NovelToon NovelToon
PULAU HANTU

PULAU HANTU

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Horror Thriller-Horror / Iblis / Keluarga / Tumbal
Popularitas:1k
Nilai: 5
Nama Author: ilalangbuana

Pak jono seorang pedagang gorengan yang bangkrut akibat pandemi.
menerima tawaran kerja sebagai nelayan dengan gaji besar,Namun nasib buruk menimpanya ketika kapalnya meledak di kawasan ranjau laut.
Mereka Terombang-ambing di lautan, lalu ia dan beberapa awak kapal terdampar di pulau terpencil yang dihuni suku kanibal.
Tanpa skill dan kemampuan bertahan hidup,Pak Jono harus berusaha menghadapi kelaparan, penyakit,dan ancaman suku pemakan manusia....Akankah ia dan kawan-kawannya selamat? atau justru menjadi santapan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ilalangbuana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

tanda-tanda tak di undang

Mentari pagi mengintip malu malu dari balik awan kelabu...

saat Pak Jono terbangun di atas pasir lembap,tubuhnya menggigil meski mentari perlahan mulai muncul...

Luka bakar di punggung dan tangannya terasa perih dan terlihat mulai bernanah dan mengeluarkan aroma tak sedap..

Pakaiannya sudah compang-camping, sebagian menempel di kulit yang mengelupas.

Di sebelahnya,

Jefri duduk bersandar pada batang pohon mati. Wajahnya pucat dan matanya merah,akibat kurang tidur.

“Air kita habis” katanya pelan, nyaris tak terdengar.

Pak Jono mengangguk lemah. Bibirnya pecah-pecah, lidahnya kering.Tenggorokannya seperti terbakar.

ia bahkan tak bisa menelan ludah.

Di sudut bibirnya,darah mengering membentuk kerak tipis.

Sekitar sepuluh meter dari mereka, Kapten Rahmat duduk bersila dengan mata tertutup, seolah sedang berzikir, atau mungkin menenangkan pikirannya yang mulai retak..

Ia belum banyak bicara sejak pendaratan kemarin. Sesekali ia membuka matanya dan menatap hutan lebat di depan mereka,

seperti sedang membaca sesuatu yang tak terlihat oleh yang lain.

Gilang dan Arman,

dua awak kapal yang tersisa, sedang memeriksa sekoci yang mereka tumpangi, berharap bisa menemukan sisa makanan tersembunyi atau barang yang terlewat.Tapi nihil...Hanya sehelai kain sobek, sepotong plastik, dan... secarik foto keluarga yang basah dan robek di tepinya.

“Aku nggak tahan Gilaaaang. Perutku sakit. Kepala pusing.Kita harus cari makanan” kata Arman sembari menggenggam perutnya yang melilit.

Gilang mengangguk.

“Iya, tapi kita nggak bisa masuk hutan sembarangan. Kita nggak tahu ada apa di sana. Belum tentu aman.”

“Aman atau nggak, kita bakal mati pelan-pelan di sini kalau terus nunggu.”

Arman berdiri, mengambil potongan pipa logam yang ia temukan di sekoci.

“Aku mau cari sesuatu dulu di sekitar hutan, nggak jauh. Siapa tau nemu buah-buahan atau setidaknya binatang, kalo nemu nanti aku balik. Kalau nggak… ya paling aku cari lagi.”

Tak ada yang membantah. Bahkan Kapten Rahmat hanya membuka matanya sebentar, lalu kembali diam.

Arman pun melangkah ke dalam hutan, menyingkap semak-semak tebal yang menjulang tinggi. Ia membawa potongan pipa dan botol kosong, berharap bisa menemukan mata air atau apapun yang bisa dimakan.

Waktu berlalu.

Satu jam.

Dua jam.

Tiga.

Langit mulai berubah warna dari biru kelabu menjadi jingga temaram.

Angin bertiup kencang dari arah timur, membawa aroma aneh seperti darah dan kayu terbakar. Daun-daun berguguran, dan suara burung pun hilang. Hutan tampak... terlalu sunyi.

Pak Jono semakin lemah. Napasnya berat dan dadanya sesak.Luka bakarnya kini diselimuti lalat-lalat kecil yang mengerumuni bagian yang terbuka.

