NovelToon NovelToon
Tiba-tiba Jadi Istri Rival

Tiba-tiba Jadi Istri Rival

Status: sedang berlangsung
Genre:Transmigrasi / Romantis / Time Travel / Enemy to Lovers / Cintapertama / Mengubah Takdir
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: zwilight

Saat membuka mata, Anala tiba-tiba menjadi seorang ibu dan istri dari Elliot—rivalnya semasa sekolah. Yang lebih mengejutkan, ia dikenal sebagai istri yang bengis, dingin, dan penuh amarah.

"Apa yang terjadi? bukannya aku baru saja lulus sekolah? kenapa tiba-tiba sudah menjadi seorang ibu?"

Ingatannya berhenti disaat ia masih berusia 18 tahun. Namun kenyataannya, saat ini ia sudah berusia 28 tahun. Artinya 10 tahun berlalu tanpa ia ingat satupun momennya.

Haruskah Anala hidup dengan melanjutkan peran lamanya sebagai istri yang dingin dan ibu yang tidak peduli pada anaknya?
atau justru memilih hidup baru dengan menjadi istri yang penyayang dan ibu yang hangat untuk Nathael?

ikuti kisah Anala, Elliot dan anak mereka Nathael dalam kisah selengkapnya!!!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zwilight, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB. 3 |The Cut Always Bleeds

"Dasar wanita gila!" Anala berteriak frustasi sambil membanting ponselnya dengan kasar kedalam tong sampah. Nafasnya memburu kuat, tangannya mencengkram sofa dengan erat.

Sambil memegangi kepalanya, ia terus bergumam seperti orang gila. "Bayangin kamu punya suami kayak Elliot, tapi malah selingkuh?"

Ia melirik foto pernikahannya dengan Elliot. Rasa getir membuat jantungnya berkecamuk hebat. Satu demi satu fakta yang terungkap berhasil mencabik hati nuraninya. "Memangnya kenapa aku harus selingkuh dari Elliot?" ia tak punya jawaban.

Akh nggak tau deh, Aku harus ketemu Mama dulu.

Anala berlari bergegas menuju depan rumah. Kakinya langsung melangkah ke dalam mobil dan meminta untuk diantar menuju kediaman orang tuanya. "Pak, tolong antar ke rumah orang tua saya!"

Sopir itu mengangguk cepat, badannya tegap layaknya sedang hormat. "Baik, Nyonya!"

Sejak mobil mulai jalan, pikirannya terus kusut. "Semuanya aneh. Pertama, aku tiba-tiba nikah sama Elliot dan kami punya anak. Lalu aku selingkuh sama Yohane?" ia tau ini pasti nggak mungkin. Wajahnya makin kusut dengan tiap fakta yang terasa gila. "Yang bener aja lah. Mana pernah aku suka sama dia."

Perjalanan terasa lama, pikirannya terus mencoba mengingat ingatan sepuluh tahun yang ia lupakan, namun tak bisa. Ia menggigit jari, lalu mengerang frustasi. "Aakhh... nggak bisa, aku nggak ingat apa-apa!" pak sopir hanya mengamati lewat kaca depan tanpa berani bertanya.

***

Tak terasa berlalu, Anala kini berdiri disebuah rumah yang familiar. Arsitekturnya masih sama, namun beberapa dinding terlihat mulai kehilangan warnanya, seperti kurang mendapat perawatan. Ia mendengus curiga, "Tumben Papa nggak ngerawat rumah seperti biasa."

Langkahnya mengalun gontai sambil sesekali menatap ke arah pohon besar yang masih kokoh dipojok pekarangan rumah. Senyumnya mengambang, nostalgia masa lalu memenuhi pikirannya. Pohonnya masih sama kayak dulu.

Ia sampai didepan pintu. Suasana terasa lengang, tak ada siapapun yang terlihat dari luar. Dengan senyum sumringah ia menekan bel yang mulai usang dimakan waktu. Jantungnya berdebar cepat, senang untuk melihat wajah ayah dan ibunya.

"Ma, Pa. Anala datang."

Pintu terbuka mengeluarkan bunyi tipis seperti suara kayu yang sudah tua. Anala sudah tak sabar, senyumnya makin lebar. Ia langsung berlari memeluk sosok didepan. "Mama!" ucapnya senang. "Anala kangen banget tau." wajahnya dibenamkan dalam kedamaian.

