Armand bukanlah tipe pria pemilih. Namun di umurnya yang sudah menginjak 40 tahun, Armand yang berstatus duda tak ingin lagi gegabah dalam memilih pasangan hidup. Tidak ingin kembali gagal dalam mengarungi bahtera rumah tangga untuk yang kedua kalinya, Armand hingga kini masih betah menjomblo.
Kriteria Armand dalam memilih pasangan tidaklah muluk-muluk. Perempuan berpenampilan seksi dan sangat cantik sekali pun tak lagi menarik di matanya. Bahkan tidak seperti salah seorang temannya yang kerap kali memamerkan bisa menaklukkan berbagai jenis wanita, Armand tetap tak bergeming dengan kesendiriannya.
Lalu, apakah Armand tetap menyandang status duda usai perceraiannya 6 tahun silam? Ataukah Armand akhirnya bisa menemukan pelabuhan terakhir, yang bisa mencintai Armand sepenuh hati serta mengobati trauma masa lalu akibat perceraiannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PenulisGaje, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
2. Luka Yang Tertinggal
Di dalam ruangan kecil yang tak memiliki banyak perabotan di dalamnya itu, Armand duduk merenung. Posisinya kepalanya yang tertengadah ke atas membuat pandangan Armand langsung mengarah ke langit-langit ruangan.
Siapa bilang pria berusia matang sepertinya tidak bisa merasakan melo atau sedih. Toh pada kenyataannya, Armand tak akan malu mengakui bahwa hingga saat ini, ia masih dihantui oleh trauma. Yang mana selalu membayangi tiap langkah, seolah enggan untuk membiarkannya menapak bebas. Hingga karena alasan itu pula lah, maka Armand tak memiliki minat untuk kembali menjalin kisah asmara.
Tak peduli sekali pun Fandy terus mencoba menggoyahkan keteguhan hatinya dengan menceritakan seluruh petualangan 'panas' yang sahabatnya itu lalui, Armand tetap tak bergeming.
Pernah sekali Daffa menyeletuk mengatakan jika dirinya masih mencintai mantan istrinya, hingga kesulitan untuk move on. Namun...
Masihkah Armand mencintai mantan istrinya?
Jawabannya sudah tentu tidak ada lagi rasa tersebut di dalam hatinya. Yang tertinggal hanya luka. Luka yang menyebabkan trauma berkepanjangan serta membuat Armand tak malu lagi meletakkan hatinya kepada siapapun.
"Ngelamun aja terus, Man. Coba buka lebar itu mulut, sapa tau ada cicak mau ngasih sedekah buat lelaki gagal move on sepertimu."
Armand mendengus. Dengan hanya mendengar suaranya saja Armand sudah tahu siapa orang yang suka seenaknya nyelonong masuk ke dalam ruang pribadinya ini.
Kesal karena kedatangan Fandy yang kini telah terdengar menarik kursi yang berada di seberang meja, Armand berusaha mengabaikan keberadaan pria usil itu dengan tetap mempertahankan posisinya semula.
"Cieee Armand, gagal move on nih yee."
Godaan disertai kikikan geli di akhir kalimat tersebut membuat Armand mendengus kesal.
"Kalau emang masih gagal move on, coba aja hubungin lagi itu perempuan ular. Ajak aja indehoy sekali atau dua kali. Meski aku sebenarnya nggak setuju kau menjalin hubungan lagi dengan tuh perempuan, tapi siapa tau aja setelah kalian mendaki gunung melewati lembah bersama, akhirnya bisa melegakan rasa frustasi yang kau rasakan selama bertahun-tahun."
Armand memejamkan kedua matanya rapat. Sungguh, Armand berniat untuk mengabaikan apapun bentuk ocehan sahabatnya yang ingin sekali ia sumpal mulutnya itu menggunakan kaos kakinya.
"Wah... wahhh, tega bener kau Armand, sang duda kaya raya tapi gagal move on, mengabaikan keberadaan pria tampan dan menawan sepertiku."
Kekeuh berusaha untuk mengabaikan Fandy yang terus mengoceh, Armand bahkan bersikap baik patung hidup, bernapas tapi tak bergerak.
"Gini loh ya, bapak Armand Rizaldi yang terhormat, aku ini udah dateng jauh-jauh ke kafemu ini, yang kau bangun di lokasi yang nggak strategis begini, jadi tolong dong ya, hargai'in sedikit niat baik sahabatmu ini untuk menemani duda kesepian macam kau ini."
"Sebenarnya apa sih tujuan kau datang ke sini, Fan?" Armand tak lagi bisa terus mengabaikan si cerewet yang selalu tahu bagaimana caranya menikmati hidup itu. "Kalau tujuanmu datang ke sini cuma buat ngomongin hal yang nggak penting, mending kau balik aja ke tumpukkan mobil-mobil mewahmu sana." ucap Armand kesal seraya duduk tegak menghadap Fandy yang malah menyengir tanpa dosa.
"Aku tuh cuma lagi bosan aja, Man. Tadinya nggak mikir mau mampir, tapi ternyata tanpa sadar aku malah mengarahkan mobilku ke kafemu yang nggak banyak pengunjungnya ini." Fandy berucap ringan sembari mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan yang tak lebih luas dari kamar pembantunya di rumah.