“Harus dibersihkan,” kata Jefri pelan. Ia mencoba mencari air di antara bebatuan pesisir, mengorek tanah dengan tangan kosong, berharap ada mata air tersembunyi. Tapi tak ada. Hanya pasir, akar mati, dan serangga yang merayap.

Gilang mondar-mandir, matanya liar, pikirannya mulai tidak stabil.

“Dia masih belum kembali Arman... Dia nggak balik-balik!” Gilang berteriak, suaranya retak oleh panik. “Harusnya dia balik! HARUSNYA DIA BALIK!”

“Tenang!” kata Kapten Rahmat dengan nada keras untuk pertama kalinya. “Kalau kau masuk hutan dalam kondisi begini, kau juga hilang.”

“Kita nggak bisa diem aja! Dia bisa aja jatuh, kejebak, atau”

“Atau dimakan binatang buas!” potong Jefri.

Semua diam.

Angin semakin kencang. Ranting-ranting bergoyang, dan suara sesuatu terdengar dari balik pepohonan. Suara itu... aneh. Seperti gendang dipukul pelan, berulang-ulang.

Dum... dum... dum...dum

Tak keras.Tapi cukup untuk membuat bulu kuduk meremang.

Pak Jono menatap hutan dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

“Ada... orang?”

Kapten Rahmat berdiri perlahan, matanya menyipit.

“Kalau itu suara manusia, maka mereka sedang memperingatkan kita. Dan kalau bukan manusia... kita sudah melangkah terlalu jauh.”

Malam tiba.

Tak ada cahaya kecuali dari bintang yang redup. Bulan tak tampak. Mereka membuat api kecil dari ranting dan serpihan sekoci,mencoba bertahan dari dingin. Perut lapar, haus yang menusuk, dan pikiran yang tak tenang membuat suasana di sekitar api unggun menjadi neraka tersendiri.

Jefri akhirnya memecah keheningan.

“Kapten... pulau ini... kenapa terasa ada yang janggal, ya?”

Kapten Rahmat menatap api.

“Dulu... saya pernah dengar cerita dari nelayan tua...Ada pulau di perairan utara,

yang tak pernah tercatat di peta.Pulau itu katanya muncul dan tenggelam sesuka hati. Kadang terlihat, kadang tidak.”

Gilang menelan ludah.

“Mitos?”

“Suku yang tinggal di sana... katanya bukan manusia. Mereka pemakan daging.Tapi bukan daging hewan.” Kapten mengangkat alisnya.

Pak Jono gemetar.

“Suku... kanibal?”

Kapten mengangguk perlahan.

“Tapi itu cerita lama. Katanya, sudah punah. Pulau itu ditinggalkan. Tapi kalau cerita itu benar... kita bisa saja berada di tempat yang sama sekarang.”

Angin kembali berdesir.Dan kali ini, dari dalam hutan, terdengar suara ranting patah.

Semua menoleh.

Tak ada yang bicara. Api unggun berderak.Cahaya temaram menari-nari di wajah mereka yang penuh ketakutan.

Jefri perlahan meraih potongan kayu tajam. Gilang merapat ke Kapten. Pak Jono hanya bisa berbaring, tubuhnya terlalu lemah untuk melawan apapun.

Dari balik pepohonan... tampak sesuatu bergerak.

Sosok gelap.Tidak terlalu tinggi.Tapi bentuknya tidak jelas.

Jefri berseru, “Arman?!”

Namun sosok itu tidak menjawab.

Ia hanya berdiri.....diam... dan kemudian lari menembus hutan dengan kecepatan luar biasa.

Gilang berteriak, “Itu bukan Arman! Itu BUKAN ARMAN!!”

Kapten bangkit berdiri.“Jaga api tetap menyala! Apapun yang terjadi, jangan biarkan kita dalam gelap!”

Malam itu panjang dan tak ada yang tidur. Mereka duduk melingkar, saling berjaga.Suara hutan tak pernah berhenti. Gendang itu... terus berdetak.

Dum... dum... dum...dum

Sesekali, terdengar tawa kecil tipis, seperti suara anak-anak bermain,tapi terlalu pelan,terlalu nyaring untuk terdengar normal.

Pak Jono, di ambang kesadaran,berdoa pelan.