Namun ada sesuatu yang terasa janggal. Mama selalu mengusap punggungnya setiap mereka berpelukan. Tapi kini tubuh Mama terasa menegang tanpa perasaan, layaknya sebuah batang kayu. "Ma?" panggil Anala sambil berusaha memahami keadaan, namun tak ada jawaban.

Ia pun melepaskan pelukan itu, matanya memperhatikan ekspresi Mama yang tak biasa. Matanya melotot, hatinya sudah berdebar kuat, seketika rasa takut menghantuinya. "Mama?" ulangnya lagi.

Anala memegang kedua tangan yang terlihat renta itu, matanya mulai goyah, cairan bening sudah menggenang di pelupuknya. "Ada apa, Ma? Mama nggak senang ketemu Anala?" suaranya bergetar mengeluarkan pertanyaan itu.

Rahang mamanya menegang, matanya seolah membaca wajah Anala sebelum bicara. "Mau apa kamu kesini?" Anala tersentak. Mama melepaskan tangannya dengan kasar hingga membuat tubuhnya ikut terhuyung.

Sontak ia menggeleng pelan, "Anala cuma kangen sama Mama." dadanya terenyuh melihat Mama yang kini memandangnya dengan penuh benci.

"Oh, jadi kamu masih anggap saya sebagai Mama?" nadanya terdengar dingin, ekspresi Mama bahkan dibuat datar. Anala tak mengerti kesalahan apa yang dia lakukan hingga Mama begitu membencinya.

"Kenapa Mama bicara dingin kayak gitu?" Anala menggenggam tangan Mama dan menatapnya dengan suara lirih "Anala kan anak Mama, Anala putri kecil yang selalu Mama sayang."

Tapi Mama hanya diam. Anala mulai menoleh ke arah lain mencari keberadaan Papa, namun tak ada siapapun yang tersisa. "Dimana Papa, Ma?" suasana rumah tidak lagi sama seperti yang ia tau.

"Kamu tanya dimana Papa?" Mama terkekeh pelan, seringai diujung bibirnya baru pertama kali dilihat Anala. Tangan Mama mengepal, mencari kekuatan yang tersisa dihatinya. "Papa udah mati, Anala."

Anala membelalak, perlahan rasa sesak dan mual menghantam dadanya. Air mata membuncah, begitupun dengan rasa gemetar yang menjalar di sekujur tubuhnya. Tangisnya pecah hingga tungkai pun tak lagi sanggup menyanggah. "Nggak mungkin Ma. Papa nggak mungkin meninggal."

Plak...

Sebuah tamparan keras melayang diwajah putihnya hingga pandangannya beralih paksa dengan cepat. Rasa sakit yang menjalar di pipinya, tak sebanding dengan kehampaan yang tiba-tiba melanda hatinya.

Mama merasakan kebas setelah tangannya melayang dipipi Anala. Amarahnya mendidih hingga nada tingginya tak lagi bisa ditahan. "Seenaknya kamu datang tanpa rasa bersalah. Apa kamu nggak punya hati?"

Degg...

Rasanya seperti dihantam badai. Kemarahan Mama terlihat jelas dari caranya memandang putri semata wayangnya. Anala yang masih terdiam pun tak mampu mencerna segalanya dalam satu tarikan napas.

Sebenarnya apa yang terjadi, kenapa aku hidup seperti orang bodoh...

Tungkainya terasa lemas. Anala terduduk di sofa dengan nafas tersengal penuh tanda tanya. Sementara Mama masih dipenuhi amarah. "Gara-gara kamu suami saya kehilangan hidupnya. Kamu merampas semuanya dari saya, Anala..."

Rasanya petir menyambar disiang bolong. Waktu seolah berhenti berputar, sama dengan tubuhnya yang berhenti bernafas. Matanya mengerjap, mencoba mencari sedikit kebohongan dari mata Mama. Namun percuma, karena semuanya nyata.

Anala sontak berdiri dari sofa, tangannya mencengkram kedua bahu Mama menuntut jawaban. Pupilnya bergetar bersamaan dengan suara lirih yang keluar dari bibir pucatnya. "Apa yang sebenarnya sudah Anala lakukan, Ma?"

