Hana Hafizah menjadi perempuan paling tidak beruntung ketika ayah dan ibu memintanya untuk menikah, tetapi bukan dengan lelaki pilihannya. Ia menolak dengan tegas perjodohan itu. Namun, karena rasa sayang yang dimilikinya pada sang ayah, membuatnya menerima perjodohan ini.
•••
Gadibran Areksa Pratama. Dosen muda berumur 27 tahun yang sudah matang menikah, tetapi tidak memiliki kekasih. Hingga kedua orang tuanya berkeinginan menjodohkannya dengan anak temannya. Dan dengan alasan tidak ingin mengecewakan orang yang ia sayangi, mau tidak mau ia menerima perjodohan ini.
•••
“Saya tahu, kamu masih tidak bisa menerima pernikahan ini. Tapi saya berharap kamu bisa dengan perlahan menerima status baru kamu mulai detik ini.”
“Kamu boleh dekat dengan siapapun, asalkan kamu tahu batasanmu.”
“Saya akan memberi kamu waktu untuk menyelesaikan hubungan kamu dengan kekasih kamu itu. Setelahnya, hanya saya kekasih kamu. Kekasih halalmu.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RahmaYusra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Kekasih Halalmu • Cerita Tidak Terduga
Hana dan Nengsih duduk digazebo depan kelas–ruangan J8 yang disampingnya terdapat lapangan bola kaki FKIP, yang baru saja bubar karena dosen yang berhalangan masuk dan akan ganti jadwal. Mereka–khususnya Hana, sedang menunggu Galang yang sudah diperjalanan untuk menjemputnya. Ditemani WI-FI prodi, keduanya dengan senang hati tetap berada digazebo itu walaupun sudah lebih dari dua puluh menit mereka duduk di sana.
Hana hanya menonton sambil scroll beberapa aplikasi dan itu sangat membuatnya bosan. Sedangkan Nengsih masih asik menonton Youtube, sangat jelas karena mereka duduk bersebelahan, juga suara yang terdengar olehnya.
Hana lalu mematikan ponsel miliknya kemudian mengintip apa yang ditonton Nengsih. “Lo nonton apaan?” tanyanya sambil melirik tontonan sahabatnya itu.
Nengsih menoleh. “Hm? Ini, DMS,” jawabnya dan melanjutkan tontonannya lagi.
Hana mengangguk kemudian ikut menonton. “Gue lebih sering KBP, sih.”
“Jadi lo suka nonton yang beginian juga?” perempuan kuncir kuda itu menatap Hana lagi.
Hana mengangguk. “Suka. Kalau lagi bosan aja, sih, baru gue nonton. Lagian di KBP mereka per-part gitu. Ada ngobrol-ngobrol, abis itu baru mereka melakukan penelusuran.”
“DMS?” tanya Nengsih pada Hana.
“Kalau DMS, sepupu gue, sih, yang sering nonton. Kalau dia nonton, gue ikutan. Bahkan sampai ketiduran.” Hana tertawa ringan, begitu juga Nengsih.
“Bisa-bisanya nonton yang kayak gini, lo ketiduran.” Hana hanya mengedikkan bahunya tanda tidak tahu kala Nengsih mengatakan hal yang seperti itu.
Mereka masih menonton youtube sambil terus mengobrol, dengan posisi bersebelahan dan Nengsih yang memegang ponselnya untuk mereka tonton berdua.
“Lo nggak takut emangnya nonton beginian?”
Hana mengangkat bahunya. “Takut nggak takut, sih, sebenarnya. Toh, dari kecil gue sering dirumah sendirian. Nyokap sama Bokap lebih sering keluar karena kerja. Jadi kalau soal rasa takut, nggak terlalu, sih, buat gue. Mungkin karena gue positive thinking terus kalau ada dengar suara-suara yang aneh, jadi nggak terlalu ngaruh buat gue kalau 'mereka' beneran ada. Malahan dari gue nonton yang beginian, gue jadi tahu kalau 'mereka' bisa jadi jahat, usil, bentuknya aneh, menyeramkan, dari pikiran kita sendiri. Makanya nggak usah mikir yang aneh-aneh, 'mereka' juga nggak bakalan aneh-aneh, kok,” jelas Hana panjang lebar.