Dalam hatinya, ia tahu Arman tidak akan kembali.

Dan entah siapa tau apa yang mengintai mereka dari dalam hutan itu,

Apa pun itu semoga bukan sesuatu yang dapat menarik mereka pada jalan kematian.

Lantas ke esok harinya,

Langit masih kelabu,udara lembap menusuk ke tulang, dan api unggun tinggal abu yang nyaris padam...

Di tengah pasir yang kini semakin dingin dan keras, Pak Jono menggeliat lemah,

tubuhnya berkeringat deras, namun menggigil tak henti. Wajahnya pucat, matanya sayu,dan bibirnya membiru.

“Pak Jono...Bapak kuat, ya. Tahan dulu,” bisik Jefri sambil menepuk dahi Pak Jono yang panas membara. Keringatnya mengucur deras, dan tubuhnya meronta sesekali seperti mengalami mimpi buruk yang terlalu nyata.

Luka di punggung dan tangan Pak Jono mulai menghitam.Nanah bercampur darah merembes dari balik perban darurat yang dibuat dari sobekan kaos. Di sekitar luka itu,kulitnya mengeras dan membengkak.

“Dia... demam tinggi. Bisa jadi infeksi. Atau... lebih buruk,tetanus,” kata Kapten Rahmat dengan suara rendah,nyaris putus asa.

“Tetanus?”

Gilang mengulang, matanya membelalak.

“Kita bahkan nggak punya obat! Air aja nggak punya! Kita harus...harus cari bantuan!”

Kapten menatap hutan lebat di depan mereka. “Bantuan? Di pulau ini?”

Gilang menggertakkan gigi.

“Kalau cuma duduk nunggu, kita semua mati di sini, satu-satu!

Pertama Arman... sekarang Pak Jono... Besok siapa lagi?!”

Jefri berdiri,wajahnya keras. “Aku ikut, Kap. Kita cari air, makanan, dan... apapun yang bisa dipakai. Kalau terus diam, kita habis.”

Kapten Rahmat mengangguk pelan. “Tapi kita pergi bertiga.Sisakan satu di sini bersama Pak Jono.”

“Aku tinggal,” kata Gilang cepat. “Aku... aku nggak mau masuk hutan itu. Suaranya... tempat itu... salah.”

Pagi menjelang saat Kapten Rahmat,Jefri, dan seorang kru yang tersisa bernama Sarman (baru disebutkan di sini sebagai awak bagian logistik)

mulai menapaki hutan. Mereka membawa pipa logam, sepotong besi tumpul, dan botol kosong.

Jefri membawa senter kecil yang baterainya sudah lemah.

Langkah mereka pelan,menyingkap dedaunan besar dan semak berduri.Setiap suara, setiap desir angin, membuat mereka menoleh tajam.Bau tanah basah bercampur dengan aroma busuk yang datang entah dari mana.

Setelah hampir satu jam berjalan,mereka menemukan sebuah aliran air kecil yang tersembunyi di balik bebatuan.Jefri bergegas mengisi botol, bahkan minum beberapa teguk,meski rasanya asin dan agak berlendir.

“Kita bisa bawa balik ke Gilang dan Pak Jono,” katanya dengan sedikit harapan.

Namun sebelum mereka berbalik, Kapten Rahmat menghentikan langkah.

“Lihat itu…”

Di depan mereka, ada sebuah gubuk kecil, nyaris tak terlihat di balik rimbunan pakis dan pohon-pohon gelap. Gubuk itu terbuat dari kayu tua,diikat dengan tali rotan. Atapnya beratapkan daun kering yang tampak rapuh. Tapi yang paling mencolok adalah benda-benda yang menggantung di sekelilingnya.

Tulang-tulang.

Bukan tulang hewan.Terlalu kecil, terlalu rapih. Beberapa bahkan masih berwarna kecokelatan, dengan bekas daging yang belum sepenuhnya lepas.

Gelang rotan menggantung di tengkorak kecil yang diletakkan di atas tonggak kayu.Dan di depan pintu gubuk... terukir simbol aneh, menyerupai mata dengan garis-garis menyilang di tengahnya.

“Sialan...ini semacam altar,”

gumam Sarman. “Mereka... menyembah sesuatu.”