Mama tersenyum getir, tatapannya terlihat kosong, ia bahkan tak membiarkan Anala menyentuh bahunya lebih lama. "Setelah menggadaikan rumah ini kamu masih bertanya apa yang udah kamu perbuat? kamu benar-benar tidak tau malu!"

"Lebih baik kamu pergi dari sini, dan jangan pernah kembali lagi!"

Anala menggeleng, tungkainya terasa lunglai hingga perlahan ia jatuh dilantai. Kedua tangannya menopang dengan kasar— dadanya naik turun tak beraturan, persis seperti orang yang berada diambang kematian.

"Papa nggak mungkin ninggalin kita secepat itu! Mama bohong!" suaranya bergetar namun nadanya keras. Bayangan wajah papa yang tersenyum menyayat hatinya lebih dalam, senyuman yang tak akan pernah lagi ia dapatkan.

"Bohong? apa otak kamu juga ikut rusak semenjak berselingkuh dengan pria itu? ini salahmu Anala, salahmu yang sudah membuat Papa menemui ajalnya lebih cepat." tangan Mama mencengkram rahang Anala dengan kuat lalu menghempasnya kuat. Amarah ini sudah lama ia pendam sendirian.

Kepala Anala ikut terhuyung. Tangisnya masih deras tak kunjung berkurang. Kepalanya mendengung setiap kali Mama mengatakan hal paling tak masuk akal baginya. "Sebenarnya kenapa Ma?"

Mamanya menyeka air mata yang tiba-tiba membasahi pipinya. ia terlihat kesulitan meneguk tangisnya hingga rahangnya menegang. Ia menatap Anala, namun justru dadanya semakin sesak. "Karena kamu selingkuh dengan pria itu, suami saya... suami saya harus kehilangan nyawanya."

Mata Anala melotot tajam. Hatinya seperti ditusuk sembilu hingga rasanya ngilu tak tertahankan. Ia terus diam membiarkan ucapan Mama menggerogoti hati tak tau malunya. "Demi pria seperti itu kamu menghancurkan perusahaan yang dibangun Papa atas kerja kerasnya." tatapan Mama tajam, suaranya pun tegas.

"Kamu menjual segalanya demi pria itu." ucapannya diikuti tawa getir sebelum akhirnya berubah jadi lirikan kecewa. "Apa dimata kamu, kami hanyalah seonggok sampah?"

Anala menggeleng kuat, itu bukan keinginannya. Itu juga bukan perbuatannya. Tubuhnya yang bergetar dipenuhi air mata pun tak dapat menerima semua hal yang mengejutkan dalam satu waktu. Ia memegangi kepalanya, berteriak panik penuh resah.

"BUKAN!... ITU BUKAN AKU, MA!"

Tangannya terus menutupi kepalanya yang berdenyut seolah ingin meledak. Ia tak sanggup menahan semua rasa yang menggilakan ini, hatinya tak cukup kuat untuk menahan segalanya.

"Maaf. Aku minta Maaf. Itu bukan kemauanku!" gumaman tak hentinya keluar dari mulut Anala, dia bahkan tidak lagi bisa mengontrol kesadarannya hingga dunia menggelap dan ia pingsan oleh rasa bersalah.

***

Setelah beberapa saat berlalu. Anala membuka mata setelah tak sadarkan diri. Entah bagaimana caranya, Mama membawanya masuk ke dalam kamar yang dulu adalah miliknya. Langit-langitnya terlihat sama, tidak ada yang berubah.

"Kamarku...?" katanya mulai sadar. "Aakh..." ia meringis pelan saat rasa sakit tiba-tiba menjalar di kepalanya.

Ia menoleh ke arah samping, dan melihat Mama yang duduk bersandar dikursi sambil memandang cahaya jingga yang menguning dari arah balkon kamar. Seketika matanya melebar, lalu berubah sendu setelah ia ingat kenyataan.

Ia terus menatap Mama, tenggorokannya seolah segan untuk bicara. "Mama..." panggil Anala lirih. Ia bangun dari tidurnya dan berdiri untuk menghampiri Mama. Namun tubuhnya ringkih, ia terjatuh seketika.

Pandangannya langsung tertunduk letih. Ia tak tau bagaimana caranya untuk mengembalikan semua hal seperti semula. Hanya air mata yang lagi-lagi jatuh membasahi pipinya. "Tolong maafkan Anala, Ma..." tangisnya pecah bersama nada lirih yang terdengar sakit penuh luka.