"Kau kan tau, kafe ini aku bangun bukan sebagai tempat untuk mencari keuntungan."
"Ya... ya... ya, juragan tanah sepertimu itu emang nggak perlu lagi sumber pemasukan lainnya." Fandy merotasikan kedua matanya kesal. "Lokasi ini kau pilih juga karena udah tau kalau nggak akan ada banyak orang yang ke sini. Jadi, selain tujuanmu supaya kau nggak keliatan seperti pengangguran saat berada di kota, kau juga suka menyendiri di sini. Soalnya kau nggak mau kalau sampe ibumu yang lembut hatinya itu jadi kepikiran ngeliat anak beliau satu-satunya masih gagal move on."
"Siapa bilang aku masih belum move on, Fan?" Armand berusaha menyabarkan dirinya. Ia benar-benar kesal karena terus dikatai gagal move on. Meski tahu jika Fandy hanya bercanda, dan hanya ingin memancingnya bicara, tetap saja Armand merasa kesal.
"Iya, udah move on. Tapi masih cinta, kan?"
"Ya ampun... " ingin sekali rasanya Armand meraup muka dan menarik bibir pria yang duduk di seberang meja itu. Akan tetapi, rupanya kesabaran Armand yang masih tersisa sedikit membuatnya masih bisa menahan diri dan dengan sabar kembali menjelaskan, "Bagiku, baik itu rasa cinta, rasa sayang, atau seperti apapun kau menyebutnya, semua itu udah nggak ada lagi di hatiku. Dia hanyalah bagian dari masa lalu, yang kehadirannya harus aku jadikan sebagai pembelajaran agar aku nggak akan lagi merasakan hal yang serupa."
"Kalau begitu, bersenang-senanglah, Man. Keluar lah dari 'duniamu' yang sempit dan 'tertutup' ini. Carilah perempuan lain yang bisa mengisi kekosongan hatimu itu. Agar, saat nanti kau berhadapan lagi dengan perempuan itu, kau bisa memamerkan kalau kau bisa mendapatkan pengganti yang jauh lebih baik darinya."
"Aku masih belum kepikiran untuk berumah tangga lagi, Fan." timpal Armand langsung. "Sekarang ini aku sangat menyukai keadaanku in... "
Tok... tok...
Perkataan Armand seketika terhenti sebab terdengar suara pintu yang diketuk dari luar. Karena pintu ruangan dimana ia berada saat ini ternyata dibiarkan terbuka lebar oleh Fandy, maka Armand bisa langsung melihat keberadaan Arif, orang yang bertanggung jawab untuk mengolah kafenya ini.
"Maaf mengganggu, Pak. Tapi, ada tamu yang terus ngotot mau bertemu dengan Bapak. Dia bahkan sengaja membuat keributan di luar."
"Siapa?" tanya Armand langsung.
"Dia bilang namanya Evalina. Katanya, kalau Bapak nggak mau nemuin dia, maka dia akan tetap membuat keributan dan mengganggu ketenangan beberapa pengunjung yang ada di luar."
Sontak saja begitu mendengar nama tersebut, Armand menghela napas berat.
Seharusnya mantan istrinya itu akan sulit menemukan tempat menyendirinya ini. Selain karena lokasinya yang tak ia beritahukan kepada siapapun yang mengenalnya, Armand juga selalu menggunakan jalan rahasia untuk bisa sampai ke sini.
Jadi, satu-satunya cara Evalina bisa menemukan tempat ini adalah...
Pandangan Armand kemudian mengarah tajam kepada si tersangka utama. Si pria cerewet yang kini meringis seraya menggaruk bagian belakang kepalanya yang sudah pasti tidak terasa gatal.
"Sorry, Man!" Fandy meringis merasa bersalah. "Aku nggak tau kalau perempuan itu ternyata ngikutin aku."
Sudahlah! Percuma saja jika ingin memarahi sahabatnya itu.
Yang bisa Armand lakukan hanyalah kembali memandang Arif seraya berkata, "Suruh duduk dan bilang aku akan segera keluar untuk menemuinya."
"Baik, Pak."
Usai orang kepercayaannya itu berlalu dari depan muka pintu yang terbuka, Armand pun berdiri dengan diikuti oleh Fandy yang kini merasa bersalah.
"Sumpah, Man, aku nggak tau kalau nenek gayung itu ngikutin aku."
"Udahlah, jangan dibahas lagi. Walaupun bukan melaluimu, suatu hari nanti dia pasti juga bisa nemuin tempat ini."
"Kenapa sih tuh perempuan haus belaian segitu obsesinya padamu? Bukannya kalian udah lama berpisah, masih aja dia selalu berusaha ngerecokin hidupmu." dengus Fandy kesal.
"Entahlah!" Armand sendiri pun tak mengerti alasan mengapa hingga saat ini mantan istrinya itu masih saja selalu mengusik ketenangannya.
Armand tak ingin lagi memperpanjang pembicaraan dengan sahabatnya yang tak lagi secerewet waktu di awal kedatangannya.
Biarlah hari ini Armand akan menyabarkan diri untuk menemui wanita yang telah berstatus sebagai mantan istrinya itu dan mendengar apa yang ingin wanita itu katakan.
--------