Nengsih pun mengangguk membenarkan. “Bener. Gue setuju.”
“Lo emangnya nggak takut nonton yang horor gini? Lagian ini real, loh? Bahkan, kadang suara 'mereka' yang dari sana kedengeran sama kita,” tanya Hana pada Nengsih.
“Takut mah, manusiawi, Han. Siapa juga yang nggak takut kalau nonton beginian. Tapi dari sini gue juga tahu, kalau hidup kita itu berdampingan. Asal kita nggak mulai dan nggak punya pikiran yang macem-macem, 'mereka' juga nggak bakalan ngapa-ngapain kita. Kalau menurut 'mereka', 'mereka' emang kuat, toh itu cuma didunia 'mereka' Karena dasarnya manusia lebih diatas 'mereka' yang udah nggak ada didunia ini. Jadi menurut gue, takut wajar, tapi jangan jadiin itu kekuatan buat 'mereka'. Paham?”
Hana malah berdecak karenanya. “Paham gue,” jawabnya dengan nada jengkel.
Dengan senyum mengembang, Nengsih menyapu lembut rambut Hana. “Pinter banget adik gue.”
“Ih! Apaan sih lo!” Nengsih tergelak melihat wajah kusut Hana. Sangat menyenangkan membuat orang kesal baginya.
Setelah itu, mereka lanjut menonton Youtube. Tidak terlalu serius karena mereka takut membayangkan makhluk yang diceritakan oleh pemilik channel itu lalu makhluk yang ada disekitar mereka menyerupai bentuk yang mereka bayangkan. Sesekali mereka mengobrol diluar dari yang mereka tonton. Untuk menghindari bayangan yang akan muncul dikepala mereka.
Tidak lama, seseorang duduk agak berjarak dengan mereka. Dua perempuan beda fashion itu menoleh.
“Loh, belum balik, Mai? Pulangnya udah dari tadi perasaan,” tanya Nengsih bingung pada Maira –perempuan yang baru saja gabung bersama mereka.
Maira menggeleng. “Masih nunggu jemputan,” jawab Maira. Hana dan Nengsih nampak mengangguk.
“Lo darimana?” tanya Nengsih lagi, ia sudah mematikan ponselnya. Lebih tertarik untuk mengobrol dengan yang ada didepannya sekarang.
“Dari halte FISIP. Nemenin Zahra sama Lena nunggu Bis,” jawab Maira yang lagi-lagi dibalas anggukan oleh keduanya.
“Padahal FISIP ke FKIP lumayan jauh, loh, Mai,” kata Hana.
Maira tertawa kecil. “Nggak papa. Sekalian olahraga.” Hana dan Nengsih juga ikut tertawa kecil.
“Oh, iya. Aku mau cerita,” kata Maira yang menarik perhatian dua temannya itu.
“Apa?” jawab keduanya.
“Tadi waktu Riska sama yang lain lagi tik-tok-kan, ada yang ngikut, loh,” kata Maira.
Nengsih mengernyit, sedangkan Hana memilih diam.
“Lah? Kan emang harus diikutin, Mai. Kan bikin video?” ucap Nengsih.
Mendengar itu, membuat Hana memutar bola matanya lalu menoyor kepala Nengsih dari belakang. “Aish! Apaan sih, remaja tua!” kesal Nengsih.
Maira malah tertawa mendengar panggilan Nengsih untuk Hana. Sedangkan Hana melotot. “Lo juga remaja tua! Jangan ngatain gue!”
“Ya, terus ngapain lo mukul kepala gue!”
“Karena lo bego! Makanya jangan perut doang yang dipikirin!”
“Dih? Perut-perut gue, ngapain lo yang sewot?!”
Maira langsung melerai temannya yang masih meribut itu. Tetapi cukup menghiburnya. Tidak hentinya ia tertawa melihat tingkah dua orang teman yang di depannya itu.
“Udah, jangan berantem. Ntar diliat adik tingkat sama yang lain malu, loh.” Keduanya pun diam. Walaupun sempat menghela napas kasar.