"Anala sungguh tidak ingat pernah melakukan itu. Anala nggak mungkin melakukan hal seburuk. Anala sangat menyayangi kalian melebihi apapun." bibirnya tak berhenti bicara meski suaranya mulai tak jelas terbawa tangis.

Jauh dari lubuk hatinya Mama percaya bahwa Anala yang ia kenal bukanlah Anala yang empat tahun lalu mengacaukan hidupnya. Namun hatinya terlampau sakit hingga rasanya tak perlu ada pembelaan.

Mama menggigit bagian dalam bibirnya, memberi kekuatan pada jiwanya yang terluka parah. "Sudahlah Anala, memang sebaiknya kamu tidak perlu datang kesini lagi. Mama sudah merelakan semuanya, termasuk kamu."

Anala menggeleng cepat. Ia membawa tangan Mama untuk menyentuh wajahnya. Mama pasti bisa merasakan tangannya yang bergetar bersama tangis yang tak kunjung reda. "Enggak Ma. Jangan bicara seperti itu. Anala masih anak Mama, Anala selalu ada dihati Mama."

Mama mulai menatap Anala, mengelus wajah putri kecilnya yang sejak dulu begitu ia sayang. Namun tangisnya lagi-lagi pecah. "Mama nggak bisa Anala. Setiap melihat kamu, yang terbayang hanya kejadian itu."

Mata Anala yang sebelumnya melebar tiba-tiba menyipit penuh luka. Ia tak berani mengangkat pandangan lagi, semuanya sudah hancur berantakan. "Kalau mama saja sudah tak bisa menerima Anala, apalagi orang lain Ma." ia meneguk ludah dengan kasar, tatapannya mulai nanar.

"Apa lebih baik kalau Anala tidak ada?"

Mama langsung membelalak begitu kalimat terakhir Anala mencapai telinganya. Jantungnya langsung berdebar tak karuan, tidak ada satupun ibu yang rela membiarkan anaknya mengakhiri hidup dengan mudah. Mama membentak penuh kecewa. "Jangan main-main dengan hidupmu, bodoh!"

Anala menggeleng ringan, mata sayu nya menatap lurus ke arah luar. Pandangan yang jauh tak berarah. "Untuk apa aku hidup saat Mama sendiri nggak lagi bisa menerima? lebih baik Anala menghilang bersama semua rasa bersalah ini."

"Anala mungkin akan tenang— karena hidup dihantui rasa bersalah membuat tubuh ini gemetaran."

Mama menamparnya lagi, kali ini matanya dipenuhi cairan bening. "Jangan beraninya kamu melakukan hal itu! Mama sudah kehilangan Papa, jangan kamu tambah ruang kosong dihati Mama."

"Dasar anak menyebalkan! kamu anak Mama satu-satunya, kamu kebanggaan Mama."

Anala makin sedih setelah mendengar ucapan Mama, ia memeluk Mama lebih erat dan benar-benar membenamkan seluruh wajahnya dipelukan sang Mama. "Tolong maafkan Anala, Mama... Papa..."

Mama memejamkan matanya. "Mama akan memaafkan kamu dengan satu syarat." suara Mama membuat Anala sedikit merenggangkan pelukannya, ia melirik lalu bertanya. "Apa Ma?"

"Putuskan Yohane. Minta maaf pada Elliot dan Nathael. Dengan itu Mama akan memaafkan kamu dan mencoba damai dengan keadaan."

Keheningan tercipta diantara mereka. Mama mengira anaknya mungkin akan marah dan tak setuju, namun ternyata ia salah. Anala semakin mempererat pelukannya dan mengecup pipi Mama.

"Tanpa Mama suruh pun Anala pasti akan melakukannya Ma. Karena Anala yang sekarang adalah Anala yang asli, bukan Anala yang gila itu."

1
Mayuza🍊
semoga nanti author dan readers dapat suami kayak Elliot yaa😭
__NathalyLg
Aduh, abis baca ini pengen kencan sama tokoh di cerita deh. 😂😂
Mayuza🍊: mana bener lg 😔
total 1 replies
Ahmad Fahri
Terpana😍
Mayuza🍊: haii kaa makasih banyak supportnya ya🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!