pertanyaan berputar dalam kepalanya, tak satu pun menemukan jawaban yang pasti.
Flashback On
Yono dan Ayu memasuki kamar mereka. Sebagai mantan raja maling, kewaspadaan Yono sudah terlatih, penciumannya lebih tajam daripada anjing pelacak ketika bahaya mengintai. Samar-samar ia mencium bau asing. Langkahnya pelan tapi pasti menuju lemari.
Tangannya menyibak pakaian, dan di sana ia menemukan sebuah cincin berlian. Senyum menyeringai merekah di wajahnya.
“Bu, kita disambut dengan intrik murahan rupanya.” Yono mengangkat cincin itu, memperlihatkannya pada Ayu.
Ayu hanya mendesah pelan. “Mmm… ada-ada saja. Beginilah yang membuatku malas berurusan dengan orang kaya. Kalau di kampung kumuh, paling-paling kalau tidak suka ya ribut sebentar, habis itu damai.”
“Lalu, akan kita kembalikan ke siapa cincin ini?” tanya Ayu tenang.
“Ke orang yang paling keras menuduh kita,” jawab Yono dingin.
Ayu mengangkat alis, senyum tipis menghiasi bibirnya. “Mmm… bagaimana kalau kita berikan saja pada ulat bulu itu, si Laras. Dia tampaknya bernafsu merebut suami anak kita.”
Yono terkekeh. “Ok, baiklah.”
Tidak ada kepanikan sedikit pun. Justru, mereka sibuk menentukan target siapa yang paling pantas dipermalukan.
Jangan tanyakan kenapa cincin itu ada di tangan Laras karena Yono punya caranya sendiri, sebagai raja maling di bisa mengambil dengan cepat dan juga bisa mengembalikan dengan cepat.
Flashback Off
Nyonya Maharani melihar ll
Wajah Nyonya Renata tetap datar, nyaris tanpa ekspresi. Namun di bawah meja, jemarinya mengepal rapat hingga buku-bukunya memutih. Tatapannya tajam, dingin, seperti semburan laser yang siap menembus siapa pun yang menentangnya. Suaranya tenang, nyaris datar, tapi setiap kata terasa menusuk.
“Aku tidak suka ada pencuri di rumahku. Tapi… mengingat kau keponakan Anton dan Laudia, aku masih memberi keringanan. Cukup tinggalkan mansion ini—sekarang juga.”
“Tapi, Mah, aku tidak pernah mencurinya! Ini jebakan!” bantah Laras. Ia pasrah diusir, tapi hatinya hancur—nama baiknya tercoreng, dicap sebagai pencuri.
Viona tersenyum miris. “Mana ada pencuri mengaku? Heran sekali… dari tadi paling keras berteriak pencuri, tapi ternyata barang buktinya ada di jarimu. Aneh sekali.”
“Ini permainan… pasti permainan!” Anton mencoba menjelaskan.
“Permainan untuk apa? Untuk mengusir besanku?” Viona langsung menerka arah tujuan kejadian itu.
“Tidak… tidak! Ini pasti ulah Kak Viona. Kak Viona yang sudah mengatur semua ini, menjebak Laras!” Anton buru-buru mencari alasan, pikirannya dipenuhi prasangka untuk membalikkan keadaan.
Viona mendesis, suaranya penuh sindiran. “Dasar tidak tahu malu! Hanya untuk menyingkirkan Laras, aku tidak akan menggunakan trik murahan seperti ini. Dari tadi aku diam, mengamati kalian. Kalian jelas bekerja sama dengan ART untuk menjebak besanku, lalu mengusir mereka, dan memaksa Mama menceraikan Amira.”
“Diam!” bentak Renata, suaranya memotong udara.
Ia menatap cincin di jarinya, lalu berkata datar namun tegas. “Cincinnya sudah kembali. Laras, kemasi barang-barangmu. Tinggallah di apartemen saja. Lagi pula, Ferdi sudah menikah dengan Amira. Aku menghargai jasa orang tuamu, jadi anggap saja masalah ini selesai.”
Anton hendak menyahut, tapi Renata mengangkat tangannya, mencegah bantahan.
“Cukup, Nton. Antarkan keponakanmu ke apartemen.” Nada suaranya dingin, tidak memberi ruang untuk berdebat.
Renata berdiri, menatap cincin berlian itu sekali lagi, lalu melangkah menuju kamarnya. “Aku mau istirahat… bubarlah kalian.”