“Ini bukan tempat tinggal,”

sahut Kapten. “Ini... tempat persembahan.”

Jefri menahan napas.

“Arman... jangan-jangan...”

Kapten menggeleng cepat.

“Jangan berpikir buruk dulu. Kita ambil air, cari apapun yang berguna, dan balik Cepat.”

Namun sebelum mereka pergi, Sarman melihat sebuah kotak besi di sudut gubuk. Ia mendekat dengan hati-hati dan membukanya.

“Kap... ini...”

Kotak P3K.

Di dalamnya ada perban, obat antiseptik, dua tablet antibiotik tua, dan suntikan yang tak terpakai. Mereka tak tahu seberapa kadaluarsanya, tapi saat ini itu seperti harta karun.

Mereka segera kembali ke pantai dengan napas tersengal,tak henti menoleh ke belakang.Selama perjalanan,mereka merasa... diikuti.

Sore menjelang saat mereka tiba kembali.

Namun suasana di pantai berbeda.

Pak Jono menggigil keras,napasnya terengah,matanya memutih.Gilang tampak linglung, duduk sambil memeluk lutut.

“Apa yang terjadi?!” seru Jefri, meletakkan kantung air.

“Dia kejang-kejang tadi...mulutnya berbusa... aku... aku nggak tahu harus ngapain!”

tangis Gilang pecah.

Kapten segera membuka kotak P3K, membersihkan luka Pak Jono dengan antiseptik,lalu menyuntikkan cairan yang kemungkinan antibiotik ke bagian lengan yang tak terinfeksi.

“Mungkin ini bisa tahan infeksinya.Tapi demamnya... dia butuh istirahat dan air.”

Jefri membantu meminumkan air perlahan ke mulut Pak Jono,meski sebagian besar tumpah karena tubuhnya menggigil hebat.

Pak Jono menggumam dalam keadaan setengah sadar, “iBu… Siti… Rudi… Ayu…”

Tangis Jefri nyaris pecah. “Bapak kuat… demi mereka, Bapak harus hidup…! "

Malam turun.Api unggun kembali dinyalakan,dan Gilang akhirnya bisa tertidur sebentar di sisi Pak Jono.Jefri berjaga,mata menatap ke hutan yang kini tampak seperti mulut raksasa yang menganga.

Kapten Rahmat duduk di tepi pantai, wajahnya menghadap laut yang sunyi.

“Sarman belum kembali,” katanya pelan.

Jefri menoleh tajam.“Apa?! Bukannya dia ikut pulang dengan kita tadi?”

Kapten menggeleng. “Ia kembali sebentar ke gubuk... katanya ada yang tertinggal. Tapi sejak itu... tak terlihat lagi.”

Jefri membeku.

Dua orang hilang.Arman. Sekarang Sarman. Semua yang masuk terlalu dalam ke hutan…menghilang.

Dan dari kejauhan, kembali terdengar itu gendang.

Dum… dum… dum…dum

Tapi kali ini… diiringi oleh suara bisikan.Tak jelas dari mana asalnya. Seperti suara anak kecil menggumamkan lagu,tapi tidak dalam bahasa manusia.

Dan dari semak-semak di pinggir pantai…

sepasang mata menyala merah.

1
juwita
lepas dr caniball sm pulau perempuan terdampar di lembah hantu
juwita
bacanya deg"an
juwita
ih ngeri jg klo ky gitu
juwita
semoga mrk selamat bisa kumpulan lg bersama keluarga
juwita
bukanya jefri sm Gilang ya. ko bahrul Thor?
juwita
kasihan pak jono demi keluarga jd terdampar di pulau hantu. smoga bisa cpt kembali ke keluarganya
juwita
cerita nya bagus mengisahkan perjuangan se org ayah buat anak dn istrinya biar bisa hidup terjamin. rela berjauhan dgn bahaya menantang maut demi keluarga di jalani semoga perjuangannya g sia sia. happy ending
Ananda Emira
semakin seru
Killspree
Memukau dari awal hingga akhir
♞ ;3
Jalan ceritanya keren, endingnya bikin nagih!
ilalangbuana: terima kasih atas masukannya,!!
admin masih dalam tahap belajar.. semoga kedepannya karya ku bisa lebih baik lagi dalam penulisannya ataupun alur ceritanya☺
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!