“Maksud aku ada yang ngikutin itu, selain dari Riska dan yang lain. Bukan anggota kelas, dia juga bukan manusia,” jelas Risa yang membuat mata Nengsih membelalak.
“Maksudnya … hantu gitu?” bingung Nengsih dan Maira mengangguk, tetapi Hana hanya diam, karena dia sudah paham kemana arah bicara Maira.
Humaira. Gadis cantik berjilbab dan berkacamata, berwajah bulat dan pipi yang chubi serta paling pintar dikelas. Maira, panggilan untuknya, terkenal sebagai anak indigo. Hana sudah cukup lama tahu, tetapi tidak dengan Nengsih. Ia hanya tahu kalau ada anak indigo dikelasnya, tetapi tidak tahu siapa. Begitulah Nengsih.
Tidak peduli sekitar, karena baginya yang penting adalah perut.
“Terus gimana, Mai? Dia ganggu? Perempuan atau laki-laki?” Hana tentu saja penasaran dengan cerita itu.
Maira menggeleng. “Dia laki-laki, remaja. Kayaknya seumuran sama kita. Tapi dia sama sekali nggak ganggu. Dia cuma lagi jalan-jalan kayaknya. Keliling gitu. Terus nggak sengaja lihat anak-anak lagi joget pake musik gitu. Aku pikir dia langsung pergi. Eh, ternyata malah nyamperin, dan dia sempet joget. Ngikutin Riska sama yang lain. Malah aku sempet ketawa tadi. Sampai-sampai dikatain aneh sama Lena karena ketawa sendiri.” Maira kembali tertawa sambil geleng-geleng kepala saat mengingat kejadian dikelas tadi.
“Anjir.” Nengsih mengumpat, sedangkan Hana tertawa pelan.
“Itu hantu narsis juga. Tahu aja ada tik-tok,” gumam Nengsih yang semakin membuat Maira maupun Hana tertawa.
“Terus-terus?” Nengsih menagih kelanjutannya.
Begitupun dengan Hana yang sudah terwakilkan.
Maira nampak berpikir. “Eum, kalau nggak salah, Nisa masuk kelas. Tiba-tiba dia pergi gitu aja.”
“Kok bisa?” Heran Nengsih.
“Karena Nisa ada yang jagain. Jadi 'dia' langsung pergi. Kayak segan gitu nggak, sih?” Hana yang menjawab, lalu ia menatap Maira.
Maira mengangguk. “ Benar.”
“Kok, lo tahu?” kaget Nengsih.
“Maira pernah cerita kalau Nisa ada yang jagain. Turunan dari keluarga Mamahnya kayak buyutnya gitu, lah. Makanya dia takut. Segan,” jelas Hana. Nengsih mengangguk. Begitu juga dengan Maira.
Tidak lama, ponsel Maira berbunyi. “Ya udah gue duluan yaa. Udah dijemput, assalamualaikum.”
“Oke. Hati-hati yaa, Mai. Waalaikumussalam,” jawab keduanya bersamaan, dan Maira sudah berjalan menjauhi mereka menuju mobil yang sudah terparkir didepan sana untuk menjemputnya.
Tidak lama setelah itu, ponsel Hana juga berbunyi. “Yuk, Neng. Kita pulang. Galang udah diparkiran.”
Nengsih mengangguk lalu keduanya menuju parkiran. Hana ke mobil Galang, dan Nengsih ke arah motornya. Keduanya berpisah menuju tujuan masing-masing.
Sebelum ia mencapai motornya, Nengsih terus memperhatikan dua manusia yang tengah menjalin hubungan itu.
Nengsih terpaksa harus memberhentikan motornya, ketika melihat orang yang mirip dengan seseorang yang ia kenal. Dipelataran Fakultas Teknik, Nengsih menyipitkan matanya untuk memastikan bahwa laki-laki yang sedang berduaan sambil saling merangkul itu adalah orang yang sama dengan seseorang yang sudah beberapa tahun ini bersama sahabatnya. Ketika wajah laki-laki itu sudah terlihat sangat jelas olehnya, secara tidak sadar, wajah perempuan itu mengeras dan mencengkram setir motornya dengan erat.
"Sialan! Gue pikir lo udah berubah, Lang. Ternyata lo masih jadi bajingan berengsek!”
***