Helen Hari merupakan seorang wanita yang masih berusia 19 tahun pada saat itu. Ia membantu keluarganya dengan bekerja hingga akhirnya dirinya dijual oleh pamannya sendiri. Helen sudah tidak memiliki orang tua karena keduanya telah meninggal dunia. Ia tinggal bersama paman dan bibinya, namun bibinya pun kemudian meninggal.
Ketika hendak dijual kepada seorang pria tua, Helen berhasil melawan dan melarikan diri. Namun tanpa sengaja, ia masuk ke sebuah ruangan yang salah — ruangan milik pria bernama Xavier Erlan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ScarletWrittes, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 3
Helen berharap bisa keluar dari zona pria ini, karena dirinya tidak suka dengan pria itu.
“Xavier itu nama aku,” ujar pria itu.
Helen bingung kenapa pria ini berkata demikian, padahal dirinya sama sekali tidak bertanya apa pun. Ia tidak peduli dan tetap ingin pergi, tapi ditahan oleh pria itu. Helen menatap pria itu dengan marah.
“Maksudnya apa sih? Aku tidak boleh keluar dari sini? Terus kamu berharap apa dari aku?”
“Aku tidak butuh kamu berharap apa-apa. Aku hanya membutuhkan diri kamu. Itu saja sudah lebih dari cukup untuk aku,” jawab Xavier.
“Tapi kita kan tidak sedekat itu. Untuk apa lebih dekat? Perasaan aneh nggak sih kalau kita jadi lebih dekat?”
Xavier hanya tersenyum mendengar perkataan Helen. Ia tidak menyangka Helen bisa menghibur seekor singa—padahal singa itu susah sekali ditaklukkan, namun hanya Helen yang mampu menaklukkannya.
“Jadi gimana? Kamu tetap mau di sini kan? Daripada kamu harus pergi dariku,” kata Xavier lagi.
“Emangnya kita sekenal itu ya, sampai kamu seperti ini sama saya? Padahal saya aja tidak kenal, Om. Kenapa Om selalu mau mengikat saya sih?”
“Masa kamu tidak ingat saya? Kamu bohong ya? Kamu sengaja kan melakukan hal ini agar saya merasa sakit hati? Cara kamu berhasil kalau memang benar seperti itu,” ucap Xavier dengan nada kecewa.
Helen merasa bingung. Ada apa sih sama om ini? pikirnya. Padahal dirinya tidak kenal dengan om itu, tapi kenapa dia bicara seperti itu kepadanya?
“Om kenapa sih? Lagi sakit jiwa ya? Saya beneran nggak kenal sama om! Om bisa stop nggak sih ganggu saya? Saya merasa risih tahu dengan sikap om yang seperti itu!”
Xavier tidak peduli dengan perkataan Helen dan tetap berpegang teguh pada ucapannya, karena ia sendiri bingung ada apa dengan Helen.
Akhirnya Helen berhasil kabur dari Xavier. Ia merasa sangat senang karena bisa bebas dari pria itu. Sementara Xavier hanya tersenyum, merasa wanita kecilnya itu sangat lucu hingga ia kehabisan kata-kata.
“Helen, kenapa sih kamu lucu banget? Aku capek sama kamu,” gumam Xavier.
Flashback
Helen adalah anak sebatang kara yang dulu berjualan permen keliling. Suatu hari, tanpa sengaja ia bertemu dengan Xavier muda.
Helen merasa kasihan melihat Xavier yang penuh luka. Akhirnya, ia berinisiatif untuk membantu. Walau Xavier bingung kenapa anak sekecil itu tidak takut melihat pria dengan luka dan jahitan di lengannya, ia hanya diam.
“Om, kenapa kok banyak darah? Pasti sakit, ya? Sini om, saya obatin biar darahnya berhenti,” kata Helen polos.
Setelah Helen mengobatinya, Xavier hanya bisa diam tanpa berkata apa-apa. Ia bingung harus berbuat apa terhadap anak kecil ini.
Usai diobati, Helen tersenyum dan memberi Xavier sebuah permen.
“Ini, om. Biar cepat sembuh dan nggak sakit lagi. Permen ini pas banget buat om yang lagi sakit,” ucap Helen ceria.
Xavier merasa dirinya diperlakukan seperti anak kecil, tapi anehnya ia tidak marah. Justru ada rasa hangat dalam dirinya. Ia tidak bisa menolak anak kecil itu—entah kenapa Helen bisa menaklukkan hatinya.
Ketika melihat Helen kewalahan membawa banyak permen, Xavier memutuskan membeli semuanya.
“Sini, om beli permennya semua biar kamu bisa pulang,” katanya.
Helen senang dan menyerahkan semua permennya.