...
Dengan amarah yang membara dan kesal yang membuncah, Laras memasukkan pakaian-pakaiannya ke dalam koper, lipatan demi lipatan penuh emosi. Suara resleting yang ditarik terdengar seperti cambuk di telinga Anton dan Laudia yang hanya bisa menyaksikannya dengan getir.
“Tenang, Laras. Kita bisa susun lagi rencana yang lebih rapi,” ujar Anton berusaha menenangkan.
“Rencana seperti apa?” Laras menutup koper itu dengan hentakan, matanya berkilat menahan perasaan. Ia siap meninggalkan mansion Baskara tanpa menoleh lagi.
“Nanti kita bicarakan di apartemenmu,” jawab Anton cepat.
Laras terdiam sejenak, menarik napas panjang, lalu mengangguk singkat. “Baiklah, kalau begitu.”
Mereka bertiga berjalan keluar dari mansion. Laras menarik kopernya dengan langkah berat. Hari ini, dialah yang menjadi korban dari rencana busuknya sendiri. Namun yang paling menyesakkan hati bukanlah kegagalan itu, melainkan kenyataan bahwa Ferdi—pria yang katanya mencintainya setengah mati—tidak muncul di saat paling sulit. Baginya, itu jauh lebih menyakitkan daripada hancurnya segala siasat yang ia susun.
Sementara itu, di kamar Amira dan Ferdi.
Ferdi tampak dipiting erat oleh Amira.
“Lepasin aku, Amira! Kau gila, ya?!” Ferdi meronta sekuat tenaga.
“Tidak,” jawab Amira singkat, seolah jawaban itu mutlak, matanya menatap lurus seperti orang kesurupan.
“Aku mau ketemu Laras!” teriak Ferdi.
“Mau ketemu pencuri itu? Tidak akan aku biarkan.” Suaranya dingin, lalu mendadak ia tersenyum lebar, senyum yang tidak nyambung dengan kata-katanya. “Lagipula, kamu tahu, aku lebih enak dipeluk daripada koper berisi pakaian Laras.”
“Amira…” Ferdi mendesis, napasnya terengah.
“Coba lihat aku lebih dekat,” ucap Amira tiba-tiba, wajahnya mendekat terlalu rapat hingga Ferdi bisa mencium wangi parfum bercampur keringatnya. “Apa sebenarnya alasanmu tidak suka padaku? Hah? Apakah karena aku suka makan mie instan mentah? Atau karena aku lebih suka tidur di lantai daripada di kasur? Katakan!”
Dengan satu hentakan keras, Ferdi akhirnya melepaskan diri. Amira terjatuh, tubuhnya menghantam lantai. Tapi bukannya kesakitan, ia malah tertawa cekikikan, lalu dengan gerakan luwes bersalto dan mendarat di depan pintu kamar.
“Tidak boleh pergi!” katanya, kali ini sambil menirukan suara robot.
“Amira!” geram Ferdi.
“Kamu milikku, sayang…” ucap Amira, nadanya menggoda, tapi wajahnya berubah-ubah: senyum, cemberut, lalu tertawa lagi, seakan semua emosi bercampur jadi satu.
Ferdi frustrasi. “Astaga! Kenapa kau seperti mau melecehkan aku? Apa yang terjadi sama kamu?!”
“Hehehe… aku tidak melecehkanmu, Ferdi. Aku sedang mempertahankan rumah tangga kamu. Rumah tangga kita. Bukankah lebih baik mempertahankannya dengan tarian?” Amira tiba-tiba melompat kecil, berputar sekali, lalu menjulurkan lidahnya.
“Amira, hentikan! Aku tidak suka sama kamu!”
“Kenapa tidak suka? Aku tidak merokok, aku tidak minum, kulitku lebih mulus daripada dia. Tubuhku lebih oke. Wajahku tinggal perawatan… bahkan aku bisa operasi kalau kamu mau. Atau mau aku potong poni biar mirip Laras?”
Ferdi menatapnya nanar. Dalam hati ia berteriak, “Astaga… wanita macam apa ini?!”
OMG ngapain lihat Amira ma Ferdi 😂😂😂😂
Alur ceritanya bagus dan konfliknya tidak begitu terlalu rumit...
pemilihan kosakata sangat baik dan mudah untuk dipahami...
terimakasih buat kk othor,
semoga sukses ❤️