“Berapa harga semua permennya?” tanya Xavier.
“Tiga puluh ribu, om.”
Xavier terkejut mendengar harganya yang murah, lalu ia memberikan uang berwarna merah kepada Helen.
“Om, ini kelebihan,” kata Helen.
“Hitung-hitung ini biaya perawatan yang kamu kasih ke om,” jawab Xavier.
“Saya ikhlas kok ngobatin om, jadi om jangan merasa terbebani. Om malah kasih saya uang banyak, nanti saya jadi merasa punya utang budi sama om,” ucap Helen polos.
Xavier tertawa kecil. Ia tidak menyangka anak sekecil Helen bisa bicara seperti itu. Ia kagum dan merasa terhibur.
“Orangtua kamu mana? Kok kamu kerja sendiri dan sekeras ini?” tanya Xavier.
“Saya sudah nggak punya orangtua, om. Saya kerja buat diri saya sendiri,” jawab Helen tenang.
Xavier terdiam. Ia merasa malu sekaligus salut mendengar anak kecil itu berbicara dengan keteguhan seperti orang dewasa. Ia mulai respek pada Helen.
“Kenapa kamu nggak kepikiran buat sekolah?”
“Karena saya nggak ada uang, om. Lagian, kalau saya sekolah, siapa yang biayain?”
“Kalau om yang biayain kamu, kamu mau sekolah?”
Helen menggeleng.
“Loh, kenapa nggak mau?”
“Aku nggak mau bebanin orang, om. Apalagi om orang baik. Jadi menurut aku, nggak perlu lah aku nyusahin om,” jawab Helen tegas.
“Kan ini om yang nawarin, bukan kamu yang nyuruh. Jadi kamu nggak membebani kok,” ucap Xavier lembut.
Namun Helen tetap keras kepala.
“Nggak mau, om. Jangan sampai aku jadi nggak suka sama om gara-gara om maksain aku,” katanya.
Xavier kehabisan kata-kata. Ia sadar, anak kecil ini memang keras kepala—tapi keras kepalanya adalah bentuk keteguhan hati.
“Sekarang kamu tinggal sama siapa?” tanya Xavier.
“Saya tinggal sama om dan bibi, tapi om nyuruh saya cari uang sendiri. Katanya, nggak akan ngasih uang kalau saya nggak kerja,” jawab Helen jujur.
Xavier geram mendengarnya, tapi ia bukan siapa-siapa bagi Helen, jadi hanya bisa menahan emosi.
“Kalau gitu, kamu ikut om aja gimana? Ikut om sampai kamu dewasa nanti. Setelah dewasa, kamu boleh bebas mau tinggal sama om atau nggak,” tawar Xavier.
Helen terdiam. Ia bingung memilih antara ikut dengan pria yang baru dikenalnya atau tetap bersama keluarga yang masih punya hubungan darah.
“Aku lebih milih tinggal sendiri, sebenarnya. Aku nggak suka ngebebanin orang lain,” jawabnya akhirnya.
Xavier menghela napas berat.
“Ya sudah, terserah kamu. Om cuma kasih pilihan terbaik. Kalau kamu nggak mau, ya bukan salah om,” ucapnya pasrah.
Helen tersenyum hangat. Ia merasa bersyukur bertemu dengan om baik seperti Xavier.
“Makasih ya, om, udah mau jadi orang baik. Aku senang banget bisa ketemu sama om, walaupun belum tahu kapan lagi bisa ketemu,” katanya sambil memeluk Xavier.
“Kamu bisa ketemu kapan pun kok, kalau kamu mau,” jawab Xavier lembut.
“Emangnya nggak takut ya ketemu aku, om? Kan aku orangnya bermasalah,” ujar Helen bercanda.
“Permasalahan mana sama om? Kayaknya om yang lebih bermasalah deh,” balas Xavier.
Helen tertawa. Ia senang bisa bertemu dengan pria baik itu. Namun karena malam mulai larut, ia harus pulang sebelum om-nya mencari.
Tanpa sepengetahuan Helen, Xavier diam-diam mengikutinya dari jauh. Ia menatap Helen yang masuk ke sebuah rumah kecil—rumah yang bahkan sulit disebut rumah.
Xavier berpikir, bagaimana anak sekecil itu bisa bertahan di tempat seperti ini?
Ia ingin sekali membawa Helen tinggal bersamanya, tapi Helen selalu menolak.
Hingga suatu hari, setelah sekian lama mengamati, Xavier sadar bahwa Helen menghilang. Ia tidak menemukannya di tempat biasa.
Xavier mulai panik. Ia pun meminta anak buahnya untuk mencari Helen ke mana pun ia pergi.